Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MELOPHIN (1)







Ophin terbangun tepat pukul 06.30 pagi. Ia melangkah mendekati jendela yang semalam masih terbuka karena cuaca sangat panas. Sambil menguap, ia bergumam, "Sudah pagi."

Ophin lalu keluar kamar, menuruni anak tangga kayu karena kamarnya memang berada di lantai atas. Di ruang keluarga, tidak ada siapa pun. Hanya ada sepiring nasi goreng dengan telur ceplok di atasnya. Ia sudah tahu ayahnya pasti sedang duduk di teras belakang sambil membaca koran, dan adiknya sudah berangkat sekolah. Seperti hari-hari biasa, Ophin juga akan pergi ke sekolah, SMA Bina Prestasi, sekolah swasta yang letaknya tidak jauh dari rumahnya.

Ophin tinggal di sebuah kota kecil di Banten. Ayahnya, Triadi, dan ibunya, Rina, sudah bercerai tiga tahun lalu. Ibunya sudah menikah lagi dan kini dibawa oleh suami barunya ke Bandung. Ayahnya memiliki gedung bioskop tua yang hampir setiap malam beroperasi, kecuali malam Jumat. Ophin punya adik perempuan bernama Trina Riadi, yang masih duduk di kelas 3 SMP, dan seorang kakak perempuan bernama Shinta yang sudah berkeluarga dan tinggal di Jakarta bersama suaminya.

Saat Ophin berjalan menuju sekolah, tiba-tiba sebuah sedan mewah berhenti tepat di sampingnya. Pemilik mobil itu seorang pria berkacamata, kira-kira berumur 50-an.

"Maaf, Dik, SMA Bina Prestasi masih jauh dari sini?" tanyanya pada Ophin.

"Oh, dekat kok, Pak. Paling 100 meter lagi sampai," jawab Ophin sambil tersenyum.

"Pah… ayo jalan, nanti telat!" Tiba-tiba suara seorang perempuan terdengar dari dalam mobil, membuat Ophin terkejut.

"Iya," jawab pria berkacamata itu yang ternyata ayah dari perempuan tersebut.

"Ya sudah, terima kasih, Dik," katanya sambil tersenyum ke arah Ophin.

Ophin yang masih bengong dan penasaran dengan suara perempuan itu sontak menjawab, "Oh, iya, Pak!" dengan sedikit gagap. Tak lama kemudian, mobil sedan mewah itu melaju meninggalkan Ophin. Ia pun melanjutkan langkahnya menyusuri pinggir jalan, menikmati sinar mentari pagi.

Sesampainya di sekolah, Ophin kembali melihat mobil sedan mewah yang tadi ditemuinya di jalan.

"Eh, sekolah di sini, Dik?" tanya pemilik mobil mewah itu. Ophin mengangguk sambil tersenyum, sesekali melirik gadis di dalam mobil yang terlihat cuek.

"Perkenalkan, nama saya Rudi," kata lelaki itu dengan nada suara agak berat, sambil mengulurkan tangannya mengajak salaman.

"Saya Ophin, Pak," Ophin menyambutnya dengan sedikit gugup. Ia tahu lelaki bernama Rudi ini pasti orang kaya, terlihat dari jam tangan bermerek Rolex (atau Rodex, Robet, ia tidak tahu pasti, pokoknya jam tangan mahal) yang melingkar di pergelangan tangan Rudi saat bersalaman tadi.

"Oh, Nak Ophin. Kebetulan sekali, saya juga mau mendaftarkan anak saya di sekolah ini. Kalau boleh tahu, kantornya di sebelah mana, ya?" kata Pak Rudi sambil membetulkan kacamatanya.

"Itu, Pak, yang depannya ada tiang bendera," jawab Ophin sambil menunjuk ke arah yang dimaksud.

"Oh, ya. Terima kasih. Mari, Nak Ophin," kata Pak Rudi sambil tersenyum dan melangkah pergi, diikuti gadis tadi.

Ophin pun bergegas masuk ke kelas 2-7. Ia terus tersenyum-senyum sambil duduk di bangkunya.

"Kenapa lu pagi-pagi udah senyum-senyum? Dapat uang saku banyak lu?" tanya Joko, teman sebangkunya.

"Ada murid baru, Jok, cantiiiik sekali, kayak bintang film Jepang," jawab Ophin sambil menepuk pundannya.

"Biasa aja kali, di sekolah ini kan banyak siswi cantik-cantik," jawab Joko heran sambil menggaruk kepalanya.

Tapi tiba-tiba...

"Assalamu’alaikum!"

"Waalaikumsalam," jawab para murid.

"Pak Dono!" seru Dicki, salah satu teman Ophin yang duduk tepat di belakangnya. Murid-murid lain pun riuh mencari tempat duduk masing-masing, tak peduli bangku siapa yang mereka duduki. Bahkan ada yang sempat bercanda ingin duduk di atas papan tulis (tentu saja tidak, itu hanya candaan). Perlu diketahui, Pak Dono, yang memiliki nama lengkap Handono, adalah guru yang kadang-kadang kalem, kadang pemarah, dan kadang juga lucu. Guru juga manusia, kan?

"Selamat pagi, anak-anak," kata Pak Dono.

"Pagi, Paaakkk!" jawab para murid kompak.

"Masih ingat dengan saya?" tanya Pak Dono.

"Masih dong, Paaakkk!" jawab murid.

"Masa lupa sih, Pak, kan tiap hari Rabu ketemu," kata Risa, siswi yang lumayan cantik tapi sedikit kurang feminin.

"Ya… mungkin saja ada yang lupa, biasanya kan kalian lupa ngerjain PR, hmmm…" jawab Pak Dono dengan senyum sinis.

"Jok… lu udah ngerjain PR belum?" tanya Ophin ke Joko.

"Waduhh… belum, Phin!" jawab Joko panik.

Kemudian, murid yang lainnya ikut panik karena mereka juga lupa mengerjakan PR. Ada sekitar 15 orang yang belum mengerjakannya. Seperti kebiasaan, setiap murid yang tidak mengerjakan PR diberi hukuman lari 10x keliling lapangan basket dan tidak bisa mengikuti jam pelajaran Pak Dono. Terlihat Ophin, Dicki, Joko, Risa, dan 12 murid lain dari kelas 2-7 termasuk dalam daftar tersebut.

Mereka berlari mengelilingi lapangan basket. Ada yang bergaya pelari cepat, ada yang lari marathon, dan ada juga yang malah jalan santai, yaitu Ophin, Dicki, Risa, dan Joko. Seperti biasa, keempat anak ini memang kompak: kompak tidak mengerjakan PR, kompak bolos sekolah, kompak izin tidak masuk sekolah, dan lain-lain. Selesai menjalani hukuman, para murid nongkrong di kantin. Namun, Ophin, Joko, Risa, dan Dicki hanya memesan minuman dingin dan lebih memilih duduk santai di taman belakang sekolah.

"Siapa nama cewek tadi itu, ya?" Ophin bergumam.

"Siapa yang lu maksud?" tanya Risa yang kebetulan duduk di sampingnya.

"Itu, Ris, anak baru pindahan sekolah dari Jakarta," Joko menimpali, sementara Dicki hanya memperhatikan sambil meneguk minuman dingin.

"Ohh… Melona," kata Risa sambil melirik ke Ophin.

"Kok lu tahu, Ris?" Ophin penasaran.

"Tahulah, dia kan satu kompleks, bahkan tetanggaan sama gue," jawab Risa.

"Kok lu enggak pernah ngomong sih punya tetangga cantik?" kata Ophin sumringah.

"Selain sekolahnya baru pindah, rumahnya juga baru pindah. Gue juga baru tahu kemarin. Kebetulan kemarin itu dia sama ayah dan ibunya ke rumah gue, nanyain tentang sekolah kita. Dan kalau lu pengen tahu, orang tuanya mempunyai perkebunan buah melon yang luas banget di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Buah melonnya juga dipesan oleh perusahaan-perusahaan minuman dari dalam negeri bahkan sampai luar negeri. Mereka juga punya vila pribadi di Tanjung Lesung dan Bali," Risa menjelaskan, membuat Ophin, Joko, dan Dicki melongo.

"Berarti orang kaya dia," kata Joko, sementara Dicki tetap jadi pendengar yang baik sambil bersandar di bangku taman.

"Hayooo… lu suka ya sama dia?" kata Risa tersenyum sambil menepuk pundak Ophin.

"Iya sih, hehe… tapi gimana ya… dia orang kaya, gue sangat tidak berdaya kalau sama cewek kaya," jawab Ophin nyengir tapi seperti ragu dan pasrah. Mendengar jawaban Ophin seperti itu, Risa menggeleng-gelengkan kepalanya dan hendak memberi penjelasan lagi pada Ophin, tapi dari belakang seperti ada yang memanggil namanya.


                                                                    

                                                                ( Bersambung )