1. PROYEK "GG" Ban Belakang Honda Tiger merah mendenyit keras begitu rem yang diinjak habis menghentikan motor B di depan rumah di ujung gang. Cowok tinggi ceking tanpa helm, berkaos oblong yang di dadanya ada tulisan Hard Rock Cafe - New York. mengusap rambut gondrongnya dua kali, lalu membuka kaca mata berkaca biru menyala yang nangkring di atas hidungnya yang mancung bengkok. Tanpa kaca mata kini kelihatan dua mata besar belok di bawah naungan sepasang alis tebal macam clurit. Tidak salah kalau teman-temannya memberi nama tambahan, membuat dia dikenal dengan nama Ronny Celepuk. Ronny sentakkan gas motor dua kali berturut-turut hingga menimbulkan gelegar kebisingan di ujung gang. Seorang kakek tetangga yang lagi terkantuk-kantuk di bawah pohon sambil asyik menikmati cangklong bututnya tersentak kaget. Darah tingginya langsung kumat. Dia bangkit berdiri, julurkan kepala di pagar, turunkan kacamata. "Kagak heran... Die lagi. Si mata jengkol!" kata si kakek dengan tampang peot ditekuk. "Hoi! Bangke hidup! Jangan berisik di kampung orang! Sekali lagi lu genjot 'tu gas, gue guyur air kencing embun-embunan lu!" Cowok di atas motor nyengir. Sambil dua tangan dirapatkan dan diletakkan di atas kepala dia berkata. "Maapin Be, nggak sengaja!" Dia cepat-cepat memutar kunci kontak, mematikan mesin motor. Lalu matanya yang belok memandang ke pintu pagar rumah di depannya. Di situ berdiri seorang anak lelaki sepantarannya, mengenakan jins lecak yang lutut kanannya robek dan kaos merah yang tangan kiri kanan digunting habis. "Bom! Brengsek lu! Jadi orang bener-bener kelewatan!" Boma, anak yang berdiri di pintu pagar tenang saja mengusap rambut cepaknya (bahasa keren crew cut). Lalu berkata. "Ron, turun dulu dari motor. Baru ngomel!" "Sialan lu!" Turun dari motor Ronny menyampari Boma. "Dari pagi kamu ditungguin. Nggak taunya masih nongkrong di rumah! Gila bener!" "Gila bener apa bener gila"!" ujar Boma sambil mengulum senyum. "Bom, urusan jadi nggak karuan kalau kau nggak datang. Susunan acara, peralatan, teman-teman yang mau tampil. Semua nggak bisa diatur..." "Kok aku yang disalain! Dulu-dulu aku sudah bilang nggak mau ikut-ikutan jadi panitia perpisahan. Lagian katanya semua udah pada pinter. Ngapain nunggu aku si Boma Geblek." Di sekolah Boma Tri Sumitro memang bukan termasuk anak pintar. Rangkingnya di urutan ke 39 dari 41 murid. Sikapnya yang seperti malas-malasan serta urakan seenaknya membuat dia dipanggil Boma Geblek oleh temantemannya. Tapi dalatn soal urus mengurus kegiatan atau acara kelas, dia paling dicari. Karena kalau Boma yang menangani semua pasti rebes. Selain itu gayanya yang enak dalam bergaul, suka humor, sabar dan setia kawan, membuat Boma disenangi oleh teman-teman satu sekolahan. Lalu ada satu lagi nilai tambah yang dimiliki Boma. Wajahnya yang cakep segar baby face serta postur tubuh setinggi 174 Cm. Mata belok Ronny bertambah besar. "Memangnya kau serius Bom nggak mau ikutan dalam panitia perpisahan. Kau 'kan sudah dipastikan jadi ketua panitia." "Serius dong! Masa' anak kelas tiga yang perpisahan, kita anak kelas satu yang naik ke kelas dua yang pada sibuk!" "Kok kamu ngomong gitu. Aneh juga nih! Lagian Bom, itu 'kan sudah tradisi SMU Nusanlara Tiga sejak kuda gigit menyan!" kata Ronny pula. "Menyan. Itu dulu. Sekarang kudanya sudah pakai stockings. Yang digigit bukan menyan lagi. Tapi ecstasy. Jadi mustinya kau ngomong sejak kuda gigit ecstasy," kata Boma. Ronny tertawa ditahan. "Terserah kau mau bilang apa Bom. Pokoknya ini sudah jadi tradisi!" kata Ronny Celepuk rada-rada kesal. "Tradisi"!" Boma mengusap rambut cepaknya kembali. "Memangnya biskacit Roma pakai tradisi segala" Nggak la yauw!" Ronny Celepuk tidak tahu mau bicara apa lagi. Lalu dari kantong celana blujinnya anak ini keluarkan sebungkus rokok. Melihat ini Boma cepat berkata. "Lu jangan macem-macem Ron. Berani ngerokok di sini. Bokap gue lagi ada di dalam..." Ronny cemberut. Masukkan rokoknya kembali ke saku celana sambil mengomel. "Bokap lu kuno! Merokok aja anti!" "Lu mau minum?" Boma menawarkan. "Ala, paling juga air putih. Mending Aqua, paling-paling air kendi!" Boma tertawa. "Bom, kayaknya aku tahu kenapa kau nggak mau ikut-ikutan sibuk di panitia perpisahan..." "Coba lu tebak." "Gara-gara cewek baru anak Duta Besar itu!" jawab Ronny Celepuk. "Iya 'kan?" "Maksud kamu si Dwita?" "Siapa lagi" Memangnya ada dua anak baru, ada dua anak Duta Besar di SMA Nusantara Tiga?" Boma tertawa. Lalu dengan ujung jari tangan kanannya dia menowel hidungnya sendiri. Ini kebiasaan Boma yang tidak pernah hilang sejak dia pertama kali menyaksikan film kungfu dibintangi almarhum Bruce Lee. Dia begitu tertarik pada gaya Bruce Lee yang suka menowel-nowel hidung, terutama pada waktu berkelahi. Sejak itu Boma menjadikan pendekar kungfu ini sebagai idolanya. Waktu itu dia masih duduk di kelas dua SMP. Gaya menowel hidung ini mula-mula cuma ikutan meniru-niru gaya Bruce Lee. Lama-lama jadi kebiasaan. "Ajie gombal! Memangnya ada urusan apa aku sama Dwita" Kok disangkutin sama dia?" "Ada yang bilang begini. Kau naksir berat sama cewek baru itu. Tapi Dwita acuh saja. Lalu seminggu lalu Dwita pulang barengan naik mobil sama Zaldi anak kelas tiga. Waktu keluar halaman, kau malah diserempet kaca spion mobilnya Zaldi. Kau dibilang patah hati! Itu 'kan gara-garanya?" "Hebat juga 'tu cerita. Siapa yang ngarang Ron" Kau sendiri ya"! Jatuh cinta aja belon, kok duluan patah hati"! Ajie busyet!" "Sudah, bilang aja memang benar kau enggak mud ikut-ikutan dalam panitia perpisahan gara-gara Dwita, kan?" "Geblek banget gua!" "Ya, kau selama ini memang biangnya segala geblek. Lupa kalau banyak yang manggil kau Boma Geblek?" "Biarin aja! Enggak rugi dipanggil geblek kalau aku memang geblek!" Boma tertawa lepas. "Ada lagi cerita versi lain Bom...." tiba-tiba Ronny Celepuk berkata. "Wah! Ini namanya kejutan..." "Kau, mau dengar?" tanya Ronny. "Terserah, kau mau cerita apa nggak ya terserah." "Bom, ada temen-temen bilang sebetulnya kau mau balas dendam sama Trini. Selama ini Trini selalu jual mahal. Istilah kerennya suka melecehkan dirimu..." "Aku nggak merasa dilecehin 'tuh. Lagian kalau dilecehin sama bibir, aku ya suka-suka saja la yauw!" Walau jengkel mendengar ucapan Boma, Ronny Celepuk meneruskan. "Kata temen-temen kau sengaja mendekati Dwita, biar Trini tahu rasa. Tadinya Trini memang sempat shok. Maklum, ada yang bilang sebetulnya Trini memang ngebet sejak lama sama cowok geblek macammu! Tapi waktu dia tahu Dwita nggak ngacuhin kamu, Trini kembali pasang harga mahal...." "O... gitu ceritanya. Kayak telenovela aja," kata Boma sambil senyum dan anggukanggukkan kepala. "Sudah, sekarang kita bicara soal lain saja. Proyek GG yang aku bilang tempo hari sudah pasti jadi..." "Nah, ini satu lagi Bom!" Belum apa-apa Ronny Celepuk sudah memotong. "Ada lagi teman yang bilang. Kau bingung berat gara-gara nggak dapat Dwita, nggak dapat Trini. Lalu membuat Proyek GG. Mungkin buat ngademin hati yang lagi ngebet dan panas." "Ajie busyet!" kata Boma sambil menowel hidungnya. "Biarin, orang mau ngomong apa kek! Tapi Ron. Proyek GG ini super rahasia. Kok katamu temen-temen pada tau?" "Ala, di SMA Nusantara Tiga mana ada sih yang namanya rahasia?" kata Ronny Celepuk. Lalu bertanya. "Siapa aja yang bakalan ikut?" "Yang udah pasti ada enam orang. Rasanya aku nggak mau nambah lagi. Kalau kebanyakan biasanya pada rese," jawab Boma. "Siapa-siapa aja Bom?" Ronny kembali bertanya. "Rio, Andi, Firman, Vino dan Gita. Enam sama gue. Tujuh sama kau kalau mau gabung." "Tadi kau bilang Gita. Gita" Gita Gendut?" ujar Ronny. "Memangnya ada Gita Ceking di kelas dua?" "Urusan bisa repot, Bom!" "Repotnya?" tanya Boma. "Kalau kejadian apa-apa sama 'tu anak, siapa nyang mau gendong" Bobotnya aja seratus kilo lebih!" kata Ronny. "Kok lu tau bobotnya seratus kilo lebih" Berarti lu udah pernah ngegendong dia dong..." "Ajie busyet! Tobat ane, Cing! Ane nyang ringsek!" kata Ronny sambil nyengirnyengir. Boma menggerakkan tangan memberi isyarat pada temannya. "Ayo ikut ke kamar. Kamu saksikan sendiri persiapan gua!" Waktu menuju ke kamar Boma di tingkat atas rumah panggung kayu, di ruang tengah ayah Boma sedang asyik membaca surat kabar. Hanya mengenakan singlet dan sehelai kain sarung. Lelaki ini menurunkan koran yang dibacanya. Di balik kacamata tebal plus 6 bola matanya berputar memperhatikan siapa yang bersama anaknya. Merasa diperhatikan Ronny jadi tidak enak. Cepat dia mengangguk sambil memberi salam. "Selamat siang Oom..." Ayah Boma tidak menjawab. Hanya mulutnya bergerak sedikit lalu mendehem. Ketika menaiki tangga ke lantai atas rumah panggung itu Ronny berbisik. "Bokap lu makin angker aja Bom...." Belum habis ucapannya tak sengaja kaki Ronny terserandung. Kalau tidak cepat dia memagut pegangan tangga kayu ditambah bantuan Boma yang mencekal bahu kaos oblongnya, bukan mustahil anak itu jatuh ke bawah. Di lantai atas, di dalam kamar Ronny memandang berkeliling. Dia melihat berbagai perlengkapan mendaki gunung memenuhi kamar. Mulai dari tali sampai jaket, mulai dari tongkat sampai ransel. Juga ada kompas, kotak obat dan perlengkapan untuk berkemah termasuk sebuah kompor gas kecil. "Hebat Bom. Peralatan anak UI saja kayaknya enggak selengkap ini...." "Kau lihat ini Ron," kata Boma. Dia melangkah ke meja belajar di sudut kamar. Dari dalam laci meja dikeluarkannya sebuah handy-talky. "Hate ini, frekwensinya disamakan dengan frekwensi radio di pos pengawasan. Jadi soal keamanan nggak usah disangsikan." Boma bicara penuh bangga. "Kalau gitu, aku ikut mendaftar Bom." "Buat lu sih beres aja. Kau jadi komandan bagian ransurn merangkap juru masak!" "Sialan! Masakannya aku campur Garam Inggris biar mencret semua!" Waktu turun ke bawah, ayah Boma masih duduk di tempatnya tadi membaca. "Nak Ronny?" Ayah Boma tiba-tiba menyapa ketika anak itu melintas di depannya. "Saya, Oom..." "Pasti mau ikutan mendaki Proyek GG." Ronny Celepuk agak kaget. Matanya yang belok melirik pada Boma. Dalam hati dia berkata. "Kok, bokapnya si Boma tau-tauan Proyek GG segala" Wah, bener-bener udah bocor." Ronny anggukkan kepala pada ayah Boma dan ber-kata. "Benar Om..." Ronny Celepuk merasa senang. Ternyata bokapnya si Boma ini ramah juga. Tapi rasa senang itu serta merta sirna begitu ayah Boma menyambung ucapannya. "Boro-boro naik gunung, naik tangga saja belum becus! Ha... ha... ha!" Ronny Celepuk coba tersenyum walau senyum kecut. Sampai di luar anak ini berkata pada temannya. "Bom, bokapmu bukan cuma angker. Ngomongnya juga antik!" Tiba-tiba ada orang dan suara di belakang. "Apa kau kira saya ini sama dengan barang antik di pasar loak Jalan Surabaya, hah"!" Sirap darah Ronny Celepuk. Mukanya pucat. Lehernya terasa kaku waktu menoleh ke belakang. Ronny tahu matanya besar belok. Tapi saat itu dia melihat dua mata ayah Boma jauh lebih besar dan lebih belok dari matanya, memandang tak berkedip ke arahnya. "Maaf Oom. Saya... saya..." Ronny bingung. Boma cuma nyengir. Naik ke atas motor Ronny Celepuk lupa kalau di ujung gang itu ada tetangga yang tidak suka berisiknya suara motor. Ronny kedut-kedut putaran gas. Satu kepala berwajah peot tua, berkacamata nongol dari balik pagar rumah sebelah. "Hoi bangke hidup! Mau ngerasain diguyur air kencing ya"!" "Be, maap, Be!" Ronny Celepuk langsung kabur tancap gas.
2. DWITA TIFANI Hari libur panjang warung bakso di sudut timur SMA Nusantara III sepi. Mang Asep, si pemilik warung ikutan libur, kabarnya pulang kampung minggu depan. Sekalian nyunatin anak lelakinya paling besar. Siang itu hanya satu meja yang terisi. Di sekeliling meja duduk Boma, Vino, Firman, Andi, Rio dan satu-satunya cewek, bertubuh hitam gemuk. Itulah Gita. Boma memegang lengan Vino yang dilingkari arloji. "Hampir jam sebelas. Si Celepuk masih belon nongol." Baru selesai Boma berucap tiba-tiba terdengar pekak deru motor. Sesaat kemudian Ronny Celepuk muncul di pintu warung. "Uuhhhhhh!" Enam anak di sekeliling meja meledek. "Sorry teman-teman," kata Ronny sambil meletakkan helm di atas meja. "Ada kesalahan prosedur!" "Ajie Busyet! Keren amat omongan lu! Memangnya ada apa Ron?" tanya Boma. "Aku salah mutar! Maksud gue sih baik. Mau lebih cepat nyampe. Biasa! Kena tilang!" Ronny lalu tertawa lepas. "Ron, tumben lu pakai helm." Firman nyeletuk. "Ini yang bikin urusan," sahut Ronny. "Sari-sari nggak pakai helm nggak ada urusan. Pakai helm malah apes!" Anak ini garuk rambut gondrongnya lalu bertanya. "Gimana, semua udah beres" Persiapan oke?" "Oke!" jawab Rio. "Ijin oke?" "Oke!" sahut Firman. "Yang belum oke, kita perlu tambahan dana. Takut tekor!" Vino yang bicara. Ronny menarik kursi, lalu duduk di samping Boma. "Ada lagi yang kagak oke Bom..." "Maksud lu?" tanya Boma. Semua mata ditujukan pada Ronny. "Bocor!" "Apa yang bocor?" tanya Rio. "Ya, apa yang bocor?" ujar Boma. "Ban motor lu atau pantat lu"!" Tawa meledak di seputar meja. Ronny tidak ikutan ketawa. Tampangnya kelihatan serius. Lalu setengah berbisik dia berkata. "Proyek kita Bom. Proyek GG. Bocor!" "Maksud lu bocor gimana?" Boma jadi tidak sabaran. "Dwita dan Trini tau rencana kita naik Gunung Gede." Enam mulut ternganga, enam pasang mata menatap lekat-lekat pada Ronny Celepuk. "Ajie busye! Gimana bisa bocor" Siapa yang kasih tau?" tanya Gita. "Pasti lu yang ngebocorin!" Andi menuduh Ronny. "Swear!" Ronny Celepuk angkat tangan kanannya, dua jari membentuk huruf V. "Ada lagi teman-teman. Dua cewek itu tau kita bakal ngumpul di sini. Mereka mau datang ke sini. Mau minta ikutan...." Semua mata diarahkan ke pintu warung, terus ke halaman parkir sekolah yang luas, terus lagi ke pintu gerbang di kejauhan sana. Sepi. "Dari pada acara rusak, gimana kalau kita pindah rundingan di tempat lain," mengusulkan Vino. "Betul, ke rumah lu aja 'Di," kata Firman sambil memandang pada Andi. "Rumahmu 'kan deket dari sini." "Tenang teman-teman," Boma bicara. "Nggak perlu pergi ke mana-mana. Kenapa mustitakut sama teman sendiri" Kalaupun Dwita atau Trini datang, kita bilang saja mereka tidak bisa ikut. Habis. Beres 'kan?" "Tapi," kata Gita si cewek gendut. "Kalau Dwita atau Trini mintanya sambil megangin tangan lu, hati lu pasti lumer!" Boma menowel hidungnya. "Semua teman kita. Tapi kita bertujuh di sini sudah kompak enggak nambah teman lain ikutan ke Gunung Gede. Oke"!" Boma ulurkan tangan, telapak dikembangkan ke atas. Enam telapak kemudian ditempelkan bersusun. "Okeee!" Enam mulut berseru serempak. "Bom, Ronny nggak bohong! Starlet merah. Dwita nongol benaran!" Tiba-tiba Vino berkata sambil kepalanya diputar ke arah halaman sekolah. Sebuah Starlet merah meluncur melewati halaman parkir lalu berhenti tepat di depan pintu warung Mang Asep. Pintu kanan terbuka. Keluarlah cewek ramping tinggi semampai, berkulit putih. Rambut hitam sebahu, agak acak-acakan ditiup angin. Kacamata mungil menghiasi wajah yang manis. Celana jin ketat, kemeja jin lengan panjang digulung, dua kancing sebelah atas sengaja dibuka. Inilah Dwita Tifani, kembang baru kelas II SMA Nusantara III. Anak kedua seorang Duta Besar yang enam bulan lalu kembali dari tugasnya di luar negeri. Sambil melangkahkan kaki yang cuma memakai sandal tebal cewek ini membuka kacamatanya. Sesaat kemudian dia sudah berada di dalam warung, tersenyum di depan meja Boma dan kawan-kawan. Bau wanginya parfum memenuhi warung yang tadinya rada-rada apek itu. "Rapatnya serius banget. Boleh ikutan nggak?" "Nggak, eh boleh!" kata Vino bergurau menjawab pertanyaan Dwita. "Jadi besok kita berangkat?" Dwita berkata, sikap tenang tapi suara serius. "Kita" Berarti termasuk dia?" kata-kata itu hanya diucapkan dalam hati saja oleh tujuh anak yang ada di seputar meja. Ronny berdiri dari kursinya. "Dwita, duduk. Nggak baek cewek berdiri aja. Nanti kontet kau! Teman-teman, aku tinggal dulu ya?" "Eh, kau mau kemana Ron?" tanya Boma. "Aku mau kencing dulu." Ini cuma alasan. Ronny ngacir pergi. Dwita memandang pada Boma. Matanya bagus bening. Senyumnya mempesona. "Aku boleh ikut 'kan Bom?" "Astaga, aku lupa belum bayar pisang gorengnya Bang Jalil." Ini juga alasan. Gita Gendut berdiri lalu melangkah ke pintu warung. Vino mengedipkan matanya pada Firman. Dua anak ini lalu berdiri. "Aku sama Vino cari majalah Aneka dulu, Bom. Ada foto anak Oomku dimuat..." kata Firman lalu menarik tangan Vino. Sama saja. Alasan yang dibuat-buat. Tinggal Rio dan Andi. "Kalian juga mau kencing" Atau bayar pisang goreng" Atau mau cari majalah?" tanya Boma lalu menowel hidungnya. "Mungkin semuanya!" jawab Rio. Lalu dia tendang kaki. Andi. Dua anak ini keluar dari warung. Sepasang alis mata Dwita sesaat naik ke atas. Lalu anak ini tersenyum. "Teman-temanmu itu. Kok...." "Teman-temanmu juga..." memotong Boma. Dwita kembali tersenyum. "Mereka kelihatannya sengaja menghindar. Nggak suka aku ada di sini." "Hemmmm.... bukan, bukan. Bukan nggak suka. Tapi kayaknya sengaja memberi kesempatan agar kita bisa ngomong berdua aja. Habis selama ini nggak pernah kejadian 'kan" Mereka melihat atau merasa ini satu kejutan. Orang kaget 'kan nggak boleh ditemanin. Nanti bisa latah!" Dwita tertawa lepas dan letakkan kacamatanya di atas meja. "Aku kan anak baru, Bom. Cuma enam bulan di kelas satu. Lalu naik kelas dua. Takut dibilang rese' kalau suka nyelonong sana nyelonong sini. Salah-salah ada teman yang merasa diinjak kakinya. Benernya sih Dwita ingin dekat sama kamu..." "Nanti Zaldi marah, mukanya bisa ditekuk lihat aku," kata Boma. Tapi cuma dalam hati. "Tapi takut nggak enak sama Trini," sambung Dwita. "Memangnya ada apa sama Trini?" tanya Boma. "Kabarnya Trini...." "Udah. Kita ngomong soal lain aja," ujar Boma. "Liburan panjang nggak ikutan tour, home stay...." "Ah bosan yang gitu-gituan," jawab Dwita. Entah polos entah agak menyombong. "Dwita justru mau ikutan kamu dan teman-teman..." "Ikutan kemana?" tanya Boma. Dwita memajukan kepalanya sedikit hingga kemejanya yang tidak terkancing menyibakkan dadanya sebelah atas. Boma merasa hidungnya seolah berhenti bernafas. "Jangan pura-pura. Aku tau. Kalian 'kan mau naik ke Gunung Gede. Berangkatnya besok...." "Tau dari mana, dari siapa?" tanya Boma. "Pokoknya tau aja," jawab Dwita. "Bisa 'kan" Boleh 'kan?" "Bisa saja, tapi..." "Wah, gelap deh kalau pakai tapi segala," kata Dwita. "Bilang aja nggak mau ngajak." "Bukan gitu. Dalam ijin cuma terdaftar tujuh orang. Kalau kau ikutan berarti ijin musti diperbaharui. Urusannya nggak gampang. Lalu kami juga kawatir. Situ 'kan anak pejabat. Kalau ada apa-apa tanggung jawab kami teman-teman..." "Memangnya ada beda anak pejabat sama anak kucing dalam soal mendaki gunung?" tanya Dwita. "Memangnya anak pejabat nggak boleh naik gunung?" Boma melirik nakal ke dada yang masih tersingkap. Dwita sadar tapi tidak berusaha menutup kemejanya yang terbuka. "Gini, Dwita, rencana naik gunung ini bukan cuma satu kali. Nanti, kali berikutnya kau, siapa saja pasti kami ajak. Aku janji." "Gita kok ikut?" "Dia andalan kami. Dia sebelumnya sudah punya pengalaman naik gunung. Jadi teman-teman nggak khawatir." "Oo gitu..." "Kakaknya anggota Mapala UI. Gita sudah beberapa kali diajak mendaki gunung..." "Oo gitu..." kata Dwita lagi. "Lain kali. Aku janji." "Oo gitu..." ulang Dwita lagi seperti menyindir. Lalu tangannya yang di atas meja meluncur mendekati tangan Boma. Dan persis seperti yang tadi dikatakan Gita. Dwita meremaskan jari-jari tangannya ke lengan Boma. Anak lelaki ini merasa detak jantungnya lebih keras dan aliran darahnya lebih deras. Di balik dapur bakso Mang Asep, Ronny Celepuk dan lima temannya diam-diam mengintip ke dalam warung. "Apa gua bilang," bisik Gita gendut. "Terbukti 'kan" Dwita megang tangannya Boma. Pasti lumer hati kawan kita itu!" "Gile, nggak nyangka. Diem-diem si Dwita agresip juga," kata Vino. "Boma tenang-tenang aja kelihatannya. Hatinya pasti kedat-kedut. Seneng pasti dipegang-pegang..." "Kalau aku pasti aku balas megang," kata Ronny. "Lu sih emang celamitan!" sergah Gita. "Si Boma cuma belagak bodo aja!" menyeletuk Vino. "Kalau di tempat lain, apa lagi rada-rada gelap, pasti si Dwita udah disangsot...." Muka Vino mengerenyit begitu sikut Gita Gendut menyodok rusuknya. Di dalam warung. "Ajie busyet.... Lumer nggak nih.... Lumer nggak nih hati gua!" kata Boma dalam hati. Kembali dia ingat ucapan Dwita tadi. "Dwita boleh ikut ya?" Suara Dwita Tifani perlahan merdu, memohon manja. Boma pandangi jari-jari halus yang memegang lengannya. Lalu tersenyum. Boma melirik ke arah dapur warung. Dia ingin balas memegang jari-jari Dwita, tapi tidak dilakukannya. Belum berani. Atau malu ketahuan teman-teman. "Nah, kau senyum. Tandanya boleh 'kan" Asyikkk." Dwita usap-usap lengan Boma. Kepala Boma menggeleng. Mata Dwita mengecil. Kening mengerenyit. "Kok"!" "Aku janji. Kali kedua aku dan teman-teman naik gunung kau pasti aku ajak. Tapi yang sekali ini.... Harap kau mau mengerti..." "Kalau Dwita nggak mau ngerti?" Wajah Boma tetap tenang. Tetapi dia tak bisa menjawab. Dwita tersenyum ketika melihat ada keringat me-mercik di kening Boma dan lengan cowok yang masih berada dalam genggamannya itu terasa dingin. "Bom, mentang-mentang aku anak kelas lain, nggak satu kelas sama kamu lantas enggak boleh ikutan ya" Gunung Gede cuma buat anak kelas Dua-Sembilan doang ya?" "Bukan begitu. Gimana aku musti nerangin." "Kalau nggak boleh ikut ya sudah...." kata Dwita pula. Punggungnya disandarkan ke kursi tapi tangannya masih memegang lengan Boma. "Kau marah?" tanya Boma. "Marah, buat apa" Cuma sedih aja." "Kok sedih?" "Iyya..." "Dwita, kalau teman-teman tidak mau kau ikut, bukan berarti mereka nggak suka sama kamu. Bukan karena kau tidak satu kelas dengan kami. Mereka takut kau kenapa-napa. Mereka tidak mau kalau nanti kau sakit. Berarti mereka meratiin kamu. Sayang sama kamu..." "Oo gitu" Terima kasih kalau mereka memang meratiin aku. Terima kasih berat kalau mereka sayang sama aku. Tapi kalau Dwita boleh nanya, itu kan teman-teman. Kau sendiri sayang nggak sama Dwita?" Tenggorokan Boma bergerak. Setengah tercekik menelan ludah sendiri. Tidak disangka Dwita bertanya se-berani itu. Atau cuma sekedar bergurau" Muka Boma berubah merah. Dia coba tersenyum tapi justru wajahnya jadi tambah merah. Apa lagi Dwita menunggu jawaban sambil matanya yang bening bagus memandang tidak berkedip padanya. "Tenang... tenang Boma. Kau lagi diuji. Kau lagi diuji..." kata Boma dalam hati coba menenangkan diri. "Otakmu boleh geblek tapi hatimu musti tabah! Ini tantangan baru. Ini baru tantangan!" "Nanti aja kita ketemu dan bicara lagi." Akhirnya Boma berucap. "Nggak seneng ya Dwita lama-lama di sini" Takut ada yang marah?" Boma menowel hidungnya. "Hidung ditowel melulu. Lama-lama bisa copot!" kata Dwita. Boma hendak menowel lagi tapi urung. "Oke deh..." Dwita memasukkan tangan kanannya ke saku blujins. Waktu dikeluarkan ada sehelai amplop dalam pegangannya. Amplop itu diletakkannya di atas meja. Melihat pada bentuk dan ketebalan amplop Boma tahu amplop itu bukan berisi surat. Kalaupun ada suratnya pasti ada sesuatu yang lain. "Apa-an ini Dwita?" tanya Boma. "Apa-apa-an apa?" ujar Dwita. "Itu..." Boma goyangkan kepala ke arab amplop di atas meja. "Tambahan dana." "Tambahan dana" Tambahan dana apa?" "Aku tahu, naik Gunung Gede perlu dana lumayan besar. Hitung-hitung aku ikut nyumbang." "Jangan Dwita. Semua sudah beres. Termasuk soal darna..." Boma hendak mengambil amplop di atas meja. Mau dikembalikan pada Dwita. Tapi Dwita cepat memegang lengannya. "Bom, kalau kau kembalikan, Dwita marah. Beneran Bom! Marah berat! Dwita nggak mau kenal lagi sama kau!" Di belakang dapur Ronny Celepuk mengomel sendiri. " Ajie busyet! Dasar anak geblek! Kujitak benjut kepalanya kalau sampai amplop itu dikembaliin!" "Dwita, aku...." Kembali ke belakang dapur bakso Mang Asep. Gita yang pertama sekali melihat. Cewek ini menggamit Ronny lalu berkata. "Ron, teman-teman. Liat siapa yang datang!" Enam pasang mata diputar ke arah pintu warung. Di situ telah berdiri Trini. Rambut dikuncir di atas kepala, baju dari kaos tanpa lengan, singkat menggantung hingga perutnya di atas pinggang blujin tersembul memutih.
Location:
Berbagi :
Posting Komentar
untuk "BOMA GENDENK SUKA-SUKA CINTA BAG. 1 & 2 KARYA BASTIAN TITO"
Posting Komentar untuk "BOMA GENDENK SUKA-SUKA CINTA BAG. 1 & 2 KARYA BASTIAN TITO"