Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

My Boss Is A lonely Old Maid (Bosku perawan tua yang kesepian)



Di sudut kantor " PT. Jelajah Dunia Travel", Edwin, si office boy berumur 17 tahun, selalu bergerak cekatan. Dengan seragam rapi dan senyum yang tak pernah luntur, ia adalah satu-satunya "warna" di tengah dominasi warna monokromatis ruang kerja. Hidupnya sederhana, mimpinya pun demikian.

Namun, ada satu hal yang membuat detak jantungnya seringkali berpacu tak teratur: kehadiran Mariana. Bosnya. Pemilik tunggal " PT.Jelajah Dunia Travel" yang usianya menginjak 40 tahun, belum menikah, dan dikenal dengan sifatnya yang sedingin es Antartika. Tatapan matanya tajam, suaranya tegas, dan ia tak segan melayangkan kritik pedas jika ada sesuatu yang tidak sesuai standar keinginannya. Bagi karyawan lain, Mariana adalah sosok yang angkuh dan sulit didekati. Bagi Edwin, Mariana adalah misteri yang menarik, sekaligus tantangan yang entah mengapa, membuatnya ingin tahu lebih banyak.

Setiap pagi, tugas Edwin adalah mengantarkan secangkir kopi hitam tanpa gula ke meja Mariana. Ritual itu selalu sama. Ia mengetuk pintu, masuk, meletakkan kopi, dan nyaris tak pernah ada interaksi berarti selain anggukan singkat dari Mariana atau instruksi tentang hal-hal teknis pekerjaan. Edwin bahkan hafal kapan Mariana akan meminum kopi seteguk demi seteguk, dan kapan cangkir itu akan kosong. Ia memperhatikan bagaimana Mariana selalu meluangkan waktu untuk memandang ke luar jendela sebentar setelah menyesap kopi pertamanya, seolah ada beban yang dipikulnya sendirian.


Percikan Awal: Sebuah Kopi yang Salah

Suatu pagi, Edwin melakukan kesalahan kecil. Karena terburu-buru, ia lupa membawa sendok kecil untuk kopi Mariana. Ia kembali ke pantry, jantungnya berdegup kencang membayangkan omelan yang mungkin akan ia terima. Saat kembali, Mariana sudah menatapnya dengan alis terangkat.

"Ada apa, Edwin? Kopi saya tidak lengkap," suaranya datar, namun penuh penekanan.

Edwin menunduk, "Maaf, Bu. Saya lupa sendoknya. Saya akan ambil segera."

Mariana hanya mendengus. Edwin buru-buru kembali ke pantry, hatinya ciut. Ini adalah pertama kalinya ia melakukan kesalahan fatal dalam tugas kopi Mariana. Saat ia kembali dengan sendok, Mariana sudah fokus pada layar komputernya lagi. Edwin meletakkan sendok, dan nyaris berbalik pergi, ketika suara Mariana menghentikannya.

"Edwin," panggil Mariana, tanpa menoleh. "Lain kali, perhatikan detailnya. Dalam bisnis ini, detail adalah segalanya."

Edwin mengangguk pelan, "Baik, Bu. Maafkan saya." Ia merasa sedikit lega karena tidak diomeli lebih parah, namun pesan Mariana tertanam kuat di benaknya. Sejak saat itu, ia lebih teliti, bahkan dalam hal-hal terkecil sekalipun. Mariana diam-diam memperhatikan perubahan itu, dan sebuah apresiasi kecil mulai tumbuh di benaknya.


Ketika Badai Menerpa: Sebuah Perhatian yang Tak Terduga

Beberapa minggu kemudian, suasana kantor mendadak tegang. Proyek besar yang sudah lama digarap tiba-tiba menemui kendala serius. Klien mengancam akan membatalkan kerja sama. Mariana terlihat sangat frustrasi. Ia menggebrak meja, nada bicaranya meninggi, dan semua karyawan terlihat menciut. Edwin yang kebetulan sedang membersihkan pantry di dekat ruangan Mariana, tak sengaja mendengar betapa kalutnya bosnya itu.

"Ini tidak bisa dibiarkan! Kita bisa rugi besar! Apa yang sebenarnya terjadi?!" teriak Mariana.

Edwin, entah mendapatkan keberanian dari mana, perlahan mendekati pintu ruangan Mariana. Ia mengetuk pelan. Mariana mendongak, tatapannya menyiratkan kemarahan dan kekalahan. Wajahnya terlihat pucat, lingkaran hitam samar terlihat di bawah matanya.

"Ada apa, Edwin?" tanyanya datar, suaranya lelah.

"Maaf, Bu. Saya lihat Ibu... terlihat tidak enak badan," kata Edwin pelan, matanya menatap wajah Mariana dengan tulus. "Kopi Ibu sudah dingin. Mau saya buatkan yang baru? Atau... teh herbal? Bisa sedikit menenangkan."

Mariana terdiam sejenak. Matanya menyipit, menatap Edwin dengan tatapan yang sulit diartikan. Belum pernah ada yang bertanya hal personal kepadanya di kantor, apalagi seorang office boy. Ada kehangatan tak terduga dalam tawaran Edwin. "Tidak usah," jawabnya, sedikit melunak. "Tapi terima kasih." Namun, ada sesuatu dalam tatapan mata Edwin yang tulus, perhatiannya yang sederhana di tengah badai, yang sedikit melonggarkan ketegangan di pundak Mariana.

Sejak saat itu, percakapan di antara mereka mulai sedikit demi sedikit bertambah. Bukan lagi sekadar tentang pekerjaan office boy. Mariana mulai menyadari Edwin seringkali membaca buku di jam istirahat.

"Apa yang kau baca itu, Edwin?" tanya Mariana suatu siang, saat ia tak sengaja berpapasan dengan Edwin di pantry.

Edwin sedikit terkejut. "Ini buku tentang sejarah, Bu. Saya suka membaca."

"Kau tahu tentang sejarah?" Mariana sedikit tertarik. "Menarik. Kau ingin melanjutkan sekolah?"

Edwin tersenyum tipis. "Gak sih, Saya lebih suka kerja."

Mariana mengangguk, tanpa komentar. Namun, dalam hati, ia mencatat. Ia mulai melihat Edwin bukan hanya sebagai office boy, melainkan sebagai seorang pemuda yang cerdas, pekerja keras, dan memiliki hati yang tulus. Ia bahkan kadang memergoki Edwin membantu karyawan lain yang kesulitan dengan komputer atau printer, tanpa diminta.


Hujan, Sebuah Pengakuan, dan Kesalahan Kecil

Suatu sore, hujan turun deras, disertai guntur yang menggelegar. Edwin berdiri di lobi, bingung. Mariana yang baru saja selesai membereskan pekerjaannya, melihat Edwin celingukan. Ia menghela napas, merasa sedikit heran mengapa ia selalu merasa ingin membantu anak ini.

Ia membuka kaca mobilnya. "Mau ikut? Aku searah dengan rumahmu," tawar Mariana. Itu bukan sepenuhnya bohong, tapi ia juga tidak terlalu jauh menyimpang dari rutenya.

Di dalam mobil, suasana canggung. Hening, kecuali suara rintik hujan yang menghantam atap mobil. Namun, Edwin memberanikan diri. "Bu Mariana... Ibu sering terlihat sangat lelah, terutama setelah proyek besar itu. Apa Ibu baik-baik saja?"

Mariana menoleh, sedikit terkejut. Edwin melihat ekspresi yang tidak biasa di wajah bosnya itu, seolah ia baru saja membuka sebuah kotak yang sudah lama terkunci.

"Tanggung jawab ini memang berat, Edwin," Mariana memulai, suaranya lebih pelan dan sarat beban dari biasanya. Ia menatap lurus ke depan, ke arah jalanan yang basah. "Dan ya, kadang aku merasa sendirian. Semua keputusan ada di tanganku. Tidak ada yang bisa diajak berbagi beban, atau sekadar bertanya pendapat tanpa kepentingan." Ia berhenti sejenak, sebuah hembusan napas berat keluar dari bibirnya. "Aku membangun perusahaan ini dari nol. Segalanya. Dan... terkadang, rasanya sangat sepi di puncak karir ini."

Edwin mendengarkan dengan saksama. Ia ingin mengatakan sesuatu yang bisa menghibur, yang bisa meringankan beban bosnya. "Saya mengerti, Bu. Ibu saya juga pernah bilang begitu, saat ia berjuang sendiri membesarkan saya," Edwin mencoba menghubungkan. Ia kemudian berpikir tentang kesepian yang disebutkan Mariana. "Tapi, Bu... apa Ibu tidak punya... pendamping hidup? Suami, misalnya? Yang bisa berbagi semua itu?"

Seketika, suasana di dalam mobil berubah dingin. Ekspresi Mariana yang tadinya sedikit melunak, kembali mengeras. Rahangnya mengatup.

"Itu bukan urusanmu, Edwin," Mariana menjawab, suaranya menusuk, kembali ke nada angkuh yang selama ini Edwin kenal. "Fokuslah pada pekerjaanmu dan tujuanmu sendiri. Jangan mencampuri kehidupan pribadi orang lain."

Edwin terkesiap. Ia langsung merasa bodoh. Pipinya memerah menahan malu. Ia ingin meminta maaf, menjelaskan bahwa ia tidak bermaksud tidak sopan, tapi kata-kata itu seolah tertahan di tenggorokannya. Ia hanya menunduk, menatap tetesan air hujan di kaca mobil. Hening mencekam hingga mereka tiba di depan gang rumah Edwin.

"Terima kasih, Bu," ucap Edwin pelan saat turun, tanpa menatap Mariana.

Mariana hanya mengangguk, lalu langsung melajukan mobilnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Edwin berdiri di bawah rintik hujan, merasa sangat bersalah. Ia telah melukai hati bosnya.


Pintu yang Tertutup

Keesokan paginya, Edwin datang lebih awal dari biasanya. Ia merasa tidak enak badan, bukan karena sakit, melainkan karena rasa bersalah yang menggerogoti. Kopi untuk Mariana sudah ia siapkan dengan sangat hati-hati. Ia bahkan memastikan cangkirnya dipanaskan terlebih dahulu agar kopi tetap hangat lebih lama.

Dengan langkah ragu, ia mengetuk pintu ruangan Mariana. Ia menunggu. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, sedikit lebih keras. Tetap hening. Biasanya, Mariana sudah duduk di mejanya. Edwin mencoba memutar gagang pintu, tapi terkunci.

"Bu Mariana... ini Edwin, kopi Ibu," ia memanggil pelan, berharap suaranya terdengar.

Tidak ada respons dari dalam. Edwin berdiri di sana selama beberapa menit, merasa frustrasi dan cemas. Ia tahu Mariana ada di dalam, ia bisa mendengar samar-samar suara ketikan dari balik pintu. Tapi Mariana tidak membukakan pintu untuknya.

Dengan berat hati, Edwin meletakkan cangkir kopi itu di atas meja kecil di depan pintu ruangan Mariana. Ia menatap pintu kayu yang tertutup rapat itu, seolah pintu itu juga ikut memancarkan kekecewaan. Ia sadar, ia telah melakukan kesalahan besar. Ia telah menyeberangi batas yang tidak seharusnya.

Dengan langkah gontai, Edwin kembali ke tugasnya. Hari itu terasa panjang dan hampa. Setiap kali ia melewati ruangan Mariana, ia melihat cangkir kopi itu masih tergeletak di sana, tak tersentuh. Hatinya mencelos. Ia tahu, rasa angkuh Mariana telah kembali, mungkin kini lebih tebal dari sebelumnya, dan itu semua karena ulahnya. Edwin bekerja, membersihkan, dan membantu seperti biasa, tapi ia tak bisa menyembunyikan rasa bersalah yang menimpanya.

.Edwin bekerja, membersihkan, dan membantu seperti biasa, tapi ia tak bisa menyembunyikan rasa bersalah yang menimpanya. Hari-hari berlalu dengan canggung. Mariana tetap angkuh, bahkan lebih dari sebelumnya, dan pintu ruangannya seolah menjadi batas tak terlihat yang kini terasa semakin tebal.


Perjumpaan Tak Terduga di Bawah Rembulan

Sabtu malam itu, Edwin memutuskan untuk menyegarkan pikiran. Dengan sekantung gorengan hangat di tangan, ia berjalan santai menyusuri trotoar yang mulai ramai oleh hiruk pikuk akhir pekan. Lampu-lampu kota berpendar, dan musik samar-samar terdengar dari berbagai arah. Langkah kakinya membawa Edwin melewati area hiburan malam, hingga ia berada di depan sebuah klub malam yang cukup terkenal di kota itu, bernama "The Eclipse".

Tiba-tiba, pandangan Edwin tertuju pada sosok yang sangat ia kenali, terhuyung keluar dari pintu klub. Mariana. Ia mengenakan gaun malam berwarna gelap yang tidak pernah Edwin lihat di kantor, rambutnya terurai, dan langkahnya sangat gontai. Edwin melihatnya tersandung, nyaris terjatuh ke aspal.

Tanpa berpikir panjang, refleks Edwin bergerak. Dengan cekatan berlari, menahan punggung Mariana sebelum tubuh wanita itu benar-benar ambruk. "Bu Mariana! Bu Mariana!" panggilnya berulang kali, mencoba menstabilkan wanita itu.

Mariana, dengan mata yang sedikit sayu, perlahan menoleh. Tatapannya kosong sejenak, lalu sedikit terbelalak saat menyadari siapa yang menahannya. "Edwin?" Suaranya serak dan sedikit berat. Ada gurat keterkejutan yang jelas di wajahnya, bercampur dengan kebingungan. "Apa... apa yang kau lakukan di sini?" Ia mencoba menegakkan tubuh, menepis tangan Edwin. "Saya tidak mabuk. Saya... saya baik-baik saja." Meskipun ucapannya terdengar meyakinkan, tubuhnya masih bergoyang lemah.

Edwin tidak menggubris penolakan itu. Ia tahu Mariana tidak dalam kondisi yang baik. "Bu, Ibu perlu pulang. Biar saya carikan taksi."

Mariana memejamkan mata sejenak, seolah menimbang. Akhirnya, ia menghela napas. "Baiklah. Tapi... kau harus ikut. Pastikan saya sampai apartemen." Suaranya masih memerintah, namun ada nada pasrah di sana.

Edwin mengangguk cepat. Ia menghentikan taksi yang lewat, dan dengan hati-hati membantu Mariana masuk ke dalam. Sepanjang perjalanan, Mariana bersandar di kursi, matanya terpejam. Edwin sesekali melirik, merasa campur aduk antara cemas, terkejut, dan entah mengapa, sedikit iba melihat bosnya dalam kondisi selemah itu. Dinding angkuh yang biasa mengelilingi Mariana seolah runtuh di malam itu, menampilkan kerapuhan yang tak pernah ia bayangkan.

Setibanya di lobi apartemen mewah Mariana, Edwin kembali menopang tubuh bosnya. Mereka berjalan perlahan menuju lift. Namun, tepat ketika pintu lift terbuka, kaki Mariana kembali oleng. Ia nyaris terjatuh lagi jika Edwin tidak sigap merangkul pinggangnya.

"Bu Mariana, saya antar sampai kamar saja ya?" kata Edwin, suaranya dipenuhi kekhawatiran. "Ibu tidak bisa berjalan sendiri."

Mariana mendongak, menatap Edwin dengan pandangan berkabut. Ada sedikit rasa malu yang terpancar di matanya, namun ia tidak membantah. "Baiklah," bisiknya. "Lantai... lantai sembilan."

Edwin mengangguk. Setelah menekan tombol lift, ia memutar otak. Ia tidak tahu nomor unit apartemen Mariana. Saat lift berhenti di lantai sembilan dan pintu terbuka, Edwin melihat seorang wanita paruh baya sedang mengeluarkan sampah dari unitnya yang tak jauh dari lift.

"Maaf, Bu," Edwin menyapa dengan sopan. "Apakah Ibu kenal dengan Bu Mariana? Saya... rekan kerjanya, dan beliau sedikit tidak enak badan. Saya perlu mengantarnya sampai kamar, tapi tidak tahu nomor unitnya."

Wanita itu tersenyum pengertian. "Oh, Mariana? Tentu saja. Dia di unit paling ujung, nomor 905. Hati-hati ya, Nak."

Edwin mengangguk berterima kasih. Dengan susah payah, ia menopang Mariana menyusuri lorong yang sepi, merasakan berat tubuh bosnya di tangannya. Aroma parfum mahal Mariana bercampur dengan bau alkohol yang samar. Langkah demi langkah, mereka mendekati unit 905. Edwin tahu, malam ini ia telah melihat sisi lain dari Mariana yang tak pernah dibayangkan siapa pun di kantor. Sisi yang rentan, rapuh, dan jauh dari kesan angkuh yang selama ini melekat.

Dengan susah payah, ia menopang Mariana menyusuri lorong yang sepi, merasakan berat tubuh bosnya di tangannya. Aroma parfum mahal Mariana bercampur dengan bau alkohol yang samar. Langkah demi langkah, mereka mendekati unit 905. Edwin tahu, malam ini ia telah melihat sisi lain dari Mariana yang tak pernah dibayangkan siapa pun di kantor. Sisi yang rentan, rapuh, dan jauh dari kesan angkuh yang selama ini melekat.

Malam yang Tak Terduga

Edwin berhasil menemukan kunci di tas tangan Mariana yang terjuntai. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan menuntun Mariana masuk ke apartemen yang gelap dan mewah itu. Lampu-lampu kota yang berkelip dari jendela besar menjadi satu-satunya penerangan. Edwin memapah Mariana menuju sofa terdekat, perlahan membaringkannya. Mariana langsung terlelap, napasnya teratur, wajahnya yang biasanya kaku kini tampak damai dalam tidur.

Edwin terdiam sejenak. Ia melihat sekeliling, apartemen itu sangat luas, dengan perabot minimalis modern yang elegan. Rasa canggung dan bingung mulai menghampirinya. Ia harus pulang, tapi ia baru teringat: sekantung gorengannya, yang mungkin berisi dompetnya, entah tertinggal di taksi atau tercecer di depan klub. Ia merogoh sakunya, nihil. Tak ada uang sepeser pun untuk naik transportasi umum, apalagi mencari taksi lagi. Malam sudah semakin larut, dan ia tak mungkin meminta bantuan Mariana dalam kondisi seperti ini.

Dengan putus asa, Edwin hanya bisa duduk di kursi tunggal di seberang sofa, menatap Mariana. Dalam tidur, wajah Mariana terlihat begitu berbeda. Garis-garis ketegasan di wajahnya melunak, digantikan oleh ekspresi yang polos, bahkan rapuh. Edwin menyadari bahwa di balik keangkuhan dan kekuatannya di siang hari, wanita ini juga seorang manusia biasa yang menyimpan beban hidup yang mungkin jauh lebih berat dari yang ia bayangkan. Sebuah keindahan yang berbeda terpancar dari wajah lelah itu, kecantikan yang lebih murni dan tak terduga.

Matanya kemudian terpaku pada kaki Mariana. Wanita itu masih mengenakan sepatu high heels yang ramping, seolah lupa melepaskannya. Edwin tahu itu tidak nyaman, bahkan bisa berbahaya jika dipakai tidur terlalu lama. Dengan sedikit ragu, ia mendekat. Berlutut di samping sofa, ia perlahan meraih pergelangan kaki Mariana. Dengan sangat hati-hati, ia melepas satu per satu sepatu itu.

Saat sepatu terlepas, mata Edwin tak sengaja terpaku pada betis mulus Mariana yang kini terbuka. Kulitnya putih, bersih, dan tampak sangat terawat. Jantung Edwin yang tadinya berdegup karena kecemasan, kini berdetak lebih cepat karena sensasi yang tak bisa ia jelaskan. Itu adalah sentuhan yang polos, hanya membantu, tapi ada sesuatu yang asing dan mendebarkan saat tangannya menyentuh kulit bosnya. Ia segera menepis pikiran itu, menarik tangannya cepat-cepat. Mariana masih terlelap, sama sekali tidak terganggu.

Edwin kembali duduk di kursinya, mencoba menenangkan diri. Ia tahu ini tidak benar. Ia hanya seorang office boy berusia 17 tahun, dan wanita yang terlelap di sofanya adalah bosnya yang angkuh dan berusia 40 tahun. Namun, kejadian malam ini telah mengikis banyak batasan. Ia telah melihat sisi Mariana yang paling rentan, dan entah mengapa, rasa ingin tahu yang lebih dalam mulai tumbuh. Malam itu, ia hanya bisa menunggu. Menunggu fajar, dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.


Insiden Tak Terduga di Tengah Malam

Ketika Edwin hampir terlelap di kursi, tiba-tiba Mariana mengerang. Matanya sedikit terbuka, dan ia terlihat sangat tidak nyaman. Edwin segera bangkit, mendekati sofa. "Bu Mariana, Ibu baik-baik saja?" tanyanya cemas.

Sebelum Edwin sempat bereaksi, Mariana membungkuk ke samping, dan semuanya terjadi begitu cepat. Ia muntah. Sontak, sebagian besar muntahan itu mendarat di dada dan bahu kaos Edwin.

Edwin membeku sejenak, terkejut. Kaosnya kini basah, lengket, dan bau alkohol serta muntahan segera menyeruak. Rasa jijik dan kaget bercampur aduk. Ia menatap kaosnya yang kotor, lalu ke arah Mariana yang kini kembali terlelap, sama sekali tidak menyadari kekacauan yang ditimbulkannya.

Edwin panik. Ia tidak mungkin tidur dengan kaos kotor ini, apalagi pulang di pagi hari. Ia mondar-mandir kecil di ruang tamu apartemen yang mewah itu, mencari-cari mesin cuci. Namun, ia tidak menemukannya. Apartemen ini terlalu minimalis dan tertata rapi, tidak ada jejak mesin cuci yang terlihat.

Menghela napas pasrah, Edwin akhirnya memutuskan untuk mencucinya secara manual. Ia menuju kamar mandi utama, yang juga tak kalah mewah dengan wastafel besar dan cermin luas. Dengan canggung, ia melepas kaosnya yang basah dan bau, lalu mulai mencucinya di wastafel dengan sabun cair yang ia temukan. Ia menggosoknya berulang kali, mencoba menghilangkan noda dan baunya. Setelah dirasa cukup bersih, ia memerasnya dan menggantungnya di gantungan handuk di dalam kamar mandi, berharap bisa kering sebagian.

Edwin kembali ke ruang tamu dengan dada telanjang. Udara apartemen yang sejuk membuat kulitnya merinding. Ia melirik Mariana yang masih pulas di sofa. Tak ada pilihan lain. Ia kembali duduk di kursi, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Kelelahan setelah insiden malam itu dan kepanikan yang datang menyerbu akhirnya menguasainya. Tanpa sadar, Edwin pun terlelap di sofa yang nyaman itu, dengan pikiran berkelana tentang bagaimana ia akan menjelaskan semua ini di pagi hari.


Fajar yang Mengejutkan

Sinar matahari pagi yang lembut menyusup melalui celah gorden, membangunkan Mariana. Ia mengerjap, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Kepalanya sedikit berdenyut, dan ia merasa kaku di sekujur tubuh. Ia melihat jam di dinding: pukul 08.15. Ia kesiangan! Mariana biasanya sudah berada di kantor pada jam segini.

Ia berusaha bangkit dari sofa, dan saat itulah matanya menangkap sesuatu di kursi seberangnya. Seorang pemuda tertidur pulas, dengan dada telanjang, dan kaos basah tergantung di kamar mandi yang pintunya sedikit terbuka. Mata Mariana membelalak. Edwin!

Semua ingatan tentang semalam, meskipun samar, mulai kembali. Ia ingat Edwin menolongnya di depan klub, membantunya masuk taksi, dan membawanya ke apartemen. Dan sepertinya... ia ingat sedikit tentang rasa mualnya. Keterkejutan dan rasa malu seketika membanjiri dirinya.

Saat Mariana mencoba mencerna situasi itu, Edwin merasakan pergerakan. Matanya mengerjap, perlahan terbuka. Ia menoleh ke arah Mariana, yang kini duduk tegak di sofa, menatapnya dengan ekspresi campur aduk antara kaget, bingung, dan sedikit terkejut.

"Bu Mariana... selamat pagi," sapa Edwin canggung, suaranya sedikit serak karena baru bangun tidur. Ia segera duduk tegak, sadar akan keadaannya. Kaosnya masih tergantung di kamar mandi. Wajahnya seketika memerah.

Mariana tidak menjawab. Ia hanya menatap Edwin, seolah melihat sebuah teka-teki yang baru saja muncul di ruang tamunya. Dinding angkuh yang selama ini ia bangun, kini terasa begitu tipis dan rapuh di hadapan Edwin yang telah menyaksikan sisi terlemahnya. Ada keheningan yang panjang dan membebani di antara mereka, dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tak terucap.


Kecurigaan yang Tak Terhindarkan

Keheningan di apartemen itu terasa sangat pekat. Mariana masih menatap Edwin dengan sorot mata yang sulit diartikan. Detik-detik berlalu, dan Edwin bisa melihat gurat-gurat kekhawatiran, kebingungan, dan kemudian, sebuah kilatan kecurigaan samar melintas di mata Mariana. Tatapan itu beralih dari Edwin yang bertelanjang dada, ke arah kaos yang tergantung di kamar mandi, lalu kembali lagi ke Edwin.

"Kenapa... kenapa kau ada di sini?" suara Mariana akhirnya memecah keheningan, lebih tajam dari yang Edwin duga. Ada nada menuntut dalam pertanyaannya. "Dan kenapa... kenapa kau tidak memakai baju?"

Jantung Edwin berdesir. Ia tahu pikiran apa yang mungkin melintas di benak bosnya itu. Wajahnya yang sudah memerah semakin memerah. Rasa malu dan salah paham menyelimutinya.

"Bu Mariana, saya... saya tidak bermaksud yang tidak-tidak," Edwin berusaha menjelaskan, suaranya tercekat. Ia menunjuk ke arah kaosnya yang masih sedikit lembap di kamar mandi. "Tadi malam Ibu... Ibu muntah. Kena baju saya. Jadi saya cuci, karena tidak mungkin saya pulang dengan baju seperti itu, dan... saya tidak menemukan mesin cuci di sini."

Mariana memejamkan mata sejenak, ingatan samar tentang mual semalam mulai muncul. Namun, kecurigaan itu tidak serta merta hilang. Ia menghela napas panjang, lalu memijat pelipisnya. "Muntah?" ulangnya pelan, seolah tidak percaya. Ia kemudian membuka matanya dan menatap Edwin lagi, kali ini dengan tatapan yang sedikit lebih menuduh. "Dan... kau tidak punya uang untuk pulang? Dompetmu?"

Edwin menunduk, semakin merasa terpojok. "Saya rasa... gorengan dan dompet saya mungkin tertinggal di taksi, Bu, atau tercecer saat saya menolong Ibu di depan klub," ia mengaku jujur, suaranya nyaris berbisik. "Saya tidak punya uang sepeser pun untuk pulang. Jadi... saya hanya menunggu pagi."

Mariana terdiam lagi. Ia memproses informasi itu, menatap Edwin yang kini terlihat begitu kecil dan rentan di hadapannya, bukan lagi office boy yang selalu ceria. Ada kebenaran dalam mata Edwin, kejujuran yang sulit disangkal. Ia melihat ketulusan, bukan niat buruk. Rasa malu karena kondisinya semalam, bercampur dengan rasa bersalah karena telah salah sangka, mulai menyelimuti Mariana.

Edwin, yang kini berdiri cemetap, memberanikan diri untuk berbicara lagi. "Maaf, Bu. Saya benar-benar minta maaf. Saya tidak seharusnya ada di sini, dan saya tidak bermaksud lancang..."

Mariana mengangguk pelan, memotong ucapan Edwin. Tatapan angkuhnya memang belum sepenuhnya hilang, tetapi ada sedikit kelembutan yang menyelinap. "Sudah. Sudah, Edwin," ucapnya, suaranya tidak setajam sebelumnya. "Aku mengerti. Ambil bajumu. Mandilah. Kau bisa pakai handuk di lemari itu. Setelah itu, akan kupesankan taksi untukmu."

Edwin merasa lega yang luar biasa. Beban di dadanya seolah terangkat. "Terima kasih banyak, Bu," katanya tulus, sebelum bergegas masuk ke kamar mandi untuk mengambil kaosnya dan membersihkan diri.

Meskipun Mariana mencoba kembali membangun dindingnya, insiden malam itu telah meruntuhkan lebih banyak dari yang ia sadari. Edwin telah melihatnya dalam kondisi terlemah, dan ia sendiri telah melihat kejujuran serta kebaikan hati yang luar biasa dari seorang pemuda yang selama ini ia pandang sebelah mata. Pagi itu, di antara bau sisa alkohol yang samar dan aroma sabun dari kaos Edwin, ada sesuatu yang baru saja bersemi.


Asap Rokok dan Sebuah Permintaan Maaf

Edwin keluar dari kamar mandi, mengenakan kaosnya yang masih sedikit lembap. Udara sejuk apartemen terasa menyengat di kulitnya yang baru saja basah. Ia melihat Mariana sudah duduk tegak di sofa, kini dengan posisi yang lebih anggun, meskipun terlihat jelas ia belum sepenuhnya pulih. Ada sebatang rokok yang menyala di antara jari-jari rampingnya, mengepulkan asap tipis ke udara. Pemandangan itu, Mariana yang merokok di pagi hari di apartemen mewahnya, adalah sesuatu yang tidak pernah Edwin bayangkan.

Mariana menatapnya. "Duduk, Edwin," perintahnya, suaranya kembali datar, namun tidak lagi setajam semalam. Ia menunjuk kursi di hadapannya.

Edwin menurut. Ia duduk tegak di tepi kursi, canggung, dengan kaos yang sedikit basah menempel di tubuhnya. Ia tak berani menatap mata Mariana secara langsung. Matanya terpaku pada puntung rokok di asbak, lalu pada perabot di sekitar mereka. Rasa bersalah atas kejadian di mobil kemarin sore, kini bercampur dengan rasa malu akibat insiden tadi malam, membuat Edwin merasa sangat tidak nyaman.

Mariana menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskan asap perlahan. Matanya menyipit, mengamati Edwin. Keheningan kembali melingkupi mereka, hanya diselingi suara tarikan napas Mariana dan desiran asap rokok. Edwin merasa seperti diinterogasi, namun ia tahu ini adalah kesempatannya.

"Bu Mariana..." Edwin akhirnya memberanikan diri. Suaranya sedikit bergetar. "Saya... saya minta maaf. Soal kemarin sore di mobil." Ia mengangkat pandangannya sejenak, menatap Mariana yang masih terlihat dingin. "Saya tidak seharusnya bertanya soal... soal kehidupan pribadi Ibu. Saya tahu itu tidak sopan. Saya tidak bermaksud mencampuri. Saya hanya..." Edwin mencari kata-kata yang tepat. "Saya hanya... prihatin melihat Ibu terlihat lelah. Dan saya bicara tanpa berpikir." Ia menunduk lagi, merasa pipinya memanas. "Saya benar-benar minta maaf. Saya bersalah."

Mariana terdiam. Asap rokok keluar dari hidungnya. Ia menatap Edwin yang menunduk, mengakui kesalahannya dengan tulus. Dinding keangkuhan yang ia bangun mulai terasa goyah lagi. Permintaan maaf yang jujur ini, dari seorang pemuda yang baru saja melihatnya dalam kondisi paling tidak berdaya, entah mengapa terasa begitu nyata dan menyentuh. Edwin tidak mencoba membela diri, tidak mencoba menutupi kejadian semalam, hanya mengakui kesalahannya dengan jujur.

Mariana mematikan rokoknya di asbak, tatapannya masih tajam, namun kali ini lebih karena introspeksi. "Kau tidak seharusnya melihatku dalam kondisi seperti itu, Edwin," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Dan kau benar. Apa yang terjadi padaku, itu bukan urusanmu." Ia kemudian mendongak, menatap Edwin. "Tapi... aku menghargai kejujuranmu."

Edwin mengangkat pandangannya, sedikit terkejut. Mariana tidak marah seperti yang ia bayangkan. Bahkan ada sedikit pengakuan di sana. Sebuah gelombang kelegaan membanjiri dirinya. Pagi itu, di antara aroma tembakau dan kelembapan kaosnya, sebuah benang tipis pengertian mulai terjalin di antara mereka.

Mariana menyandarkan punggungnya ke sofa, menghela napas. "Sudah terlanjur  bukan?" ujarnya pelan, sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, terukir di bibirnya. Senyum itu tidak sinis, melainkan sebuah penerimaan. "Kau sudah tahu terlalu banyak tentangku. Jadi tidak ada gunanya lagi berpura-pura."

Edwin menatapnya, bingung namun lega. Sebuah senyum kecil, nyaris tidak kentara, tersungging di bibirnya. Ia tidak menyangka Mariana akan bereaksi seperti ini. Ada kelegaan yang luar biasa membanjiri dirinya.

Tiba-tiba, Mariana bergerak. Dengan gerakan yang tak terduga, ia mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekati Edwin. Jarak di antara mereka menyusut drastis. Edwin bisa mencium aroma parfum mewah yang memabukkan dari tubuh wanita itu, bercampur dengan samar-samar bau tembakau. Mariana mengangkat tangannya, meraih ujung kaos Edwin yang basah.

"Kau bisa sakit jika memakai baju basah seperti ini," bisik Mariana, suaranya rendah, nyaris tanpa emosi, namun ada sentuhan aneh yang membuat Edwin merinding. Dengan gerakan lambat, ia menarik ujung kaos Edwin, mengangkatnya sedikit demi sedikit.

Edwin seketika menjadi sangat grogi. Matanya membelalak, melihat tangan ramping Mariana yang kini sibuk melepas kaosnya. Ia ingin menahan, tapi tubuhnya seolah kaku. Ia menatap lurus ke depan, tapi pandangannya tak bisa lepas dari dada Mariana yang kini berada begitu dekat, hampir menyentuh hidungnya. Dari sana, aroma parfum yang memabukkan itu semakin kuat, merasuk ke indranya. Detak jantung Edwin berpacu, tak lagi karena panik, melainkan karena gejolak yang asing dan kuat. Sebuah sensasi birahi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, mulai menyeruak, membingungkan sekaligus mendebarkan. Tubuhnya menegang, merasakan setiap sentuhan tak langsung dari tangan Mariana yang bergerak perlahan menyingkap kaosnya.


Kaos Kering dan Tawaran Tak Terduga

Setelah kaos Edwin terlepas sepenuhnya, Mariana beranjak. Ia berjalan menuju sebuah pintu yang ternyata berada di ruangan sebelah kamar mandi. Edwin baru menyadari, itu pasti ruang laundry. Mariana membuka pintu, memasukkan kaos basah Edwin ke dalam mesin pengering, dan menekan beberapa tombol. Hanya beberapa menit kemudian, suara mesin itu berhenti. Mariana mengambil kaos Edwin yang kini sudah kering dan hangat.

Ia kembali menghampiri Edwin. Sebuah senyum tipis, lebih jelas dari sebelumnya, terukir di bibirnya saat ia menyerahkan kaos itu. Edwin bergegas meraihnya dan segera memakainya. Rasanya nyaman, hangat, dan bau bersih.

"Terima kasih banyak, Bu," ucap Edwin tulus, masih sedikit canggung karena kejadian barusan. Ia berdiri, bersiap untuk pamit. Rasa ingin cepat-cepat pulang dan menjauh dari situasi yang membingungkan ini begitu kuat.

"Kau mau pulang bagaimana?" tanya Mariana tiba-tiba, suaranya tenang, namun ada nada menguji di sana. "Kau tidak punya uang, bukan?"

Edwin terdiam. Ia baru ingat masalah itu. Wajahnya kembali memerah. "Iya, Bu. Saya... saya akan coba jalan kaki sampai menemukan angkutan umum atau pinjam ke teman."

Mariana menggelengkan kepala. "Tidak usah," katanya. "Aku akan mengantarmu."

Mata Edwin membelalak kaget. Diantar oleh bosnya, pemilik perusahaan besar, setelah insiden semalam, dan ke kosannya? Ini terlalu banyak hal baru dalam satu malam. "Tidak usah, Bu. Merepotkan Ibu," tolak Edwin buru-buru, meskipun dalam hati ia sangat lega.

"Tidak ada repotnya," potong Mariana, suaranya kini kembali tegas, tak terbantahkan. "Anggap saja ini... sebagai bagian dari tanggung jawabku karena telah membuat bajumu kotor." Ada kilatan geli di matanya yang nyaris tak terlihat. "Lagipula, kau sudah menolongku semalam."

Edwin akhirnya menyerah. Ia tahu tidak ada gunanya membantah Mariana jika wanita itu sudah membuat keputusan. Ia hanya mengangguk pasrah. "Baik, Bu. Terima kasih."

Pagi itu, di antara dinding apartemen mewah Mariana yang menyimpan begitu banyak rahasia, Edwin merasakan sesuatu yang baru. Sebuah sisi Mariana yang tak pernah ia bayangkan. Sebuah kehangatan yang perlahan mulai mencairkan hati angkuh itu, dan sebuah benih perasaan aneh yang mulai tumbuh di dalam dirinya, jauh di luar batas hubungan office boy dan bos.

...Pagi itu, di antara dinding apartemen mewah Mariana yang menyimpan begitu banyak rahasia, Edwin merasakan sesuatu yang baru. Sebuah sisi Mariana yang tak pernah ia bayangkan. Sebuah kehangatan yang perlahan mulai mencairkan hati angkuh itu, dan sebuah benih perasaan aneh yang mulai tumbuh di dalam dirinya, jauh di luar batas hubungan office boy dan bos.


Perjalanan Pagi yang Canggung

Mariana pergi ke kamarnya untuk berganti pakaian. Tak lama, ia keluar dengan tampilan yang lebih kasual dari biasanya di kantor: celana jeans gelap, kemeja longgar, dan rambut yang diikat seadanya. Meskipun demikian, aura elegan dan berkelasnya tak luntur. Ia meraih kunci mobilnya, lalu menatap Edwin yang masih berdiri canggung.

"Ayo," katanya singkat.

Edwin mengikutinya ke lift, lalu menuju basement tempat mobil Mariana terparkir. Ia duduk di kursi penumpang depan, merasakan aura keheningan yang berbeda dari sebelumnya. Ini bukan lagi keheningan yang dingin dan membatasi, melainkan keheningan yang dipenuhi oleh kejadian semalam, oleh pengakuan, dan oleh sentuhan tak terduga yang masih terasa di benaknya.

Mariana mulai mengemudi. Jalanan kota sudah mulai ramai, namun di dalam mobil mereka berdua, percakapan masih minim. Edwin sesekali melirik Mariana, yang kini terlihat lebih santai, meskipun guratan lelah masih sedikit tampak di wajahnya. Ia tak tahu harus berkata apa.

"Jadi, kosanmu di mana?" tanya Mariana akhirnya, memecah keheningan.

Edwin menyebutkan alamatnya yang sederhana, jauh dari kemewahan apartemen Mariana. Selama perjalanan, Mariana fokus menyetir, namun Edwin bisa merasakan sesekali matanya melirik ke arahnya. Ini bukan lagi tatapan angkuh yang menghakimi, melainkan tatapan yang lebih ingin tahu, bahkan mungkin sedikit... lembut.

Tak sampai tiga puluh menit, mobil Mariana berhenti di depan sebuah gang sempit, tempat kosan Edwin berada. Edwin merasa lega sekaligus entah kenapa, sedikit kecewa karena momen ini akan berakhir.

"Sudah sampai, Bu," kata Edwin.

Mariana mengangguk. "Terima kasih sudah membantuku semalam, Edwin," ucapnya, suaranya tulus. "Aku... aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak ada."

Edwin sedikit terkejut mendengar ucapan terima kasih yang begitu lugas dari Mariana. "Sama-sama, Bu. Itu sudah tugas saya." Ia kemudian teringat sesuatu. "Dan maaf sekali lagi atas semua yang terjadi, Bu."

Mariana tersenyum tipis. "Sudah, lupakan. Anggap saja... insiden." Matanya menatap Edwin dalam-dalam, sebuah kilatan tak biasa melintas di sana. "Jaga dirimu. Dan jangan telat besok."

Edwin mengangguk. "Baik, Bu." Ia membuka pintu mobil, jantungnya masih berdebar. Sebelum ia keluar, ia menoleh sekali lagi. "Hati-hati di jalan, Bu Mariana."

Mariana hanya mengangguk, namun kali ini ia membalas tatapan Edwin lebih lama dari biasanya.


Sebuah Awal yang Tak Terduga

Edwin berjalan masuk ke gang, lalu menoleh kembali. Mobil Mariana masih terparkir di sana, tak bergerak. Ia melihat wanita itu menatap ke arahnya melalui kaca spion, sebelum akhirnya mobil mewah itu perlahan melaju pergi, menghilang di balik tikungan.

Malam dan pagi itu telah mengubah banyak hal. Edwin, si office boy yang polos, kini memiliki rahasia bersama bosnya yang angkuh. Ia telah melihat kerapuhan di balik benteng kuat Mariana, dan telah merasakan sentuhan serta perhatian yang melampaui batas profesionalisme. Perasaan aneh itu, campuran rasa hormat, simpati, dan sesuatu yang lebih dalam, mulai berakar kuat di hatinya.

Di sisi lain, Mariana yang angkuh dan kesepian, kini merasa sedikit terpecah. Kejadian semalam, dan ketulusan Edwin yang tak tergoyahkan, telah membuka celah di dinding yang sudah lama ia bangun. Ia tak bisa mengabaikan perhatian tulus pemuda itu, atau keberaniannya yang datang di saat ia paling rapuh. Edwin, si office boy berumur 17 tahun, telah memberinya secangkir kopi hangat yang lebih dari sekadar minuman; itu adalah secangkir harapan dan pengertian. Perjalanan menuju sebuah hati yang terbuka, mungkin baru saja dimulai, dari sebuah perjumpaan tak terduga di tengah malam dan sebuah permintaan maaf di pagi hari yang canggung.


Kunjungan Tak Terduga di Hari Libur

Minggu pagi itu, Edwin sedang asyik menyapu halaman depan rumah sederhana yang ia tinggali. Rumah itu bukan kosan, melainkan rumah peninggalan pamannya yang sudah pindah ke Sumatra. Halamannya tidak luas, tapi bersih dan ditumbuhi beberapa tanaman hias. Tiba-tiba, sebuah mobil sedan hitam yang dikenalnya berhenti di depan gerbang. Jantung Edwin sontak berdegup kencang saat melihat siapa yang keluar dari balik kemudi. Mariana.

Mariana tampil berbeda. Ia mengenakan celana jeans dan blus kasual, dengan rambut yang diikat ekor kuda. Namun, auranya yang berwibawa tetap tak puntur. Edwin langsung meletakkan sapunya, terkejut.

"Bu Mariana? Ada apa, Bu? Kenapa Ibu... menjemput saya? Ini kan hari libur," tanya Edwin, bingung dan sedikit panik. Jangan-jangan ada masalah di kantor yang sangat mendesak.

Mariana tersenyum tipis, senyum yang sangat jarang Edwin lihat. "Menjemput? Tidak. Aku hanya sedang ingin jalan-jalan," jawabnya santai. "Dan kebetulan lewat sini. Ingin lihat-lihat saja tempat tinggalmu."

Edwin terkesiap. Ia tidak menyangka Mariana akan datang berkunjung ke rumahnya. Rumahnya sangat sederhana, jauh berbeda dengan apartemen mewah bosnya. Rasa malu kembali menyelimuti.

"Oh... silakan masuk, Bu," kata Edwin canggung, membuka gerbang. Ia menuntun Mariana masuk ke rumah. Mariana melangkah perlahan, matanya mengamati setiap sudut dengan tatapan ingin tahu. Dari halaman depan yang kecil, ke ruang tamu yang hanya berisi sofa dan meja seadanya, lalu ke dapur yang mungil.

"Ternyata bukan kosan," gumam Mariana. "Rumahmu bersih."

Edwin sedikit lega mendengar komentar itu. "Iya, Bu. Ini rumah paman saya yang sekarang di Sumatra. Saya sendirian di sini."

Mariana mengangguk, lalu berjalan ke teras belakang yang menghadap ke kebun kecil. Ia mengamati tanaman-tanaman yang tumbuh di sana. Edwin merasa seperti sedang diinspeksi. Ini adalah kesempatan Mariana untuk membalas dendam, mencari tahu seluruh isi rumah dan kehidupan sederhana Edwin.

Setelah beberapa saat, Edwin merasa perlu untuk membersihkan diri. Ia masih mengenakan baju rumah yang sederhana dan belum mandi. "Maaf, Bu Mariana," katanya. "Saya... saya izin mandi dulu, ya? Ibu bisa duduk di ruang tamu."

Mariana menoleh, sebuah senyum kecil kembali terukir di bibirnya. "Silakan," jawabnya, suaranya tenang.

setelah beberapa menit di mandi, edwin keluar dengan hanya berbalut handuk dan rambut sedikit basah. 

Tepat ketika Edwin melangkah masuk ke kamarnya, ia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Ia berbalik, dan betapa terkejutnya dia. Mariana, yang tadinya ia kira masih duduk di ruang tamu, kini sudah berdiri di ambang pintu kamarnya!

Wanita itu tersenyum, senyum yang lebih lebar dari senyumnya tadi, senyum yang memancarkan kenakalan dan rasa ingin tahu yang tak terbendung. Matanya menatap langsung pada Edwin yang kini hanya mengenakan handuk yang melilit pinggangnya. Tubuh Edwin seketika menegang. Wajahnya memerah padam. Ia merasakan setiap sentuhan pandangan Mariana, apalagi kini ia berhadapan langsung dengan bosnya dalam kondisi nyaris telanjang. Udara di dalam kamar terasa menipis, dipenuhi ketegangan yang mendebarkan.

"Nah, sekarang giliran aku yang tahu banyak tentangmu, Edwin," bisik Mariana, suaranya rendah dan menggoda, dengan senyum yang tak pudar.


Momen Tak Terduga di Ambang Pintu Kamar

Edwin merasa seluruh darahnya berdesir. Ia mundur selangkah, tanpa sadar mencengkeram handuknya lebih erat. Otaknya mencoba memproses situasi yang tak masuk akal ini. Bosnya, Mariana yang angkuh, kini berdiri di kamarnya, menatapnya, dan bahkan tersenyum dengan cara yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

"Bu... Bu Mariana..." Edwin tergagap, tak menemukan kata-kata yang tepat. Ia merasa sangat malu, tapi juga ada gejolak aneh di dalam dirinya. Aroma parfum mewah Mariana, yang kini begitu dekat, memabukkan indranya. Tatapan mata wanita itu, yang sebelumnya tajam dan penuh kritik, kini mengandung kehangatan yang tak terduga, bercampur dengan sesuatu yang lebih... personal.

Mariana mengambil satu langkah maju, mengurangi jarak di antara mereka. Senyumnya tak luntur. Matanya menyapu tubuh Edwin yang hanya tertutup handuk, lalu kembali menatap wajah pemuda itu.

"Apa kau terkejut?" tanyanya, suaranya masih rendah dan menggoda. "Atau... kau pikir hanya aku yang punya rahasia yang tersembunyi?"

Edwin menelan ludah. Ia tak sanggup menjawab. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia takut Mariana bisa mendengarnya. Perasaan campur aduk antara malu, bingung, dan gairah yang tak dikenal membayanginya. Ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari Mariana, yang kini berdiri begitu dekat, begitu nyata, dan begitu berbeda dari Mariana yang ia kenal di kantor.

Mariana mengangkat tangannya perlahan. Edwin mengira wanita itu akan menamparnya, atau setidaknya memarahinya karena berani-beraninya berada dalam situasi ini. Namun, yang terjadi selanjutnya membuat Edwin terpaku. Tangan Mariana terulur, bukan untuk menyerang, melainkan untuk merapikan sedikit lipatan handuk di pinggang Edwin, sebuah sentuhan singkat yang begitu intim dan tak terduga.

Jemari Mariana menyentuh kulit Edwin yang basah, menyebabkan Edwin menegang. Mata mereka bertemu. Ada kilatan aneh di mata Mariana, campuran rasa geli, kepuasan, dan sesuatu yang lebih dalam. Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, terukir di bibirnya.

"Kau... tidak perlu terburu-buru," bisik Mariana, suaranya rendah, nyaris tanpa emosi, namun menggema di telinga Edwin. "Kita punya banyak waktu."

Edwin membeku. Seluruh dunia seolah berhenti berputar. Ia tidak bisa bergerak, tidak bisa berkata-kata. Wanita angkuh yang selama ini ia pandang sebagai sosok tak tersentuh, kini berada di kamarnya, menyentuhnya dengan cara yang tak terduga, dan mengucapkan kata-kata yang begitu intim. Batasan antara bos dan karyawan, antara usia dan status, seolah lenyap begitu saja, melebur dalam momen yang penuh ketegangan dan makna tersembunyi ini.

Penyesalan dan Pelarian

Tiba-tiba, senyum di wajah Mariana perlahan memudar. Kilatan di matanya berganti dengan ekspresi lain—sebuah bayangan penyesalan yang melintas cepat. Ia seolah tersadar akan apa yang baru saja ia lakukan, betapa jauhnya ia telah melangkah. Bahunya sedikit merosot, dan tatapannya yang tadinya menggoda kini berubah menjadi lebih kosong.

Edwin melihat perubahan mendadak itu. Ketegangan yang mencekam di antara mereka belum sepenuhnya hilang, namun kini disusul oleh aura canggung yang baru.

"Maaf," gumam Mariana, suaranya nyaris tak terdengar, seolah kata itu berat untuk diucapkan. Ia menarik tangannya dari pinggang Edwin dengan cepat.

Tanpa menunggu respons dari Edwin, Mariana berbalik. Langkahnya yang tadinya anggun kini berubah tergesa-gesa. Ia berjalan cepat meninggalkan kamar Edwin, lalu melewati ruang tamu, dan bahkan tidak menoleh saat melintasi pintu depan.

Edwin hanya bisa terdiam, terpaku di tempatnya. Ia mendengar deru mesin mobil Mariana menyala, lalu suara ban berdecit samar saat mobil itu melaju pergi dengan cepat. Ia tetap berdiri di ambang pintu kamar mandi, dengan handuk melilit pinggangnya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Kilatan di mata Mariana, sentuhan tangannya, bisikan kata-kata itu... dan kemudian, penyesalan yang mendadak, serta pelarian yang terburu-buru.

Ia menyentuh pipinya yang tadi disentuh Mariana, lalu meremas handuknya. Pagi itu, di rumah sederhana Edwin, sebuah babak baru telah terbuka, meninggalkan kebingungan, gairah yang belum terjawab, dan pertanyaan-pertanyaan yang tak terucapkan di udara. Apakah ini adalah awal dari sesuatu, atau hanya sebuah kesalahan yang ingin dilupakan oleh Mariana?

Di Balik Pintu Kamar Mandi

Edwin berdiri mematung di ambang pintu kamarnya, terbalut handuk. Detik-detik terasa seperti jam. Suara mobil Mariana yang menjauh perlahan menghilang ditelan hiruk pikuk pagi. Seluruh tubuhnya terasa panas dingin. Pikirannya dipenuhi kilasan kejadian barusan: tatapan mata Mariana yang berubah, sentuhan tangannya di pinggangnya, bisikan menggoda, dan kemudian... penyesalan yang tiba-tiba, serta pelarian wanita itu.

Ia menelan ludah. Rasa malu dan bingung berkejaran dengan sensasi aneh yang masih terasa di kulitnya. Sebagai laki-laki normal berusia 17 tahun, menghadapi situasi seintim itu dengan seorang wanita, apalagi bosnya, memicu reaksi alamiah dalam dirinya. Tubuhnya masih menegang, dan ada desakan yang tak bisa ia abaikan.

Dengan pikiran yang campur aduk, Edwin bergegas masuk ke kamar mandi. Ia menutup pintu, bersandar padanya sejenak, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih memburu. Aroma parfum mewah Mariana, yang masih tercium samar di udara kamar, seolah melekat di indranya, terus-menerus mengingatkannya pada kejadian barusan.

Ia menatap pantulan dirinya di cermin, wajahnya masih memerah. Kenapa Mariana melakukan itu? Apa maksudnya? Dan kenapa ia sendiri merasa... tertarik? Itu adalah bosnya, wanita yang usianya dua kali lipat darinya, wanita yang selama ini ia anggap dingin dan angkuh.

Edwin menyalakan keran, membiarkan air dingin membasahi tangannya. Namun, itu tidak cukup meredakan gejolak di dalam dirinya. Dalam kekalutan itu, pikirannya kembali pada sentuhan Mariana, bisikan-bisikannya, dan tatapan matanya. Sebagai seorang pemuda yang baru merasakan gejolak asmara yang intens, ia tak bisa menahan diri. Dengan perasaan campur aduk antara rasa bersalah dan desakan naluri, Edwin menggosok bagian intimnya yang terlanjur menegang. Sedikit tetesan basah terlihat di handuknya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengenyahkan pikiran yang begitu mengganggu itu.

Setelah menenangkan diri, Edwin bergegas mandi, membiarkan air dingin membersihkan bukan hanya tubuhnya, tetapi juga mencoba membasuh kekalutan yang melanda pikirannya. Ia tahu, setelah hari ini, hubungan antara dirinya dan Mariana tidak akan pernah sama lagi. Sebuah batasan telah terlampaui, dan ia tidak tahu apakah itu akan membawa kebaikan atau justru masalah.

Pelarian dan Badai Batin Mariana

Mariana mengemudi dengan cepat, jantungnya berpacu seiring laju mobilnya. Ia meninggalkan rumah sederhana Edwin di belakangnya, namun pemandangan Edwin yang bertelanjang dada, dengan handuk melilit pinggang, dan tatapan matanya yang terkejut, terus berkelebat di benaknya. Sensasi sentuhan kulit Edwin yang basah masih terasa di ujung jemarinya.

Sesampainya di apartemen, Mariana segera masuk, membanting pintu sedikit keras. Ia menyandarkan punggungnya ke pintu, memejamkan mata, dan menghela napas panjang. Rasa malu, penyesalan, dan juga gejolak aneh yang telah ia coba pendam, kini meledak di dalam dirinya.

Ia berjalan gontai ke sofa, tempat ia tertidur semalam. Matanya melihat bantal yang masih berbekas tidurnya, dan di meja, ada cangkir kopi kosong yang tadi pagi ia minum. Semua itu mengingatkannya pada Edwin. Bagaimana pemuda itu menolongnya semalam, ketulusannya, dan cara ia menatapnya tanpa penghakiman.

Mariana berjalan ke jendela besar, menatap pemandangan kota yang mulai sibuk. Biasanya, pemandangan ini memberinya rasa damai dan kendali. Namun pagi ini, ia merasa di luar kendali. Apa yang barusan ia lakukan? Menjemput office boy-nya di rumah, masuk ke kamarnya, dan bahkan... menyentuhnya seperti itu. Itu adalah tindakan yang sangat tidak profesional, sangat impulsif, dan sangat tidak seperti dirinya yang angkuh dan terkontrol.

Wajahnya memanas saat mengingat senyum polos Edwin ketika ia melepas kaos basahnya tadi pagi. Dan bisikannya... "Kau... tidak perlu terburu-buru. Kita punya banyak waktu." Kata-kata itu, yang keluar dari bibirnya sendiri, kini terasa begitu asing namun memicu getaran di dalam hatinya.

Mariana merasa marah pada dirinya sendiri. Marah karena ia membiarkan dirinya begitu rentan di depan Edwin. Marah karena ia kehilangan kendali. Dan marah karena, jujur saja, ada bagian dari dirinya yang menikmati momen ketegangan itu, menikmati perhatian tulus dari Edwin.

Ia memijat pelipisnya. Selama ini, ia hidup dalam kesepian yang ia pilih sendiri, membangun benteng di sekelilingnya untuk melindungi diri dari kekecewaan dan kerentanan. Ia adalah wanita mandiri, sukses, dan tidak membutuhkan siapa pun. Namun, Edwin, office boy muda itu, dengan segala kesederhanaan dan ketulusannya, telah berhasil menyusup masuk, meruntuhkan dindingnya, sedikit demi sedikit.

"Bodoh!" gumam Mariana pada dirinya sendiri, melemparkan bantal sofa. Ia berjalan ke kamar mandi, menatap pantulan dirinya di cermin. Mata lelah, bibir yang sedikit pucat. Ia melihat wanita berusia 40 tahun, yang kesepian, dan baru saja melakukan hal yang tidak terduga dengan seorang pemuda 17 tahun.

Mariana tahu ia harus kembali ke rutinitas, ke perannya sebagai bos yang angkuh dan tak tersentuh. Ia harus melupakan kejadian hari ini, menganggapnya sebagai sebuah kebodohan yang disebabkan oleh pengaruh alkohol semalam. Tapi, ia juga tahu, jauh di lubuk hatinya, bahwa momen-momen bersama Edwin telah meninggalkan jejak yang tak bisa dihapus begitu saja.

Ia memutuskan untuk tidak pergi ke kantor hari itu. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri, untuk menyusun kembali benteng yang telah goyah. Namun, pikiran tentang Edwin, tentang mata polos itu, dan sentuhan yang tak terduga, terus berputar di benaknya, mengganggu ketenangan yang ia dambakan.

Redaman di Bathtub Mewah

Meskipun pagi masih cukup sejuk, Mariana merasa tubuhnya gerah. Bukan gerah karena suhu udara, melainkan gerah karena gejolak emosi yang mengaduk-aduk batinnya. Perasaan malu, penyesalan, dan juga sensasi aneh yang ditinggalkan oleh sentuhan Edwin, semuanya bercampur menjadi satu, membuat kulitnya terasa panas.

Ia melangkah gontai menuju kamar mandi utama. Aroma sabun yang tadi pagi ia cium dari kaos Edwin, kini kembali menyeruak samar, mengingatkannya pada pemuda itu. Mariana menyalakan keran air hangat, membiarkan bathtub mewahnya terisi. Asap tipis mengepul, memenuhi ruangan.

Dengan pikiran yang kalut, ia melepaskan pakaiannya satu per satu, lalu perlahan masuk ke dalam bathtub. Air hangat langsung memeluk tubuhnya, namun tak sepenuhnya meredakan kegelisahan di hatinya. Mariana memejamkan mata, menyandarkan kepala ke pinggiran bathtub.

Ia mencoba mengosongkan pikirannya, namun bayangan wajah polos Edwin, dan sentuhan tangannya di pinggang pemuda itu, terus berkelebat. Mariana meraih sabun, lalu mulai mengusapkannya ke seluruh bagian tubuhnya. Dari pundak, lengan, perut, hingga kakinya. Setiap usapan seolah mencoba membersihkan tidak hanya kotoran fisik, tetapi juga jejak emosional dari kejadian yang baru saja ia alami.

Tangannya bergerak perlahan, mengusap betisnya yang mulus, teringat bagaimana mata Edwin sempat terpaku di sana semalam. Sebuah desiran halus menjalari tubuhnya. Ia mengusap pinggangnya, teringat bagaimana jemari Edwin menahannya agar tidak jatuh di lift. Kemudian, ia menyentuh bibirnya, mengingat bisikan-bisikan dan senyum yang ia tunjukkan pada Edwin.

Mariana menghela napas panjang. Ia berusaha menekan perasaan aneh yang mulai tumbuh itu. Ini salah. Ini tidak seharusnya terjadi. Ia adalah bosnya, wanita dewasa, dan Edwin hanyalah seorang pemuda yang bekerja padanya. Namun, ia tidak bisa memungkiri bahwa sentuhan dan perhatian tulus dari Edwin telah menembus pertahanannya yang kokoh. Di dalam bathtub yang penuh uap itu, Mariana berjuang melawan perasaannya sendiri, mencoba memahami apa sebenarnya yang telah terjadi, dan ke mana arah semua ini akan membawanya.

Keheningan yang Membingungkan di Kantor

Keesokan harinya di kantor, suasana antara Edwin dan Mariana terasa begitu pekat dengan kecanggungan. Edwin datang lebih awal, memastikan ia sudah siap dengan tugasnya mengantar kopi. Saat ia mengetuk pintu ruangan Mariana, rasanya seperti ada beban berat di dada. Mariana membukakan pintu, tatapannya datar, nyaris tanpa ekspresi. Edwin hanya mengangguk kecil, meletakkan kopi di meja, dan bergegas keluar. Tak ada sepatah kata pun terucap dari Mariana, dan Edwin pun tak berani memulai.

Sepanjang hari, mereka berdua seperti dua kutub yang saling menjauh, meski berada di satu kantor yang sama. Mariana sesekali memanggil karyawan lain untuk tugas yang biasanya ia berikan pada Edwin. Edwin mencoba fokus pada pekerjaannya, membersihkan, mengantar dokumen, tapi setiap kali pandangannya tak sengaja bertemu dengan Mariana, kecanggungan itu kembali menusuk. Perasaan semalam, momen di rumahnya, semua itu seolah menjadi rahasia yang mengikat dan sekaligus memisahkan mereka. Edwin merasa bersalah karena telah melampaui batas, dan ia yakin Mariana pun merasakan hal yang sama.

Tawaran Antar dan Jalan yang Berbeda

Jam kerja berakhir. Seperti biasa, Edwin bersiap pulang. Ia tahu hari ini ia harus mencari angkutan umum, atau mungkin jalan kaki lebih jauh, karena insiden dompetnya semalam. Ia berjalan menuju halte bus, yang sudah dipenuhi oleh para pekerja yang juga ingin pulang. Bus pertama lewat, penuh sesak. Bus kedua pun sama. Edwin menghela napas, bersiap untuk menunggu lebih lama, atau mungkin memilih angkot.

Tiba-tiba, sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depannya. Jendela mobil terbuka, dan wajah Mariana terlihat di baliknya.

"Edwin," panggilnya, suaranya tenang, namun ada nada yang tak terbantahkan. "Masuk. Aku akan mengantarmu."

Edwin terkejut. Setelah semua kecanggungan hari ini, ia tidak menyangka Mariana akan menawarinya tumpangan lagi. Ia ragu sejenak, namun di tengah keramaian dan keputusasaan mencari angkutan, ia akhirnya menurut. Ia masuk ke kursi penumpang depan, jantungnya berdebar.

"Terima kasih banyak, Bu," ucap Edwin pelan.

Mariana hanya mengangguk, lalu mulai melajukan mobilnya. Suasana hening kembali menyelimuti mereka. Edwin mencoba melirik ke luar jendela, menghindari tatapan Mariana. Ia merasa aneh. Mobil melaju lurus, melewati jalan yang seharusnya menuju arah kosannya. Seharusnya mereka sudah belok di persimpangan tadi.

Edwin merasa bingung. Ia menoleh ke arah Mariana yang masih fokus menyetir, wajahnya tenang tanpa ekspresi.

"Bu Mariana... ini bukan jalan ke tempat saya," Edwin memberanikan diri. Ada nada pertanyaan dan kecemasan dalam suaranya. Ia menatap Mariana, mencoba mencari jawaban di mata wanita itu, tapi Mariana tetap tak menunjukkan emosi. Mobil terus melaju lurus, entah menuju ke mana.


Keringat dan Tarikan Tangan

Mariana terdiam, tidak menjawab pertanyaan Edwin. Namun, Edwin bisa melihat perubahan halus pada wanita itu. Genggaman tangannya di kemudi sedikit mengerat. Perlahan, Edwin melihat butiran-butiran keringat mulai mengucur deras di dahi dan leher Mariana. Bau parfum mewahnya seolah bercampur dengan aroma keringat yang samar. Meskipun ia mencoba mempertahankan ekspresi datarnya, ketegangan jelas terpancar dari dirinya.

Edwin tahu. Ia tahu kemana Mariana membawanya. Destinasi ini tidak asing lagi. Apartemen mewah yang menjadi saksi bisu kerapuhan Mariana dua hari lalu.

Mobil Mariana terus melaju, tak ada percakapan, hanya suara mesin dan detak jantung Edwin yang semakin cepat. Hingga akhirnya, mobil itu berhenti di depan lobi apartemen mewah yang sudah sangat ia kenal.

Mariana mematikan mesin mobil. Keheningan yang menggantung di antara mereka terasa begitu tebal. Ia menoleh ke arah Edwin, tatapannya kini bercampur antara kegelisahan dan sebuah tekad yang tak terucap.

"Ayo," bisik Mariana, suaranya sedikit serak.

Edwin ragu, tubuhnya enggan bergerak. Namun, sebelum ia sempat menolak atau bertanya, Mariana bergerak cepat. Ia sedikit membungkuk, meraih tangan Edwin, dan dengan sedikit tarikan, ia menarik pemuda itu keluar dari mobil. Genggamannya erat, hangat, dan mengandung perintah yang tak bisa dibantah. Edwin hanya bisa menurut, merasakan tangannya yang kini berada dalam genggaman erat Mariana. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ia tahu bahwa ia telah ditarik kembali ke dalam pusaran misteri dan ketegangan yang melibatkan bosnya.

Sebuah Undangan yang Membingungkan

Mariana tak melepaskan genggamannya. Dengan langkah cepat, ia menarik Edwin menuju pintu apartemennya. Keringat yang kian mengucur di dahi dan leher Mariana semakin deras, membasahi sebagian kemeja putihnya yang longgar. Kain tipis itu kini sedikit menempel di kulitnya, menyorotkan bentuk tubuhnya yang tersembunyi di balik penutupnya. Edwin menelan ludah, detak jantungnya semakin tak beraturan.

Mariana membuka pintu apartemen, lalu dengan sekali sentakan, ia menarik Edwin masuk ke dalam. Pintu tertutup di belakang mereka, memutus akses ke dunia luar. Edwin berdiri di tengah ruang tamu yang familiar, namun kini terasa asing dan penuh aura.

Mariana berbalik menghadap Edwin. Keheningan kembali memekakkan telinga. Napasnya sedikit memburu, dan keringat di wajahnya berkilau di bawah lampu. Ia menatap Edwin. Kali ini, tatapan matanya bukan lagi angkuh, bukan pula sekadar penasaran. Ada sorot penuh harapan, sebuah permohonan yang tak terucapkan, terpancar jelas dari mata gelapnya.

Edwin menatap balik, bingung dan serba salah. Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Tatapan penuh harapan itu, bercampur dengan keintiman yang tiba-tiba, membuat dirinya merasa terjebak. Ia merasakan hawa panas yang menyengat, bukan hanya dari tubuh Mariana, tetapi juga dari suasana di antara mereka yang semakin tegang. Apa yang diinginkan Mariana darinya? Dan apa yang seharusnya ia lakukan?


Pelukan di Tengah Ketegangan

Edwin masih berdiri mematung, kebingungan dan rasa malu menguasainya. Tiba-tiba, Mariana bergerak maju. Dengan langkah yang mantap, ia menghampiri Edwin. Sebelum Edwin sempat bereaksi, Mariana telah memeluknya erat.

Edwin membeku. Seluruh tubuhnya menegang merasakan dekapan Mariana. Ia bisa mencium aroma parfum mewah yang memabukkan, kini bercampur dengan bau keringat yang samar dari tubuh Mariana. Aroma itu, bagi Edwin, adalah perpaduan aneh yang entah mengapa justru membangkitkan perasaan tak terduga dalam dirinya, mendorongnya ke dalam pusaran perasaan yang tak ia kenal.

Mariana memeluknya lebih erat, seolah mencari perlindungan. Kepalanya bersandar di dada Edwin, dan ia bisa merasakan napas Mariana yang memburu.

"Aku... aku minta maaf," bisik Mariana lirih, suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam pelukan mereka. Kata-katanya keluar seolah berat, penuh penyesalan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, Edwin. Tapi... aku merasa sangat kesepian. Sangat, sangat kesepian."

Edwin masih bingung. Ia tak tahu harus berbuat apa. Namun, ia bisa merasakan kerapuhan Mariana dalam pelukan itu. Ketegangan di antara mereka, yang semula membebani, kini perlahan berubah menjadi sesuatu yang lain—sebuah keintiman yang mendalam dan tak terduga. Di antara bau keringat, aroma parfum mewah, dan bisikan keputusasaan Mariana, sebuah petualangan baru terasa mulai membentang di antara mereka berdua, yang kini terikat dalam pelukan yang mengungkapkan lebih banyak dari ribuan kata. Edwin, untuk pertama kalinya, merasakan beban berat di pundak bosnya, dan ia, entah mengapa, ingin sekali meringankannya.

Pertanyaan yang Menggantung

Perlahan, Mariana melonggarkan pelukannya. Ia mendongak, melepaskan diri dari Edwin, namun pandangan matanya tetap terpaku pada wajah pemuda itu. Matanya sedikit merah, bekas tangis yang tak tertumpahkan. Keringat masih membasahi dahi dan lehernya, membuat kemeja putihnya sedikit menempel.

Mariana menghela napas, menatap Edwin dengan sorot mata yang penuh makna, ada campuran kerentanan dan sebuah pertanyaan yang menggantung.

"Edwin..." Mariana memulai, suaranya lirih, nyaris seperti gumaman. "kamu pernah?"

Edwin Malik tersentak. Pertanyaan itu datang begitu tiba-tiba, begitu personal, dan jauh melampaui batas yang pernah ia bayangkan. Ia menatap Mariana, mata polosnya berkedip, mencoba memahami maksud di balik pertanyaan itu. Antara benar-benar tidak mengerti atau pura-pura bodoh karena kaget, Edwin hanya bisa mengulang pertanyaan itu.

"Pernah... pernah apa, Bu?" tanya Edwin, suaranya ragu, otaknya masih mencerna.

Mariana tidak menjawab langsung. Ia malah mengambil langkah maju, mendekat lagi hingga jarak mereka kembali menyusut. Tatapan matanya yang sayu kini mengunci pandangan Edwin, penuh permohonan yang tak terucapkan, sebuah kerentanan yang mendalam. Ia mengangkat tangannya, meraih salah satu tangan Edwin, dan menggenggamnya erat.

"Kamu... mau?" bisik Mariana, suaranya nyaris bergetar, memelas, seolah menanyakan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang telah lama ia simpan dalam kesepian. Pertanyaan itu bukan hanya tentang sebuah tindakan, melainkan tentang sebuah keinginan, sebuah kebutuhan yang tulus dari lubuk hatinya.


Ketika Bibir Bicara Lebih Dulu

Belum juga keluar jawaban dari bibir Edwin. Otaknya masih kalut, mencoba memahami semua yang terjadi. Namun, secara tak sadar, bibirnya sendiri telah terkunci.

Mariana, dengan mata terpejam, mencondongkan tubuhnya. Bibir mereka bersentuhan, lembut pada awalnya, lalu semakin dalam. Edwin merasa seluruh tubuhnya dialiri listrik. Matanya terbelalak sesaat, terkejut, sebelum akhirnya ia pun ikut memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam sensasi yang asing dan mendebarkan ini.

Saat itu, Edwin rasanya mau meledak. Perasaan campur aduk antara kebingungan, kegembiraan, dan ketidakpercayaan memenuhi dirinya. Sentuhan bibir Mariana, aroma parfum mewahnya yang kini semakin kuat, dan kesadaran bahwa ini adalah bosnya, wanita yang selama ini ia anggap tak terjangkau, membuat detak jantungnya berpacu liar. Dunia di sekitarnya seolah menghilang, hanya menyisakan mereka berdua di tengah apartemen mewah yang kini menjadi saksi bisu dari puncak ketegangan yang akhirnya pecah.

Tiba-tiba, Edwin merasakan gelombang emosi dan hasrat yang tak tertahankan, membanjiri dirinya hingga ke batas.

Mariana mendorong Edwin menjauh. Matanya terbuka lebar, namun kini penuh dengan keterkejutan dan mungkin, sedikit rasa takut yang mendalam. Tanpa sepatah kata pun, Mariana melangkah mundur, meraih kenop pintu apartemennya. Dengan gerakan cepat, ia membuka pintu dan mendorong Edwin keluar.

Edwin terhuyung di luar unit apartemen, jantungnya berdebar kencang, napasnya tersengal-sengal seperti habis lari maraton. Pintu di depannya tertutup dengan bunyi 'klik' yang mematikan. Ia bisa mendengar suara Mariana bersandar di baliknya, suara napas berat wanita itu yang samar.

Edwin berdiri di lorong apartemen yang hening, kebingungan melandanya. Apa yang barusan terjadi? Mengapa Mariana tiba-tiba mendorongnya dan menguncinya di luar? Wajahnya memerah, bukan hanya karena sisa gejolak emosi, tapi juga karena rasa malu dan tidak mengerti.

Ia menenangkan napasnya yang masih memburu, mencoba mencerna rentetan kejadian aneh ini. Satu menit yang lalu ia dicium oleh bosnya, sekarang ia berada di luar, diusir tanpa penjelasan. Tanpa pilihan lain, Edwin hanya bisa berjalan gontai menuju lift, meninggalkan apartemen mewah itu dengan seribu pertanyaan di benaknya. Aroma parfum Mariana masih melekat samar di indranya, meninggalkan jejak kekacauan yang tak terurai.


Di Balik Pintu yang Tertutup

Sementara itu, di dalam unit apartemennya, Mariana merosot ke lantai, bersandar pada pintu yang baru saja ia kunci. Ia membenamkan wajahnya di lutut, dan tangis tertahan pun pecah. Suara isakannya lirih, namun penuh dengan gejolak emosi yang saling bertabrakan.

Ia menangis terisak-isak, membiarkan air mata membasahi pipinya. Namun, di tengah isakannya, sebuah senyum bahagia tipis muncul di bibirnya, seolah tak bisa ia tahan. Senyum itu lenyap sejenak, digantikan oleh cemberut imut seperti anak kecil yang kehilangan sesuatu, lalu kembali lagi menjadi senyum tipis yang penuh rahasia. Wajahnya yang biasanya angkuh kini menunjukkan rentetan ekspresi yang kontradiktif: kebingungan, kelegaan, rasa takut, namun di atas segalanya, sebuah kegembiraan yang aneh dan tak bisa ia definisikan.

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menguasai diri. Keputusannya untuk mendorong Edwin keluar adalah reaksi spontan, sebuah pertahanan diri agar ia tidak melangkah lebih jauh, agar ia tidak kehilangan kendali sepenuhnya. Namun, ia tidak bisa menipu dirinya sendiri. Sentuhan bibir Edwin, respons pemuda itu yang polos namun penuh gairah, telah membangkitkan sesuatu yang sudah lama terkubur dalam dirinya—sesuatu yang membuatnya merasa hidup kembali.

Mariana tahu ia telah bertindak impulsif. Ia telah meruntuhkan semua batasan yang selama ini ia bangun. Tapi, entah mengapa, ia tidak menyesalinya sepenuhnya. Ada secercah harapan dan kebahagiaan yang samar, bercampur dengan rasa takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Badai di Dalam Diri

Mariana bangkit dari lantai, langkahnya goyah namun penuh tekad. Ia berjalan menuju jendela besar, menatap ke arah bawah, seolah bisa melihat Edwin yang kini sedang berjalan menjauh. Punggung pemuda itu perlahan mengecil, dan sebuah perasaan hampa mendadak menyergapnya.

"Aku... aku tidak bisa," bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya parau. Ia tahu ia tidak bisa membiarkan dirinya jatuh terlalu jauh, terlalu cepat. Selama ini, ia adalah Mariana yang kuat, yang tak tersentuh. Momen ini, meskipun membawa kebahagiaan yang asing, juga mengancam seluruh identitas yang telah ia bangun.

Ia berjalan mondar-mandir di ruang tamunya, seperti harimau yang terperangkap dalam kandang. Otaknya berputar cepat. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Apakah ia harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa di kantor besok? Atau apakah ia harus menghadapi kenyataan baru ini?

Secara impulsif, Mariana meraih ponselnya, berniat menelepon seseorang—siapa saja—untuk meluapkan perasaannya. Namun, tidak ada nama yang muncul di benaknya. Teman-temannya hanya sebatas relasi bisnis atau sosial, tidak ada yang bisa ia ajak berbagi kerentanan sebesar ini. Ia kembali merasakan kesepian yang menusuk, kesepian yang hanya bisa diredakan oleh kehadiran Edwin, seorang office boy yang usianya jauh di bawahnya.

Mariana mengusap air matanya. Meskipun ia berusaha keras untuk tetap angkuh dan rasional, ada bagian dari dirinya yang berteriak. Ia menginginkan koneksi itu, perhatian itu, dan ya, sentuhan itu. Namun, rasa takut akan kerentanan dan konsekuensi, serta perbedaan status yang sangat jelas, membuatnya menarik diri.

Ia memutuskan. Untuk sementara waktu, ia harus kembali membangun dindingnya. Ia perlu waktu untuk memproses semua ini, untuk mengendalikan perasaannya yang bergejolak. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu, dinding itu tidak akan pernah sekuat dulu lagi. Ada celah, dan celah itu telah dibuka oleh Edwin.

Hari-Hari di Kantor: Jarak yang Tercipta

Keesokan harinya, suasana di kantor terasa sangat berbeda. Mariana datang lebih pagi dari biasanya, dan langsung mengunci diri di ruangannya. Ia menyibukkan diri dengan pekerjaan, menumpuk berkas di mejanya, dan menghindari kontak mata dengan siapa pun, terutama Edwin. Pintu ruangannya kini tertutup lebih rapat dari sebelumnya, seolah menjadi benteng pertahanan yang lebih tinggi.

Edwin sendiri merasa bingung dan terluka. Ia melakukan tugasnya seperti biasa, mengantar kopi, membersihkan, tapi setiap langkahnya terasa berat. Ia mencoba melirik ke arah ruangan Mariana, berharap setidaknya ada sebuah tatapan atau isyarat. Namun, tidak ada. Keheningan dan jarak yang diciptakan Mariana terasa seperti cambuk. Ia tidak mengerti mengapa ia tiba-tiba diusir setelah momen yang begitu intens. Rasa penasaran, gairah yang belum tuntas, dan kebingungan bercampur menjadi satu, membuatnya gelisah sepanjang hari.

Beberapa hari berikutnya, pola itu terus berlanjut. Mariana menjadi lebih pendiam dan sibuk. Perintah-perintahnya disampaikan melalui sekretaris atau dengan nada datar yang tidak mengizinkan pertanyaan. Senyumnya yang sempat Edwin lihat di apartemennya, kini seolah tak pernah ada. Ia kembali menjadi Mariana yang angkuh dan tak tersentuh, namun Edwin bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda di balik topeng itu. Ada kerapuhan yang kini ia tahu, tersembunyi di sana.

Edwin pun menjadi lebih pendiam. Ia tidak lagi mencoba berbasa-basi atau bertanya kabar. Rasa bersalah karena telah menyebabkan gejolak di hati bosnya, bercampur dengan kekecewaan karena diabaikan, membuatnya menarik diri. Kopi Mariana tetap diantar setiap pagi, diletakkan di meja, dan diambil tanpa interaksi. Dua insan yang baru saja berbagi momen paling pribadi, kini terperangkap dalam jarak yang sengaja diciptakan.

Jarak yang Semakin Menyakitkan dan Hati yang Berkata Jujur

Seiring berjalannya waktu, jarak yang diciptakan Mariana semakin nyata dan menyakitkan bagi Edwin. Wanita itu tidak hanya menjaga jarak di kantor, tetapi juga mulai sering terlihat keluar dengan beberapa pria yang berbeda. Kadang Edwin melihatnya di lobi, masuk ke mobil mewah bersama seorang pria paruh baya yang terlihat sukses. Di lain waktu, ia mendengar bisik-bisik di antara karyawan tentang Mariana yang terlihat makan malam atau menghadiri acara sosial dengan teman kencan yang berbeda-beda.

Setiap kali Edwin menyaksikan atau mendengar hal itu, hatinya seperti diremas. Perasaan yang selama ini ia coba tekan, kini tak bisa lagi dibohongi. Ia tahu ia cemburu. Perasaan itu datang begitu kuat, begitu tiba-tiba, dan begitu membingungkan. Bagaimana mungkin ia, seorang office boy, bisa merasakan hal seperti itu pada bosnya yang jauh di atasnya?

Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini tidak masuk akal. Mariana adalah bosnya, wanita dewasa, dan semua yang terjadi hanyalah insiden yang dipicu oleh emosi dan kebingungan. Namun, bayangan ciuman itu, bisikan Mariana di telinganya, dan kerapuhan yang sempat ia lihat, terus kembali menghantuinya. Edwin seringkali mendapati dirinya melamun, bertanya-tanya apa yang sedang Mariana lakukan, dengan siapa, dan apakah wanita itu juga merasakan gejolak yang sama sepertinya.

Perasaan itu tumbuh menjadi beban. Edwin merasa seolah ada simpul di dadanya yang semakin erat setiap kali ia melihat Mariana tersenyum pada pria lain, senyum yang tak pernah ia tunjukkan lagi padanya. Ia merindukan percakapan singkat mereka di pantry, tatapan mata yang sedikit melunak, bahkan kemarahan Mariana yang dulu terasa jauh lebih jujur daripada keheningan ini.


Pilihan yang Sulit

Perasaan cemburu itu semakin menggerogoti Edwin. Ia tidak bisa berkonsentrasi penuh pada pekerjaannya. Aroma kopi di pagi hari, yang dulu ia nikmati, kini terasa hambar. Setiap langkahnya di kantor terasa seperti berjalan di atas duri. Ia tahu ia harus melakukan sesuatu, tapi apa? Mendekati Mariana lagi? Mengingat bagaimana ia didorong keluar apartemen, Edwin ragu. Ia takut memperburuk keadaan, atau lebih buruk lagi, ditolak mentah-mentah dan dipermalukan.

Namun, menahan perasaan ini juga menyiksa. Hatinya sakit melihat Mariana bersama pria lain, meskipun ia tahu ia tidak punya hak untuk merasa seperti itu. Ia hanya seorang office boy, dan Mariana adalah direktur utama. Jarak status dan usia mereka sangat besar, seolah jurang yang memisahkan.

Di satu sisi, Edwin ingin melupakan semua yang terjadi, kembali menjadi office boy yang tidak tahu apa-apa. Namun, di sisi lain, hatinya berteriak menuntut jawaban. Ada sesuatu yang telah terjalin antara mereka, sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan kerja.


Ketika Absensi Menjelaskan Semuanya

Edwin, setelah pergulatan batin yang panjang, memutuskan untuk mengambil jarak. Ia mulai jarang masuk kerja. Hari pertama ia absen, ia tahu Mariana mungkin tidak menyadarinya. Hari kedua, ia masih tak datang, dengan hati yang berdebar setiap kali ponselnya berdering, berharap ada panggilan dari kantor, dari Mariana. Namun, hening.

Minggu pertama berlalu. Edwin tidak muncul di kantor. Mariana, di sisi lain, tampak seperti tak peduli. Ia tetap sibuk dengan jadwalnya, bertemu klien, dan terlihat keluar dengan pria-pria berbeda seperti biasa. Ruangan kerjanya tetap tertutup rapat. Namun, di balik topeng ketidakpedulian itu, ada kerutan samar di dahinya setiap kali ia melihat meja kerja Edwin yang kosong, atau saat kopi paginya disiapkan oleh office boy lain yang canggung.

Memasuki minggu kedua, Edwin masih belum masuk. Saat itulah, Mariana mulai merasakan kehilangan. Kopi paginya terasa berbeda. Ketiadaan Edwin di lorong, di pantry, bahkan ketiadaan sosok yang dulunya selalu ia anggap remeh, kini meninggalkan kekosongan. Ia tidak bisa berkonsentrasi penuh seperti biasanya.

Akhirnya, suatu pagi, Mariana tidak tahan lagi. Ia keluar dari ruangannya dan menghampiri seorang office boy lain yang sedang membersihkan meja.

"Di mana Edwin?" tanya Mariana, suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan.

Office boy itu sedikit terkejut. "Ehm, Edwin sudah dua minggu tidak masuk, Bu. Tidak ada kabar."

Mariana merasakan sedikit kekecewaan yang menusuk. Ia sedikit kecewa. Bagaimana bisa? Dua minggu? Tanpa kabar? Ia adalah bosnya!

"Kalau sampai besok dia tidak masuk lagi," ucap Mariana dengan nada suara yang sengaja ia buat tegas dan sedikit mengancam, "aku akan memecatnya!"

Namun, jauh di lubuk hatinya, itu hanyalah gertakan. Kata-kata itu terasa hambar di lidahnya. Bukan pemecatan yang ia inginkan. Yang ia inginkan adalah Edwin kembali. Ia ingin tahu mengapa pemuda itu menghilang, dan mengapa ketidakhadirannya terasa begitu... menyakitkan. Ada kepanikan samar di balik gertakan itu, sebuah pengakuan tak terucapkan bahwa Edwin telah menjadi lebih dari sekadar office boy baginya.

Pemecatan yang Terucap

Edwin tetap tidak masuk. Dua minggu berlalu, kemudian memasuki minggu ketiga, bayangan Edwin tetap tak terlihat di kantor. Meja kerjanya tetap kosong, dan office boy lain sudah terbiasa mengambil alih tugasnya.

Ketiadaan Edwin, yang pada awalnya terasa seperti pukulan emosional bagi Mariana, kini mulai berubah menjadi rasa frustrasi dan kemarahan yang membara. Harga dirinya sebagai seorang pimpinan, dan juga sebagai seorang wanita yang baru saja membuka diri, terasa diinjak-injak. Apakah pemuda itu menganggap enteng perasaannya? Mengabaikan semua yang telah terjadi?

Suatu siang, Mariana memanggil Kepala Office Boy, Pak Rudi, ke ruangannya. Wajahnya keras, tanpa senyum, aura dingin yang biasanya ia kenakan kembali terpancar kuat.

"Pak Rudi," kata Mariana, suaranya datar, namun penuh penekanan. "Saya mau tahu kabar Edwin."

Pak Rudi, yang sudah menduga pertanyaan ini akan muncul, menunduk. "Masih belum ada kabar, Bu. Kami sudah coba hubungi, tapi tidak diangkat."

Mariana mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia mencoba menahan emosinya, namun kekecewaan itu terlalu besar. Ia tidak suka merasa tak berdaya. Ia benci diabaikan.

"Baik," ucap Mariana, nadanya dingin dan final. "Kalau nanti dia masuk, suruh dia pulang. Bilang padanya, dia sudah dipecat."

Pak Rudi terkesiap. Pemecatan itu terdengar begitu tegas, begitu final. Namun, ia melihat sorot mata Mariana, ada sesuatu yang berkilat di sana, sesuatu yang jauh dari ketenangan. Ada kekecewaan mendalam yang bercampur dengan kemarahan.

Setelah Pak Rudi keluar, Mariana bersandar di kursinya, memejamkan mata. Keputusannya sudah bulat, setidaknya di permukaan. Pemecatan ini adalah cara untuk mendapatkan kembali kendali, untuk melindungi dirinya dari kerentanan yang telah Edwin bangkitkan. Namun, air mata kembali menggenang di pelupuk matanya. Ia tahu, kata-kata itu hanyalah gertakan yang diucapkan dengan pahit. Ia tahu, jauh di dalam hatinya, ia tidak benar-benar ingin memecat Edwin. Yang ia inginkan adalah pemuda itu kembali, dengan penjelasan, dengan kepastian, dan dengan... dirinya.

Malam itu, di apartemen mewahnya, Mariana kembali merangkul kesepian yang selama ini menjadi teman setianya. Ia mencoba menyibukkan diri, membaca buku, menonton televisi, namun pikirannya terus kembali pada Edwin. Suasana apartemen terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah ketiadaan Edwin di kantor juga merambat hingga ke rumahnya.

Karena tubuhnya terasa gerah oleh gejolak emosi yang tak kunjung reda, Mariana memutuskan untuk berendam. Ia mengisi bathtub mewahnya dengan air hangat, menambahkan garam mandi beraroma lavender, berharap bisa menenangkan jiwanya. Perlahan ia masuk ke dalam air, membiarkan kehangatan membalut tubuhnya.

Ponselnya tergeletak di pinggir bathtub. Sesekali, tangannya terulur meraih ponsel, mencoba menghubungi nomor Edwin. Namun, setiap kali, hanya nada sambung mati yang ia dengar. Edwin tidak bisa dihubungi. Frustrasi dan kekecewaan bercampur dengan rasa cemas.


Malam yang Panjang di Apartemen

Malam itu, di apartemen mewahnya, Mariana kembali merangkul kesepian yang selama ini menjadi teman setianya. Ia mencoba menyibukkan diri, membaca buku, menonton televisi, namun pikirannya terus kembali pada Edwin. Suasana apartemen terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah ketiadaan Edwin di kantor juga merambat hingga ke rumahnya.

Karena tubuhnya terasa gerah oleh gejolak emosi yang tak kunjung reda, Mariana memutuskan untuk berendam. Ia mengisi bathtub mewahnya dengan air hangat, menambahkan garam mandi beraroma lavender, berharap bisa menenangkan jiwanya. Perlahan ia masuk ke dalam air, membiarkan kehangatan membalut tubuhnya.

Ponselnya tergeletak di pinggir bathtub. Sesekali, tangannya terulur meraih ponsel, mencoba menghubungi nomor Edwin. Namun, setiap kali, hanya nada sambung mati yang ia dengar. Edwin tidak bisa dihubungi. Frustrasi dan kekecewaan bercampur dengan rasa cemas.

Mariana memejamkan mata. Dalam kesunyian air hangat, ia membiarkan pikirannya melayang, mengingat kembali sentuhan-sentuhan itu, dan gejolak yang pernah ia rasakan. Hatinya dipenuhi kerinduan yang mendalam, sebuah keinginan kuat yang tak terucapkan, terpancar dari matanya yang terpejam.

Di Bawah Langit Malam

Beberapa menit kemudian, Mariana beranjak dari bathtub, air menetes dari tubuhnya yang hangat. Ia meraih handuk lembut, mengeringkan diri dengan cepat, dan kemudian mengenakan kaos sleeveless berwarna abu-abu yang nyaman. Di baliknya, celana dalam putih dan celana pendek berbahan katun sepanjang 20 cm di atas lutut yang selama ini hanya ia kenakan di rumah, kini menjadi pilihan busananya untuk keluar. Ada urgensi yang membakar dalam dirinya, menyingkirkan keangkuhan yang biasa melapisinya.

Ia meraih ponselnya. Bukan untuk memesan taksi mewah, melainkan sebuah ojek online. Sebuah keputusan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, namun malam itu, segalanya terasa berbeda. Ia memasukkan alamat yang dulu pernah ia lihat di data karyawan atau mungkin ia dengar sekilas dari obrolan kantor. Meskipun ia sudah pernah ke sana sebelumnya, kunjungan kali ini terasa jauh lebih pribadi dan genting.

Setelah beberapa saat, driver ojek online membawanya membelah jalanan kota yang mulai sepi. Akhirnya ia tiba di sebuah gang sempit yang remang-remang. Aroma masakan dan kehidupan malam yang sederhana menyambutnya. Ia turun dari motor, membayar driver, dan dengan langkah yang familiar namun penuh debar, ia berjalan kaki memasuki gang itu, menuju rumah yang ia tuju.


Pintu yang Terbuka

Sesampainya di depan sebuah rumah sederhana dengan pintu yang sedikit terbuka, Mariana melihat cahaya televisi dari dalam. Tanpa mengetuk, dorongan yang tak tertahankan membuatnya langsung masuk, seolah ia punya hak untuk berada di sana, atau justru karena ia terlalu cemas untuk menahan diri. Suasana ruangan itu sederhana, jauh berbeda dengan apartemen mewahnya. Edwin sedang duduk di lantai beralas karpet tipis, menonton televisi tabung tua yang mengeluarkan suara bising.

Mariana berdiri di belakangnya, terdiam sejenak, mengumpulkan keberanian. Suasana hati yang penuh kerinduan dan sedikit penyesalan, bercampur dengan kecanggungan karena kehadirannya yang tak terduga.

"Edwin," panggil Mariana lirih, suaranya nyaris berbisik, memecah kesunyian malam itu.

Edwin yang terkejut, menoleh cepat. Matanya membelalak sesaat melihat Mariana berdiri di sana, di ambang pintu rumahnya, mengenakan pakaian sederhana. Namun, sedetik kemudian, ia kembali menundukkan wajahnya, tatapan matanya jatuh ke lantai, seolah tidak berani menatap bosnya yang kini berdiri di depannya.

Mariana tetap di belakang Edwin, hatinya mencelos melihat respons itu. Ia mengulangi lagi, sedikit lebih keras kali ini, "Edwin."

Namun, Edwin tetap diam. Ia hanya menunduk, bahunya sedikit bergetar, seolah ingin menghindari segala kontak, segala pertanyaan, segala kemungkinan yang kini melayang di udara di antara mereka. Keheningan yang tiba-tiba terasa begitu berat, hanya diisi suara televisi yang samar.

Mariana terdiam, merasakan dinginnya penolakan Edwin. Ia tidak pernah terbiasa diabaikan, apalagi oleh seseorang yang ia rasakan memiliki koneksi dengannya. Merasa tak ada respons dari Edwin, dan untuk menutupi kecanggungan yang membelit, Mariana menyibukkan diri. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku celana pendeknya, membuka layarnya, dan berpura-pura memeriksa notifikasi atau membalas pesan, meskipun sebenarnya tidak ada hal penting yang ia lihat. Tatapannya kosong, terpaku pada layar yang menyala, namun pikirannya sepenuhnya tertuju pada punggung Edwin yang masih kaku di depannya. Ia menunggu, berharap Edwin akan berubah pikiran dan menoleh, atau setidaknya mengucapkan sepatah kata.

Setelah beberapa saat yang terasa begitu panjang dalam keheningan yang menyesakkan, Edwin akhirnya bangkit dari posisi duduknya di depan televisi. Tanpa menoleh atau mengucapkan sepatah kata pun, ia berjalan lurus menuju kamar mandi. Suara gemericik air terdengar samar, menandakan ia sedang menyegarkan diri.

Beberapa menit kemudian, Edwin keluar dari kamar mandi. Mariana spontan menahan napas, berharap Edwin akan kembali ke ruang tengah, mungkin untuk berbicara dengannya. Namun, harapannya pupus. Edwin hanya melewati ruang tengah, pandangannya tetap lurus ke depan, seolah Mariana tidak ada di sana. Ia masuk ke dalam kamarnya, dan tak lama kemudian, terdengar suara bruk yang keras, menandakan ia menghempaskan tubuhnya di kasur.

Mariana hanya bisa menatap pintu kamar yang tertutup itu. Hatinya menciut. Kepedihan memenuhi dirinya, rasa malu berpadu dengan penyesalan yang mendalam. Ia merasa seperti tak ada lagi harapan. Kedatangannya yang nekat di tengah malam ini, dengan segala kerentanan yang ia tampakkan, kini berbuah penolakan dingin yang terasa lebih menyakitkan daripada pemecatan itu sendiri. Ia berdiri terpaku di sana, di ruang tamu Edwin yang sederhana, seorang diri dalam kegelapan yang terasa semakin pekat.

Kekuatan Harapan yang Tersisa

Beberapa saat kemudian, dalam keheningan yang memekakkan telinga, Mariana merasakan dorongan kuat yang tak bisa ia jelaskan. Sebuah kekuatan, mungkin dari keputusasaan atau harapan yang tersisa, membuatnya melangkah. Dengan hati-hati, ia membuka pintu kamar Edwin yang sedikit terbuka dan masuk.

Kamar Edwin sangat sederhana. Edwin sendiri tengkurap di atas kasur tipis yang tergeletak di lantai, wajahnya tersembunyi di bantal, seolah ingin menghilang dari dunia. Tanpa ragu, Mariana mendekat. Ia naik ke kasur, dan dengan gerakan lembut namun penuh tekad, ia menindih punggung Edwin, memeluknya erat dari belakang. Tangannya menyelip masuk dari belakang, melalui ketiak Edwin, sehingga pelukannya sangat erat. Tubuh mereka seolah menyatu, berbagi kehangatan dan beban emosi.

Air mata yang sejak tadi ia tahan, akhirnya menetes. Setengah berbisik, suaranya parau karena emosi yang meluap, Mariana mulai menjelaskan, tepat di telinga Edwin. Bibir Mariana terasa sangat dekat saat ia menyampaikan isi hatinya. Ia tahu Edwin pernah beberapa kali memergokinya dengan lelaki lain, dan ia ingin meluruskan itu.

"Edwin..." bisiknya lirih, diselingi isakan kecil. "Aku... aku minta maaf. Tentang semua lelaki yang kamu lihat denganku... mereka semua... hanya kolega. Tidak ada apa-apa, Edwin. Sungguh." Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. "Aku berbuat seperti itu semata-mata hanya ingin menjauhi dan melupakanmu, karena aku merasa tak pantas menyukaimu. Aku malu dengan umurku. Tapi entah kenapa, semakin aku berusaha menjauhimu, semakin..." Mariana berhenti lagi, suaranya tercekat oleh isakan yang tak tertahankan.

Setiap kata yang Mariana bisikkan, setiap sentuhan tubuhnya yang menindih dan kini terasa sangat dekat, dan setiap embusan napas hangatnya di telinga, terasa seperti gelombang emosi yang menghantam Edwin. Ia merasakan sesak di dadanya, antara kemarahan, kelegaan, kebingungan, dan kerinduan yang mendalam. Edwin ingin menolak, ingin berteriak, ingin mendorong Mariana menjauh, tetapi tubuhnya terasa lumpuh. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain meletakkan wajahnya semakin dalam ke bantal, membiarkan air matanya sendiri meresap ke kain, dan merasakan beban Mariana di punggungnya. Pada usia 18 tahun ini, ia merasa lebih buntu dari sebelumnya.


Pergolakan Batin dan Kehangatan yang Tak Terduga

Edwin masih terdiam, tubuhnya kaku dalam pelukan erat Mariana. Namun, perlahan, ia mulai bergerak. Dengan sedikit dorongan, ia membalikkan tubuhnya. Pelukan Mariana terlepas, dan ia pun ikut terdorong pelan sehingga tubuhnya terlentang di kasur tipis itu, menatap langit-langit kamar yang sederhana.

Hawa panas yang menyesakkan di kamar itu seolah membenarkan perasaan Mariana. Ia menatap kosong ke langit-langit, dadanya terasa nyeri. Tatapan Edwin yang tadinya menunduk dan kini beralih tanpa melihatnya, seolah menegaskan bahwa pemuda itu sudah membencinya. Rasa kecewa yang mendalam menyelimuti. Semua usahanya sia-sia.

Namun, di tengah keputusasaan itu, Mariana mulai merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah hembusan hangat dan lembut menerpa area perutnya. Ia tersentak, sedikit terkejut dan bingung. Perlahan, ia mengalihkan pandangannya dari langit-langit, menunduk ke arah perutnya.

Pemuda itu kini membenamkan wajahnya di kulit perut Mariana, yang terasa hangat dan lembut. Aroma lotion yang samar tercium, aroma yang akrab namun kini terasa begitu intim. Edwin tidak mengangkat kepalanya, seolah mencari perlindungan atau kenyamanan dalam kehangatan itu. Tubuhnya sedikit bergetar, apakah karena tangisan yang terpendam, atau emosi yang tak mampu ia luapkan?

Mariana terkesima. Kebencian yang ia duga, tatapan kecewa yang ia bayangkan, kini digantikan oleh tindakan tak terduga ini. Detak jantungnya berpacu. Hawa panas kamar seolah semakin membakar, namun bukan karena gerah, melainkan karena gejolak yang tiba-tiba muncul di antara mereka.

Perlahan, tangan Mariana yang putih lentik terangkat. Jari-jarinya yang ramping menyentuh kepala Edwin yang tertunduk di perutnya. Bukan untuk mendorong menjauh, melainkan seolah menekannya lebih dalam, lebih erat. Dengan mata terpejam, Mariana membiarkan sensasi itu meresap ke dalam dirinya, kehangatan kepala Edwin di perutnya, isakan samar yang mungkin saja ia rasakan. Dalam kegelapan matanya yang terpejam, ia merangkul momen tak terduga ini, seolah inilah yang selama ini ia rindukan tanpa ia sadari.

Mariana semakin menekan, bahkan kakinya disilangkan seperti mengunci tubuh Edwin. Air mata terus mengalir, isak tangis Mariana yang ditahan agar tidak bersuara, sambil tangannya menekan kepala Edwin yang diselingi belaian. Malam semakin larut, keduanya belum beranjak. Tangis Mariana mulai mereda, berubah jadi lenguhan dan erangan lirih saat ia merasakan sensasi tak biasa yang terasa nikmat, menjalar dari titik pusat sensitifnya ke seluruh tubuh.

"Ah... mmmh... E-edwin..." suara Mariana tercekik, nyaris tak berbentuk. "Apa ini..."

Remasan tangan di kepala Edwin, Mariana dilanda keheranan. Bagaimana Edwin, dengan usianya yang baru menginjak dewasa, bisa membangkitkan respons sekuat ini? Sentuhan yang begitu mendalam, namun penuh dengan luapan emosi yang tak biasa. Mariana berani bersumpah, ia baru merasakan sensasi seaneh sekaligus sekuat ini. Selama ini, dengan semua pacar yang pernah menyakitinya, ia tak pernah membiarkan hubungan mereka sejauh ini. Paling-paling hanya ciuman di bibir, itu pun sering ia tolak.

Tapi kini, di bawah sentuhan Edwin, ia malah terasa tak berdaya, bahkan terkesan membiarkannya, membiarkan batasan-batasan yang selama ini ia bangun hancur begitu saja. Sebuah pertanyaan besar mengawang di benaknya: mengapa dengan Edwin, ia justru tidak memiliki kekuatan untuk menolak, bahkan sedikitpun? Ada apa ini?

Kenapa bisa Edwin, bocah kemarin sore, office boy, ekonomi rendah bahkan tak punya kekuatan, keahliannya cuma menurut bos, bisa membobol pertahanan kokoh di tubuhnya, sehingga emosinya mengalir deras tak terbatas.

Mariana tetap terdiam, memejamkan mata, seraya masih mengatur napas atas gejolak yang baru saja ia alami. Ia merapatkan kedua kakinya, merasakan kehangatan yang masih tersisa, dan membiarkan kebingungan serta sensasi tak terduga tadi meresap dalam dirinya. Pikirannya melayang, mencoba memahami apa yang sebenarnya baru saja terjadi dan mengapa ia tak kuasa menolak. Hatinya bergemuruh, antara kekacauan dan semacam kelegaan aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Waktu terasa berhenti. Detik berganti detik, namun tak ada kata yang terucap. Hanya napas-napas yang perlahan mulai teratur, mengisi kekosongan kamar. Malam semakin larut di luar, namun di dalam kamar itu, suasana terasa seperti pagi yang baru saja pecah, membawa kesadaran akan sesuatu yang baru.

Mariana merasakan punggung Edwin di belakangnya, terpisah namun tetap ada. Ia mencoba menenangkan diri, memaksa pikirannya yang kalut untuk menemukan logika. Namun, semua logika tentang usia, status, dan pengalaman hancur lebur di bawah sensasi yang baru saja ia rasakan. Edwin, bocah yang ia kenal, telah melakukan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.

Dalam keheningan yang memekakkan telinga itu, Mariana memecahkannya. Suaranya terdengar ketus, namun begitu lirih, nyaris seperti gumaman.

"Edwin," panggil Mariana, suaranya sedikit bergetar. "Kenapa kamu... kenapa kamu tega lakukan itu padaku, sehingga aku tak bisa menolaknya?" Ada campuran marah, bingung, dan kekecewaan dalam suaranya. "Awas jika kamu melakukan ini ke perempuan lain!" ancamnya, suaranya sedikit meninggi namun tetap lirih. "Dan kau harus masuk kerja lagi besok pagi!"

Edwin yang terdiam sesaat, memejamkan matanya erat. Ia tak tahu harus berkata apa. Dalam hatinya ia bergejolak, namun ia sadar posisinya. Pelan, sangat pelan, suaranya nyaris tak terdengar, ia menjawab, "Maaf, Bu. Sebagai bawahan, saya... saya tidak berani menolak."

Mariana tak lagi bergeming. Kata-kata Edwin, "Sebagai bawahan, saya tidak berani menolak," menggema di kepalanya. Ada ironi pahit di sana. Ia, Mariana, yang angkuh dan selalu memegang kendali, justru tak berdaya di bawah sentuhan Edwin. Dan Edwin, si office boy yang diremehkan, kini secara tak langsung telah menorehkan jejak yang tak bisa dihapus di dalam dirinya.

Keheningan kembali menyelimuti. Kali ini, bukan keheningan yang tegang, melainkan keheningan yang sarat akan pertimbangan. Mariana, yang terbiasa dengan kehidupan yang terencana dan terkontrol, kini dihadapkan pada kekacauan emosi yang sepenuhnya baru. Edwin, yang selalu patuh, kini mungkin telah membuka pintu menuju sesuatu yang tak pernah ia bayangkan.

Cahaya fajar mulai menyelinap tipis dari celah jendela, mengusir kegelapan malam. Udara pagi yang sejuk mulai terasa, perlahan mengikis sisa-sisa hawa panas di dalam kamar.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, Mariana akhirnya membuka matanya. Ada pancaran yang berbeda di sana. Bukan lagi kemarahan atau kekecewaan semata, melainkan campuran antara penerimaan, kebingungan, dan sesuatu yang jauh lebih dalam. Dengan perlahan, ia menggeser tubuhnya, bersiap untuk bangun.

Mariana perlahan bergerak, bersandar pada sikunya, lalu bangkit terduduk. Ia menggerai rambut sebahu yang sedikit acak-acakan dengan jemarinya, mencoba mengurai pikiran yang kusut. Keheningan masih menyelimuti, namun kini terasa lebih ringan.

Perlahan, ia menoleh ke arah Edwin yang masih berbaring telentang di kasur, menatap langit-langit. Namun, kali ini, ada senyum tipis di bibir pemuda itu. Senyum yang begitu polos, namun di mata Mariana, terasa begitu penuh arti.

Mariana merasakan sebuah respons alami di dalam dirinya, bibirnya sendiri nyaris melengkung membalas senyum itu. Namun, keangkuhan yang sudah menjadi bagian dari dirinya selama bertahun-tahun, atau mungkin rasa malu dan kebingungan yang masih mendominasi, menahannya. Senyum itu tertahan, hanya menjadi kedutan kecil di sudut bibirnya.

"Kenapa kamu tersenyum?" tanya Mariana, suaranya kembali ketus, namun kali ini ada nada keheranan dan mungkin sedikit rasa ingin tahu yang terselip. Ia ingin memahami apa yang ada di balik senyum itu, setelah semua yang terjadi.

Edwin tidak langsung menjawab. Senyumnya sedikit melebar, matanya menatap Mariana dengan sorot yang sulit diartikan, entah geli, lega, atau sesuatu yang lebih dalam.

Mariana mengalihkan pandangannya dari Edwin. Tatapannya jatuh pada celananya yang berserakan di lantai. Namun, entah dorongan apa, ia malah mengabaikannya. Matanya beralih ke gantungan baju sederhana di sudut kamar. Di sana tergantung sebuah handuk. Tanpa berpikir panjang, Mariana meraih handuk itu. Ia mendekatkannya ke hidung, menghirup aroma yang melekat pada kain itu.

"Hmm, bau laki-laki," gumam Mariana, lirih, nyaris tak terdengar. Ada jejak keanehan dalam suaranya, seolah ia sendiri terkejut dengan apa yang baru saja ia lakukan. Namun, ia tidak membuang waktu. Handuk itu langsung ia lingkarkan ke tubuhnya, menggantikan posisi pakaian yang entah terlempar ke mana.

Mariana, masih berbalut handuk Edwin, bangkit dari kasur. Ia berdiri tegak, lalu perlahan meraih tangan Edwin yang masih terbaring. Jari-jarinya menggenggam pergelangan tangan Edwin dengan lembut namun tegas, seolah sedang membangunkan seorang anak kecil.

"Kamar mandimu di mana?" tanya Mariana, suaranya kembali ke nada perintah yang biasa, meski masih ada sedikit sisa kelembutan dari momen sebelumnya. "Antar aku."

Edwin, yang terkejut dengan sentuhan dan perintah itu, sedikit terlonjak. Ia mengangkat kepalanya dari bantal, menatap Mariana yang berdiri di sampingnya. "Dari ruang tamu, Bu... lurus saja, sebelum dapur," jawab Edwin, terbata-bata, matanya masih sedikit mengantuk dan bingung.

Mendengar jawaban Edwin yang hanya berupa petunjuk arah, Mariana sontak merengut. Bukan kerutan marah, melainkan semacam cemberut manja yang tak biasa. Ia menatap Edwin tajam, seolah tak percaya Edwin hanya memberikan arah. Dalam sekejap, pikiran Mariana yang biasanya logis dan terstruktur seolah buyar, digantikan oleh keinginan impulsif yang tak terbantahkan. Ia ingin Edwin menemaninya, bukan hanya menunjukkan jalan.

"Bangun!" perintah Mariana lagi, tangannya menarik Edwin lebih kuat, memaksanya duduk. Edwin yang bingung dan sedikit ketakutan, akhirnya bangkit dan menuruti Mariana, berjalan di depannya menuju kamar mandi.

Sesampainya di depan pintu kamar mandi yang sederhana, Edwin membukakan pintu, mempersilakan Mariana masuk. Mariana pun melangkah masuk, namun sebelum Edwin sempat kembali ke kamarnya, Mariana menoleh cepat. Tanpa berkata-kata, ia meraih tangan Edwin, menariknya masuk ke dalam kamar mandi, dan langsung mengunci pintunya dari dalam.

Edwin terperangkap. Gelapnya kamar mandi kecil itu tiba-tiba terasa begitu menyesakkan, hanya diterangi cahaya samar dari luar. Mariana berdiri di depannya, masih berbalut handuk, menatapnya dengan pandangan yang tak bisa Edwin baca.

"Aku butuh sesuatu," kata Mariana, suaranya rendah dan penuh desakan. "Dan kamu yang harus memberikannya padaku."

Edwin menelan ludah. Ia tidak tahu apa yang Mariana maksud, atau apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, di dalam kamar mandi yang terkunci itu, di hadapan bosnya yang kini begitu berbeda, ia hanya bisa menunggu. Ketegangan melingkupi mereka berdua. Terdengar bisikan-bisikan, suara air yang mengalir, dan kemudian keheningan yang panjang. Edwin hanya bisa merasakan napasnya sendiri yang memburu, jantungnya berdebar kencang di dada. Waktu seolah melambat, setiap detik terasa seperti jam. Hanya suara samar dari luar, mungkin klakson kendaraan yang lewat, yang memecah kesunyian di dalam kamar mandi itu.

Setelah beberapa waktu yang tak bisa dipastikan, pintu kamar mandi akhirnya terbuka. Mariana keluar lebih dulu, rambutnya sedikit basah, pipi dan telinganya merah merona namun ada ketenangan yang terpancar dari wajahnya.

Hari-Hari Setelahnya: Sebuah Normalitas yang Berubah

Setelah malam yang penuh gejolak emosi dan kejadian tak terduga di kediaman Edwin, hari-hari berikutnya Mariana dan Edwin diselimuti oleh sebuah normalitas yang baru, namun sarat akan perubahan.

Edwin kembali bekerja di kantor, bukan lagi sebagai office boy yang dipecat, melainkan dengan status yang lebih jelas, meskipun belum ada pengumuman resmi dari Mariana. Ia melangkah masuk ke gedung itu dengan perasaan campur aduk: sedikit takut, sedikit bingung, namun juga ada semacam kelegaan dan harapan yang tak berani ia ungkapkan. Tatapan matanya yang selalu menunduk kini sesekali berani mencuri pandang ke arah Mariana, terutama saat mereka berpapasan di koridor atau di pantry.

Mariana, di sisi lain, menampilkan sikap yang jauh lebih tenang di kantor. Keangkuhan yang biasa ia tunjukkan masih ada, namun kini terasa lebih lembut, seolah ada lapisan tipis yang telah terkikis. Ia kembali menjalankan tugasnya sebagai atasan dengan profesional, namun interaksinya dengan Edwin berubah drastis. Perintah-perintahnya terasa lebih manusiawi, dan sesekali, tatapan matanya akan bertemu dengan tatapan Edwin, mengirimkan pesan-pesan yang tak terucap, sebuah pengakuan akan ikatan rahasia yang kini terjalin di antara mereka.

Pesan-pesan singkat di ponsel menjadi jembatan komunikasi di luar jam kerja. Bukan lagi sekadar perintah atau pertanyaan pekerjaan, melainkan obrolan-obrolan yang lebih pribadi, kadang tentang hal-hal sepele, kadang tentang perasaan yang tersirat. Mariana seringkali memulai percakapan itu, terkadang dengan pertanyaan bernada ketus seperti biasa, namun ada sesuatu di baliknya yang menyiratkan perhatian. Edwin merespons dengan hati-hati, namun kini lebih berani menunjukkan sedikit humor atau pendapat pribadinya.

Ada malam-malam di mana Mariana tiba-tiba memesan ojek online dan muncul di depan rumah Edwin, hanya untuk membawakan makanan atau sekadar memastikan Edwin baik-baik saja. Kunjungan-kunjungan ini tidak lagi diwarnai dengan adegan dramatis seperti malam pertama itu. Keduanya akan duduk di ruang tamu sederhana Edwin, mungkin menonton televisi bersama dalam keheningan yang nyaman, atau sesekali berbagi cerita ringan. Tidak ada sentuhan eksplisit, tidak ada kata-kata cinta yang diucapkan. Namun, kehadiran mereka di sisi satu sama lain berbicara lebih banyak dari apa pun.

Hubungan mereka mengambang di batas antara bos dan bawahan, antara "ibu dan anak" seperti yang sempat Mariana gumamkan, dan sesuatu yang jauh lebih kompleks dan intim. Kecanggungan yang sempat terjadi di awal perlahan berubah menjadi semacam pemahaman diam-diam. Mereka berdua tahu, malam itu telah mengubah segalanya. Edwin, si office boy yang diremehkan, kini memiliki kunci rahasia ke hati seorang Mariana, dan Mariana, sang bos angkuh, menemukan kelegaan tak terduga dalam kehadiran sederhana Edwin.

Empat Tahun Kemudian: Melangkah ke Jenjang Selanjutnya

Empat tahun berlalu. Waktu telah mengukir banyak perubahan. Edwin, yang kini berusia 22 tahun, telah tumbuh menjadi seorang pemuda dewasa yang penuh percaya diri, meskipun kesederhanaan dan ketulusan hati yang dulu ia miliki tetap tak berubah. Ia tidak lagi sekadar office boy; dengan dukungan Mariana, ia telah melanjutkan pendidikannya sambil bekerja, bahkan mulai menunjukkan potensi kepemimpinan di departemennya.

Hubungan antara Edwin dan Mariana juga telah berkembang, melampaui batas bos dan bawahan, bahkan lebih dari sekadar teman dekat. Mereka adalah pasangan, meskipun hubungan itu tetap terjaga rapat dari mata publik, terutama di lingkungan kantor. Kunjungan malam ke rumah Edwin, pesan-pesan singkat penuh perhatian, dan kebersamaan yang tenang telah menjadi ritual yang mengikat mereka.

Suatu malam, saat mereka sedang duduk berdua di balkon apartemen Mariana, menikmati pemandangan kota di bawah, Edwin memberanikan diri. Ada gurat keseriusan di wajahnya yang membuat Mariana sedikit terkejut.

"Mariana," panggil Edwin, suaranya pelan namun tegas. "Sudah empat tahun kita begini. Aku... aku ingin ke jenjang yang lebih serius." Ia mengambil napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian. "Aku ingin bertemu orang tuamu. Aku ingin meminta restu mereka."

Mariana terdiam. Permintaan Edwin mengejutkannya, namun juga menggetarkan hatinya. Pertemuan dengan orang tua adalah sebuah langkah besar, apalagi bagi Mariana yang hubungannya dengan kedua orang tuanya agak renggang. Mereka adalah orang tua yang keras, terbiasa mengatur hidupnya, terutama dalam hal perjodohan. Pikiran untuk membawa Edwin, seorang pria yang jauh dari kriteria "menantu idaman" mereka, membuat Mariana sempat ragu dan merasa takut.

"Edwin... aku... aku tidak tahu," ucap Mariana, suaranya tercekat. "Hubunganku dengan Ayah dan Ibu... tidak begitu akur. Mereka selalu mencoba menjodohkanku dengan pilihan mereka. Aku takut..."

Edwin menatap Mariana lembut. Ia tahu cerita tentang perjodohan dan betapa kerasnya kedua orang tua Mariana. Ia memegang tangan Mariana erat. "Mariana, lihatlah kita sekarang. Kita sudah bersama selama ini, melalui banyak hal. Aku yakin, kalau mereka melihat bagaimana kita, bagaimana kamu berubah, bagaimana kamu bahagia... mereka akan mengerti. Beri aku kesempatan."

Bujukan dan nasihat tulus dari Edwin, ditambah dengan tatapan matanya yang penuh keyakinan, perlahan meluluhkan keraguan Mariana. Ia melihat ketulusan di mata Edwin, dan kekuatan yang tidak pernah ia duga ada pada pemuda itu. Menghela napas panjang, Mariana mengangguk.

"Baiklah," katanya, suaranya sedikit gemetar namun ada resolusi di sana. "Aku akan menghubungi mereka."

Keesokan harinya, Mariana menelpon ibu dan ayahnya yang masih berada di Jakarta. Awalnya ada nada terkejut, namun kemudian, kedua orang tuanya menyambut kabar itu dengan senang. Mereka tidak menyangka putri mereka akhirnya mau mengenalkan seseorang, apalagi setelah sekian lama menolak perjodohan.

Beberapa minggu kemudian, Edwin tiba di Jakarta, ditemani Mariana. Pertemuan itu berlangsung di rumah keluarga Mariana. Edwin, dengan kesederhanaan dan sopan santunnya, berhasil memukau kedua orang tua Mariana. Ia berbicara dengan jujur tentang perasaannya pada Mariana, tentang bagaimana mereka bertemu, dan bagaimana ia berjanji akan menjaga putri mereka.

Ayah dan Ibu Mariana tampak terkejut, namun lebih dari itu, mereka merasa kagum. Mereka telah mendengar cerita bagaimana Mariana selama ini sulit didekati, keras kepala, dan selalu menolak setiap calon yang mereka ajukan. Melihat bagaimana Edwin mampu meluluhkan hati anak mereka yang sekeras batu, yang kini tampak jauh lebih lembut dan bahagia di sampingnya, membuat mereka akhirnya memberikan restu dengan senyum haru. Ini adalah keajaiban yang tidak pernah mereka duga.

(Suasana ruang tamu keluarga Mariana di Jakarta terasa sedikit formal, namun hangat. Aroma teh melati dan kue kering memenuhi udara. Mariana duduk di samping Edwin, sesekali meliriknya dengan cemas namun juga penuh dukungan. Ayah Mariana, Bapak Dirga, seorang pria paruh baya dengan sorot mata tajam namun bijaksana, duduk di seberang mereka. Ibu Mariana, Ibu Ningsih, yang tampak lebih lembut namun tetap berwibawa, duduk di samping suaminya.)

Bapak Dirga: (Menatap Edwin dengan tenang) Jadi, Edwin. Mariana banyak bercerita tentang kamu. Saya akui, awalnya sedikit terkejut mendengar dia membawa seseorang setelah sekian lama.

Edwin: (Menunduk sedikit, gugup namun mencoba tegar) Benar, Pak. Saya Edwin. Mohon maaf atas kedatangan saya yang mungkin mengejutkan.

Ibu Ningsih: (Tersenyum ramah) Tidak, tidak apa-apa, Nak. Justru kami senang Mariana akhirnya mau memperkenalkan seseorang. Ia itu keras kepala sekali kalau soal ini. (Melirik Mariana yang tersipu).

Bapak Dirga: (Kembali menatap Edwin) Mariana bilang kamu bekerja di perusahaannya, tapi... posisimu sekarang?

Edwin: (Mengambil napas dalam-dalam) Awalnya saya adalah office boy, Pak. Tapi selama empat tahun ini, Bu Mariana banyak membantu saya untuk belajar dan mengembangkan diri. Sekarang, saya sudah di tim manajemen, sebagai asisten manajer di departemen pemasaran, Pak. Saya juga sedang menyelesaikan pendidikan saya di malam hari.

Ibu Ningsih: (Mengangguk-angguk, terkesan) Oh, syukurlah. Jadi, Mariana... dia ikut membimbingmu?

Edwin: Ya, Bu. Bu Mariana sangat banyak membimbing saya. Dia yang mendorong saya untuk terus belajar dan tidak menyerah.

Bapak Dirga: (Menyandarkan punggungnya, sorot matanya melembut) Mariana itu putri kami. Dia memang terkesan keras di luar, tapi hatinya sebenarnya lembut. Dia sudah banyak menolak pilihan kami, bahkan sering bertengkar hanya karena itu.

Edwin: (Menatap Mariana sekilas, lalu kembali ke Bapak Dirga) Saya tahu, Pak. Saya... saya melihat bagaimana Bu Mariana bekerja keras, dan bagaimana dia sebenarnya sangat peduli. Saya tidak punya kekayaan atau kedudukan setinggi orang-orang yang mungkin Bapak dan Ibu harapkan, tapi saya tulus mencintai Mariana, Pak.

Ibu Ningsih: (Terdengar suara haru dalam nadanya) Kami tidak mencari kekayaan semata, Nak. Kami hanya ingin Mariana bahagia. Dan sejujurnya... (Ia melirik Mariana yang menatapnya penuh harap) ...kami tidak pernah melihat Mariana sebahagia ini, selembut ini, sejak... sejak ia dewasa.

Bapak Dirga: (Menghela napas, sebuah senyum kecil akhirnya tersungging di bibirnya) Jadi, kamu yang bisa meluluhkan hati anak kami yang keras seperti batu ini, ya? Sebuah keajaiban.

Edwin: (Terkejut namun lega, senyum tulus merekah di wajahnya) Saya hanya... saya hanya berusaha, Pak. Saya akan selalu berusaha membuat Mariana bahagia. Saya berjanji akan menjaga putri Bapak dan Ibu dengan sepenuh hati.

Ibu Ningsih: (Mengusap lengan Mariana lembut) Kami melihatnya, Nak Edwin. Kami melihat bagaimana Mariana menatapmu. Itu sudah cukup bagi kami.

Bapak Dirga: (Mengangguk, tatapannya kini penuh penerimaan) Baiklah, Edwin. Kami... kami merestui. Jaga putri kami baik-baik. Jangan sampai dia kembali keras kepala lagi seperti dulu. (Ia tertawa kecil, diikuti Ibu Ningsih dan bahkan Mariana yang kini tak bisa menahan senyum dan air mata haru).

Mariana meraih tangan Edwin di bawah meja, meremasnya lembut. Ada rasa syukur dan kelegaan yang luar biasa. Edwin membalas genggaman itu, tahu bahwa langkah besar dalam hidupnya baru saja terwujud.

Melihat ekspresi lega dan bahagia di wajah kedua orang tuanya, Mariana merasa haru. Air mata tipis menggenang di sudut matanya. Ia tak pernah menyangka momen ini akan datang, apalagi dengan Edwin di sisinya. Edwin tersenyum padanya, senyum penuh kemenangan dan kelegaan, seolah berkata, "Kita berhasil, Bu." Hati Mariana menghangat. Segala keraguan yang dulu ia rasakan tentang perbedaan usia, status, dan pandangan sosial, kini terasa tidak penting. Yang ada hanya kebahagiaan dan penerimaan.

Edwin, di sisi lain, merasa sangat lega dan bangga. Mendapatkan restu dari orang tua Mariana, terutama setelah mendengar betapa kerasnya mereka, adalah pencapaian besar. Ia merasa semakin yakin dengan pilihannya, dan cintanya pada Mariana semakin dalam. Ia tahu perjalanan mereka tidak mudah, namun kini, dengan restu itu, jalan di depan terasa lebih terang.

Perjalanan ke Semarang dan Sambutan Hangat

Setelah mendapatkan restu dari orang tua Mariana di Jakarta, giliran Mariana yang ingin melangkah lebih jauh. Ia merasa perlu untuk bertemu dengan keluarga Edwin, untuk benar-benar menyelami dunia pria yang kini akan menjadi pendamping hidupnya itu.

"Edwin, aku ingin bertemu orang tuamu juga," kata Mariana suatu hari, saat mereka kembali ke kota tempat mereka bekerja. "Di Semarang, kan?"

Edwin mengangguk, namun ada sedikit keraguan di wajahnya. "Iya, Bu... tapi kampungku itu jauh sekali dari pusat kota Semarang. Perjalanan masih sekitar beberapa jam lagi dari sana. Jalanannya juga tidak begitu bagus." Ia juga menambahkan, "Rumahku juga sangat sederhana, Bu. Di pinggir sawah, orang tuaku petani."

Mariana mengangkat alis, tidak gentar sama sekali. "Justru itu yang kuinginkan, Edwin," kata Mariana, suaranya mantap. "Aku ingin melihat langsung di mana kamu dibesarkan. Aku ingin tahu dunia yang membentukmu. Sejauh apapun itu, aku tetap ingin ikut. Aku harus bertemu dengan orang tuamu, di rumahmu sendiri. Aku tidak peduli jalanan buruk atau rumah sederhana. Bagiku itu lebih berarti." Ada tekad kuat dalam suaranya yang tidak bisa dibantah.

Melihat keteguhan hati Mariana, Edwin akhirnya mengangguk setuju, tersenyum kecil. Ia tahu, jika Mariana sudah memutuskan, tidak ada yang bisa menghentikannya.

Beberapa waktu kemudian, mereka pun berangkat menuju Semarang. Perjalanan yang panjang dan melelahkan, melewati jalanan kota yang ramai hingga pedesaan yang mulai sepi. Edwin sesekali melirik Mariana, khawatir ia akan mengeluh, namun Mariana tampak menikmati setiap detiknya, mengamati pemandangan yang sangat berbeda dari hiruk pikuk kota besar yang ia kenal.

Akhirnya, setelah melewati perjalanan yang cukup panjang dari Semarang, mereka tiba di sebuah desa kecil yang asri. Sebuah rumah sangat sederhana, berdinding kayu, dengan halaman luas dan langsung berbatasan dengan hamparan sawah hijau yang membentang luas. Aroma tanah basah dan padi muda menyambut mereka. Dari teras, sepasang suami istri paruh baya melambai dengan senyum lebar, telah menunggu.

"Edwin!" seru Ibu Edwin, senyumnya begitu tulus dan hangat. Matanya berbinar melihat putranya pulang. Ia menatap Edwin, lalu pandangannya beralih pada sosok wanita cantik yang berdiri di samping putranya. Ada gurat kebingungan dan sedikit keterkejutan di wajahnya.

"Siapa ini, Nak?" tanya Ayah Edwin, suaranya mengandung nada heran sekaligus kagum, menatap Mariana dari ujung kaki hingga kepala. Ia adalah seorang wanita yang begitu berbeda, dengan aura kota yang jelas, apalagi di tengah kesederhanaan desa mereka. "Ko kamu bisa bawa... bidadari seperti ini, Nak?" tambahnya, setengah berbisik kepada Edwin, namun masih terdengar oleh Mariana.

Edwin tersipu. "Ini... ini Mariana, Bu, Pak. Calon istri Edwin," katanya, mencoba menghilangkan kecanggungan.

Ibu dan Ayah Edwin spontan saling pandang, raut terkejut mereka tergantikan dengan senyum yang semakin lebar. Mereka mendekat, menyambut Mariana dengan sangat baik, melebihi ekspektasi Mariana. Mereka langsung merangkulnya, seolah Mariana adalah putri mereka sendiri yang sudah lama tidak pulang.

"Mariana, Nak? Oh, ini toh Bu Mariana yang sering diceritakan Edwin?" kata Ibu Edwin, senyumnya merekah. "Ya ampun, Nak, cantik sekali kamu! Pantas saja Edwin betah di kota, ternyata ada bidadari yang meluluhkan hatinya!" candanya, membuat Mariana tersipu malu.

Mereka tahu Mariana adalah "atasan" Edwin sebelumnya, namun hal itu justru membuat mereka semakin menghargai Mariana yang mau menerima putra mereka. Pekerjaan mereka sebagai petani terlihat dari kulit mereka yang agak gelap terpapar matahari, namun mata mereka memancarkan kehangatan yang tulus.

Mariana sedikit terkejut dengan sambutan yang begitu meriah dan penuh kasih itu. Ia merasa benar-benar diratukan. Ia mengamati Ibu Edwin. Wanita paruh baya itu masih terlihat sangat cantik, dengan kerutan halus yang justru menambah karismanya. Ada rasa takjub yang menjalar di hati Mariana. Ia sedikit terkejut menyadari bahwa Ibu Edwin mungkin hanya setahun lebih tua darinya, atau bahkan tampak seusianya dalam beberapa sudut pandang. Namun, Mariana sadar bahwa kulitnya yang lebih putih dan terawat, hasil dari perawatan dan gaya hidup kota, memang seringkali membuat orang salah sangka dan mengira ia dari etnis Tionghoa atau semacamnya, memberikan kesan perbedaan yang jelas dibandingkan dengan penduduk desa yang lebih banyak menghabiskan waktu di bawah matahari.

Di tengah sambutan hangat itu, Mariana merasakan kelegaan dan kebahagiaan. Ia melihat ke mana Edwin mendapatkan ketulusan dan kehangatan hatinya. Semua perbedaan yang ada di antara mereka, kini terasa semakin tidak berarti.


Perbincangan Hangat di Teras Rumah Petani

(Mariana dan Edwin telah duduk di teras rumah kayu sederhana itu, ditemani oleh Ibu dan Ayah Edwin. Aroma masakan desa mulai tercium dari dapur. Cahaya matahari sore menerpa lembut hamparan sawah di depan mereka. Ibu Edwin membawa segelas teh hangat dan beberapa penganan tradisional.)

Ibu Edwin: (Meletakkan teh di hadapan Mariana) Diminum dulu, Nak Mariana. Maaf ya, di sini seadanya saja. Tidak seperti di kota.

Mariana: (Mengambil cangkir dengan senyum tulus) Terima kasih banyak, Bu. Jangan sungkan begitu. Saya justru senang sekali di sini. Udara segar, pemandangan sawah... Sangat menenangkan. Jauh berbeda dari Jakarta.

Ayah Edwin: (Tersenyum lebar) Ah, Nak Mariana ini bisa saja. Edwin banyak cerita tentangmu, Nak. Katanya kamu itu bosnya di kantor?

Mariana: (Sedikit canggung namun mengangguk) Iya, Pak. Dulu Edwin bekerja di bawah saya. Sekarang, dia sudah banyak berkembang, justru saya yang bangga melihatnya.

Ibu Edwin: (Menatap Edwin dengan bangga) Edwin ini memang anak yang rajin, Nak. Dari kecil sudah begitu. Kami tidak menyangka dia bisa sampai sejauh ini di kota, apalagi bisa meluluhkan hati Bu... eh, Nak Mariana yang cantik sekali ini. (Tangan Ibu Edwin mengusap lengan Mariana lembut, seolah ingin memastikan Mariana nyata). Kami sampai heran, kok bisa Edwin mendapatkan perempuan secantik kamu, Nak.

Mariana: (Tersipu malu, namun merasa nyaman dengan kehangatan mereka) Ah, Ibu ini. Cantik itu relatif, Bu. Edwin... Edwin punya hati yang baik. Itu yang paling penting bagi saya. Dan dia pekerja keras.

Ayah Edwin: (Mengangguk-angguk setuju) Itu betul, Nak. Hati yang baik dan kerja keras itu modal utama. Kami ini petani, Nak. Tidak punya apa-apa selain tanah dan tenaga. Edwin dari dulu kami ajari untuk selalu jujur dan tidak pernah lupa diri.

Mariana: (Menatap Ayah Edwin dengan penuh perhatian) Saya tahu, Pak. Itu yang saya kagumi dari Edwin. Dia selalu rendah hati dan bertanggung jawab.

Ibu Edwin: (Sedikit membungkuk, berbisik pada Mariana dengan nada ingin tahu) Nak Mariana ini kulitnya putih sekali ya, halus. Pasti sering dirawat, ya? Dari mana asalnya, Nak? Kok seperti... (Ia menghentikan kalimatnya, segan).

Mariana: (Tersenyum mengerti, sudah terbiasa dengan pertanyaan itu) Oh, bukan, Bu. Saya asli sini, Jawa juga. Hanya memang... saya terbiasa hidup di kota, jadi mungkin memang terlihat berbeda. Soal perawatan, ya, sedikit-sedikit saya coba jaga kesehatan kulit.

Ayah Edwin: (Tertawa kecil) Ya, ya. Beda hawa dan beda pekerjaan memang. Tapi tidak menyangka Edwin bisa dapat... seperti bidadari dari kota. Kami ini orang desa, Nak. Kami tidak tahu apa-apa soal hubungan di kota. Apa kamu... apa kamu benar-benar tidak keberatan dengan Edwin yang sederhana ini?

Mariana: (Menatap Edwin, lalu kembali ke Ayah Edwin dengan senyum tulus) Justru kesederhanaan Edwin dan keluarga Bapak-Ibu ini yang membuat saya merasa nyaman dan diterima. Saya tidak mencari kemewahan, Pak. Saya mencari ketulusan dan kebahagiaan. Dan itu semua saya temukan pada Edwin.

Ibu Edwin: (Mata berkaca-kaca) Syukurlah, Nak. Syukurlah... Kami sangat senang mendengarnya. Edwin memang anak yang baik. Pasti kamu sudah banyak berjuang juga ya untuk sampai ke sini?

Mariana: (Menghela napas, teringat masa lalu) Cukup banyak, Bu. Tapi saya tidak menyesal. Sama sekali tidak.

(Edwin hanya diam mendengarkan, sesekali tersenyum malu. Ia merasa bangga sekaligus lega melihat bagaimana orang tuanya menerima Mariana, dan bagaimana Mariana dengan tulus berbicara kepada mereka.)

Malam Haru di Rumah Keluarga Petani

(Mariana, Edwin, serta kedua orang tua Edwin terus berbincang di teras hingga sore menjelang. Setelah itu, mereka masuk ke dalam rumah. Ibu Edwin dengan sigap menyiapkan makan malam sederhana namun lezat.)

Di dapur yang sederhana namun bersih itu, Mariana mencoba ikut membantu. Ia mengambil inisiatif untuk mengupas bawang atau mencuci sayuran, namun seringkali gerakannya kaku, jauh dari kecekatan Ibu Edwin yang sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga. Ibu Edwin yang melihat tingkah calon menantunya terkadang tak bisa menahan senyum dan gelak tawa kecil.

"Jangan begitu, Nak, nanti tanganmu terluka," ucap Ibu Edwin lembut, tangannya sigap mengambil alih pisau dari Mariana saat melihat Mariana mengupas bawang dengan cara yang kurang tepat. "Biar Ibu saja. Kamu duduk saja, biar tidak capek." Ia tertawa renyah, lucu rasanya melihat calon menantunya yang secantik dan sepintar Mariana ternyata banyak salahnya di dapur.

Mariana merengut manja, namun ada tekad di matanya. "Tidak, Bu. Saya mau belajar. Edwin sering bilang masakan Ibu enak sekali. Saya harus bisa memasak seenak Ibu."

Ibu Edwin tersenyum geli, melihat kesungguhan calon menantunya itu. "Baiklah, kalau begitu perhatikan baik-baik ya, Nak," katanya, lalu mulai menunjukkan cara memotong sayuran atau meracik bumbu dengan tangkas, sementara Mariana memperhatikan dengan serius, sesekali bertanya. Ada kehangatan yang mengalir di antara mereka, di tengah aroma masakan yang menggoda.

Malam pun tiba, membawa serta sejuknya angin sawah. Mereka semua berkumpul di ruang tengah, menikmati hidangan sederhana namun penuh kehangatan. Di tengah suasana kebersamaan itu, terdengar suara motor berhenti di halaman dan salam yang ramai dari luar.

Ayah Edwin: (Terdengar dari ruang tengah, sambil tersenyum ke arah pintu) "Nah, itu dia kakak-kakakmu sudah datang, Win!"

Tak lama kemudian, tiga orang masuk ke dalam rumah. Dua laki-laki dan satu perempuan. Mereka adalah kedua kakak laki-laki Edwin dan satu-satunya kakak perempuan Edwin. Mereka datang berkunjung setelah tahu Edwin pulang, dan mengira Edwin hanya datang sendirian, seperti biasa.

"Wah, sudah ramai!" kata salah satu kakak laki-laki Edwin, matanya menyapu seisi ruangan. Ia melihat Edwin duduk di samping seorang perempuan asing yang cantik yang belum pernah ia lihat. "Lho, Edwin, kamu kok tidak bilang kalau ada tamu istimewa?"

Edwin langsung berdiri, senyumnya lebar. "Kakak-kakak!" Ia menyalami mereka satu per satu. "Ini bukan tamu biasa, Kak. Ini Mariana." Ia menoleh ke arah Mariana yang tersenyum canggung. "Dan Mariana, ini Kak Budi, Kakak tertua. Ini Kak Aris, di samping Kak Budi. Dan ini Kak Ayu," Edwin memperkenalkan satu per satu.

Kakak perempuan Edwin, Kak Ayu, terbelalak kaget. Matanya membulat saat melihat Mariana. Ia adalah seorang perempuan desa yang ramah, namun kecantikan Mariana dan aura kota yang jelas terpancar membuat ia tak bisa menahan ekspresi terkejutnya.

"Ya ampun, Edwin!" seru Kak Ayu, nyaris berteriak. Ia menatap Edwin dengan takjub, lalu beralih ke Mariana dengan tatapan penuh kekaguman. "Kamu... kamu kok bisa bawa perempuan secantik ini? Dari mana dapatnya, Win? Ini betulan?"

Kedua kakak laki-laki Edwin pun ikut memandang Mariana dengan takjub, wajah mereka menunjukkan keterkejutan yang sama. Ayah dan Ibu Edwin hanya bisa tersenyum simpul, menikmati reaksi anak-anak mereka.

Mariana sedikit salah tingkah menjadi pusat perhatian, namun ia berusaha tersenyum ramah. "Halo, Kakak-kakak semua. Saya Mariana."

"Ini calon istrimu, Nak?" tanya Kak Budi, suaranya masih diliputi rasa tak percaya.

Edwin mengangguk mantap, memegang tangan Mariana. "Iya, Kak."

Kak Ayu: (Menyenggol Edwin sambil tertawa geli) "Ih, dasar kamu, Win! Untung ada rejeki nomplok. Bisa-bisanya dapat yang begini. Emang kamu mau, Nak Mariana, sama adikku yang jelek begini?" Ia bertanya sambil tersenyum jahil, lalu menatap Mariana lagi dengan tatapan penuh ingin tahu.

Mariana tertawa kecil, ikut terbawa suasana hangat. "Kak Ayu ini ada-ada saja. Edwin tidak jelek kok. Dia baik dan tulus."

Suasana mendadak menjadi riuh rendah dengan celotehan dan tawa. Pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana Edwin bisa mendapatkan Mariana, tentang pekerjaan Mariana di kota, dan rencana mereka ke depan, mengalir deras. Kakak-kakak Edwin langsung menerima Mariana dengan tangan terbuka, rasa takjub mereka bercampur dengan kebanggaan pada adik bungsu mereka yang ternyata berhasil mendapatkan perempuan luar biasa.

Malam itu, rumah sederhana di pinggir sawah itu dipenuhi dengan kehangatan dan kebahagiaan. Mariana merasa benar-benar diterima, tidak hanya oleh orang tua Edwin, tetapi juga oleh seluruh keluarganya yang ramah dan bersahaja.

Akhir Bahagia: Ikrar Cinta dan Keluarga Baru

Hari demi hari berlalu dengan cepat setelah kunjungan Mariana ke rumah Edwin di desa. Restu dari kedua belah pihak keluarga telah didapat, mengukuhkan tekad mereka untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Persiapan pun dimulai, sederhana namun penuh makna, mencerminkan keinginan mereka untuk merayakan cinta mereka dengan orang-orang terkasih.

Akhirnya, hari dan tanggal yang ditentukan pun tiba. Dengan balutan busana pengantin yang sederhana namun elegan, Edwin dan Mariana berdiri di hadapan penghulu dan saksi. Suasana khidmat bercampur haru memenuhi ruangan. Dengan suara mantap, Edwin mengucapkan ijab kabul, disusul anggukan tulus dari Mariana. Mereka resmi menjadi sepasang suami istri.

Setelah menikah, Edwin dan Mariana memutuskan untuk tinggal di rumah warisan orang tua Mariana. Sebuah rumah yang lebih besar dan mapan, namun kini terasa hangat dan penuh cinta dengan kehadiran Edwin. Mariana, yang selama ini terbiasa hidup mandiri dan terkadang kaku, kini menunjukkan sisi kelembutan yang lebih sering, terutama di hadapan Edwin.

Seperti kata orang tua dulu, ada benarnya bahwa seorang perempuan akan terlihat seumuran dengan pasangannya, meskipun suami lebih muda. Hal ini sangat terlihat pada Mariana. Dengan Edwin di sisinya, ia memancarkan aura kebahagiaan yang membuatnya terlihat lebih muda. Ditambah lagi, Mariana memang pandai merawat tubuh dan menjaga penampilannya, membuat perbedaan usia dengan Edwin nyaris tak terlihat. Mereka berdua sering kali dikira sepasang kekasih sebaya yang baru saja menjalin kasih.

Setahun setelah pernikahan mereka, kebahagiaan Edwin dan Mariana semakin lengkap. Sebuah anugerah tak terhingga datang ke dalam hidup mereka. Mariana dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik, mewarisi paras ibunya dan keteduhan ayahnya. Tangisan pertama bayi mereka menjadi melodi terindah, mengisi setiap sudut rumah dengan cinta dan tawa.

Kisah Mariana, si bos angkuh dengan masa lalu yang penuh luka, dan Edwin, office boy sederhana dengan hati tulus, menemukan puncaknya. Cinta mereka, yang tumbuh dari sebuah pertemuan tak terduga dan melampaui segala perbedaan status, usia, dan latar belakang, kini berbuah menjadi sebuah keluarga yang bahagia. Mereka membuktikan bahwa cinta sejati tak mengenal batasan, melainkan menemukan jalannya sendiri, menembus setiap "bendungan kokoh" dan membangun fondasi baru yang kokoh.


Cerita ini pun berakhir.

Posting Komentar untuk "My Boss Is A lonely Old Maid (Bosku perawan tua yang kesepian)"