Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kampungku Tak Seperti Dulu Lagi






Cijango masa kecilku hingga Remaja adalah surga yang sederhana. Ingatkah kalian dengan Sungai Cijango yang airnya begitu jernih hingga batu-batu kecil di dasarnya pun terlihat jelas? Di sanalah kami anak-anak kampung berkumpul. Berenang, saling ciprat air, dan dengan bangganya memamerkan ikan-ikan kecil hasil pancingan alakadarnya. Sungai itu bukan hanya sumber kesenangan, tapi juga jantung kehidupan kami.

Lalu ada lapangan bola di ujung timur kampung, yang kini mungkin hanya tinggal kenangan samar. Dulu, lapangan itu adalah arena pertarungan persahabatan. Sore hari, dari anak kecil hingga remaja tumpah ruah, mengejar si kulit bundar di tengah debu yang beterbangan. Di pinggir lapangan, hutan kecil menjadi tempat petualangan kami mencari kayu bakar dan buah-buahan liar. Alam Cijango dulu begitu dekat dan bersahabat.




Jangan lupakan juga warung ayahku. Letaknya strategis di pinggir jalan utama kampung. Sore hingga malam, warung itu selalu ramai oleh berbagai kalangan. Bapak-bapak berangkat sampai pulang dari sawah, ibu-ibu yang berbelanja, hingga anak-anak muda yang menjadikan warung sebagai tempat nongkrong favorit. Suara tawa, obrolan, genjrengan gitar akustik dan aroma kopi instan bercampur menjadi melodi yang khas. Aku kecil sering mencuri dengar cerita-cerita orang dewasa, belajar banyak hal tentang kehidupan dari sana.

Dan tentu saja, Sumur Kiray. Bagi kami anak-anak Cijango, bukan sekadar sumber air untuk Mandi Dan Mengambil Air. Tempat itu adalah saksi bisu berbagai cerita dan kebersamaan. Antrian mandi pagi dan ritual mencuci pakaian yang penuh canda,sambil bertukar cerita, semuanya terpusat di sana. Airnya yang dingin dan segar selalu menjadi andalan.

Meskipun lingkungan saat itu tak sepenuhnya ideal – ada saja celotehan atau perilaku orang dewasa yang mungkin kini kusebut toxic, namun sebagai anak kecil, aku masih bisa memakluminya. Dunia orang dewasa kala itu terasa jauh dan tak terlalu mengganggu duniaku yang penuh dengan petualangan di sungai, lapangan, dan hutan.





Namun, waktu memang kejam. Setelah aku dewasa dan berkeluarga Kampung halamanku tak lagi sama. Sungai Cijango yang dulu jernih kini dipenuhi sampah plastik dan limbah rumah tangga. Airnya tak lagi menggoda untuk berenang atau memancing. Lapangan bola yang dulu ramai kini telah menjadi perusahaan Peternakan sapi, menyisakan sedikit ruang hijau yang tak terawat. Hutan kecil di pinggirnya pun ikut menyusut.

Warung warisan ayahku? Bangunannya masih berdiri, namun aura keramaiannya telah hilang. Pelanggannya bisa dihitung jari. Suara tawa dan obrolan riuh yang dulu selalu terdengar kini digantikan oleh keheningan yang memilukan, teman-teman sejawat pun satu persatu kini menghilang, sibuk dengan urusan masing-masing. Sumur Kiray, tempat mandi favorit kami, kini telah berubah dijadikan empang oleh pemerintah setempat dan sekarang di penuhi teratai dan eceng gondok,tak terurus, entah untuk tujuan apa? katanya untuk Embung, sedangkan setahuku Embung adalah bangunan yang berfungsi untuk menampung air, biasanya dalam bentuk kolam atau cekungan untuk di gunakan saat musim kemarau. tapi ini malah ketika kemarau gak ada airnya. padahal dulunya ada sumbernya sekarang seperti hilang.

Dan yang lebih mengherankan lagi, atmosfer sosial di Cijango pun terasa berbeda. Orang-orang baru yang datang membawa budaya Sombong. Interaksi dengan mereka seringkali diwarnai hal-hal yang kurang menyenangkan, cenderung toxic. bahkan generasi penerus dari orang-orang lama pun sama, contoh ketika ada kegiatan kampung kita harus mengikuti ide mereka ,Kehangatan dan rasa kekeluargaan yang dulu kurasakan seolah menguap bersama perubahan fisik kampung.

Ada rasa kehilangan yang mendalam. Kenangan masa kecilku terasa begitu kontras dengan kenyataan yang ada. Sungai yang tercemar, lapangan yang berubah fungsi, warung yang sepi, dan sumur kiray yang tak terurus adalah simbol dari perubahan yang tak selalu membawa kebaikan.





Mungkin, ini adalah potret buram dari sebuah desa yang sedang bertransformasi, namun kehilangan sebagian jiwanya dalam proses tersebut. Aku merindukan Cijango yang dulu, dengan alamnya yang asri, kehangatan sosialnya, dan kenangan-kenangan indah yang kini hanya bisa kusimpan dalam ingatan. Sebuah catatan pilu tentang kampung halaman yang tak lagi sama.

Apakah karna Aku yang sudah menjadi dewasa, mungkin seperti ini juga yang di rasakan ayah -ibuku dulu.


Posting Komentar untuk "Kampungku Tak Seperti Dulu Lagi"