Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

The Story Of Miki And Clara ( My Widow )



Clara Emilia dan Miki Heriawan sudah sahabatan dari kecil. Dulu, rumah mereka begitu dekat,hanya terhalang sepuluh rumah. Ara, panggilan akrab Clara Emilia, adalah gadis blasteran unik: ibunya orang Betawi-Sunda dan ayahnya Asli Jerman. Perpaduan itu memberinya rambut cokelat madu yang berkilau dan senyum secerah mentari yang selalu memancarkan keceriaan. Ara adalah pribadi yang penuh semangat, seringkali menjadi motor penggerak setiap petualangan kecil mereka.

Di sisi lain, Miki Heriawan adalah penyeimbang sempurna bagi Ara yang meledak-ledak. Ia memiliki tatapan teduh dan senyum tipis yang jarang namun menenangkan, selalu siap mendengarkan atau menanggapi ide-ide gila Ara dengan kesabarannya. Miki tumbuh dalam keluarga yang berbeda. Ayahnya meninggal sejak ia masih kecil, membuat Miki tinggal bersama ibunya dan dua kakak perempuan. Namun, kedua kakak perempuannya itu sudah menikah dan ikut suami, sehingga praktis, ia adalah satu-satunya tumpuan bagi sang ibu. Mereka adalah dua kutub magnet yang selalu tertarik, sejak masa kanak-kanak hingga bangku sekolah menengah pertama, menjadi sahabat sejati yang tak terpisahkan.

Lingkungan tempat mereka tumbuh adalah saksi bisu tawa dan rahasia yang mereka bagi. Jalanan gang yang tidak terlalu lebar, suara pedagang keliling, dan kehangatan tetangga yang saling mengenal, semua membentuk kenangan manis persahabatan mereka. Namun, seperti layaknya alur kehidupan, takdir punya rencana lain untuk membelokkan jalan mereka.

Ketika tiba saatnya melanjutkan ke jenjang SMA, perbedaan mulai mengikis kebersamaan yang dulu tak terpisahkan. Ara, dengan kecerdasan dan dukungan penuh dari kedua orang tuanya, berhasil masuk ke SMA berbasis International School. Di sana, ia akan menemui fasilitas super lengkap, kurikulum global, dan lingkungan pertemanan yang sangat berbeda. Sementara Miki, yang tak kalah pintar namun harus berhitung lebih cermat soal biaya pendidikan—mengingat ia kini menjadi tulang punggung utama bagi ibunya—melanjutkan studinya di SMA swasta biasa, sebuah sekolah yang lebih membumi dengan segala kesederhanaannya.

Belum usai dengan perbedaan lingkungan belajar yang kentara, sebuah berita datang menghantam bagai petir di siang bolong: rumah mereka, yang menjadi pusat dunia kecil persahabatan itu, terkena proyek penggusuran untuk pembangunan jalan tol. Kenangan-kenangan yang terukir di setiap sudut rumah harus rela lenyap. Keluarga Miki, dengan segala keterbatasan, harus berpindah ke area perumahan gang sempit yang baru, jauh dari hiruk pikuk kota, di mana ruang terasa lebih berhimpitan dan adaptasi menjadi keharusan. Di sisi lain, Ara, bersama orang tuanya yang sukses, pindah ke perumahan elit yang mewah, lengkap dengan keamanan ketat, fasilitas modern, dan suasana yang terasa begitu berbeda dari gang sempit tempat mereka dulu tumbuh.

Jarak yang kini terbentang antara mereka bukan lagi hanya sepuluh rumah. Kini, ada perbedaan strata sosial, tanggung jawab hidup, dan lingkungan hidup yang menganga lebar, seolah menempatkan mereka di dua dunia yang berbeda.

Dua tahun berlalu bagai embusan angin. Dua tahun di mana Ara dan Miki hanya bisa saling menyapa lewat balasan singkat di grup alumni SD dan SMP, atau sekadar memberi likes pada unggahan foto. Jarak yang memisahkan mereka bukan lagi sekadar kilometer, melainkan jurang dunia yang berbeda dan kesibukan yang tak tertandingi. Ara disibukkan dengan pelajaran intensif di International School, berbagai ekstrakurikuler, dan lingkaran pertemanan barunya yang serba "wah". Sementara Miki, setelah jam sekolah, langsung berjibaku dengan pekerjaan paruh waktu untuk membantu ibunya. Pertemuan langsung? Hampir mustahil.

Minggu pagi itu, sekitar pukul sembilan, aroma nasi uduk yang gurih menyeruak dari kios depan sebuah rumah di gang sempit itu. Di sanalah Ibu Wati, ibunda Miki, sibuk melayani pembeli. Sejak kedua anak perempuannya menikah dan ikut suami masing-masing, Ibu Wati memang memutuskan berjualan nasi uduk. Dengan cekatan, tangannya membungkus nasi dengan lauk-pauk pelengkap, senyum tipis terukir di wajahnya yang sedikit lelah namun tetap ramah. Antrean pembeli pagi itu lumayan panjang, pertanda nasi uduk Ibu Wati memang punya banyak penggemar.

Tiba-tiba, sebuah motor Vespa matic berwarna putih meluncur pelan, berhenti tepat di depan rumah Miki. Semua mata, termasuk Ibu Wati, sontak tertuju pada pengendara motor itu. Seorang gadis melepas helm full-face-nya, dan seketika itu juga, rambut cokelat madunya tergerai indah, berkilau diterpa sinar matahari pagi. Kulitnya putih bersih kontras dengan suasana gang yang sedikit kusam, dan senyumnya... senyum itu tak berubah sedikit pun. Seperti bunga yang mekar di tengah bebatuan, kehadiran gadis itu sontak mengagetkan semua orang.

"Assalamualaikum, Miki ada, Bu?" Suara itu. Suara yang sangat familiar namun kini terdengar sedikit lebih dewasa dan merdu. Ibu Wati memicingkan mata, berusaha menebak-nebak siapa gerangan gadis "bule" di hadapannya.

Ara tersenyum lebar, senyum yang sama persis dengan yang dulu selalu membuat Miki tersipu. Ia melangkah mendekat, membungkuk dan mencium punggung tangan Ibu Wati. "Ini Ara, Bu. Clara Emilia."

Sontak, mata Ibu Wati membulat sempurna. "Ya ampun, Ara?!" Tanpa banyak bicara, Ibu Wati langsung memeluk Ara erat, seolah tak percaya gadis kecil yang dulu sering bermain di rumahnya kini sudah sebesar ini, bahkan tampak semakin cantik dan memukau.

Pembeli lain yang tengah mengantre pun tak kalah penasaran. "Siapa, Bu? Cewek cantik banget, putih lagi," celetuk seorang ibu-ibu.

Ibu Wati melepas pelukannya, matanya berkaca-kaca menatap Ara. "Ini Ara, Bu. Sahabatnya Miki dari kecil. Dulu tetangga, mainnya bareng terus. Sekarang udah jadi gadis bule beneran, ya," ucap Ibu Wati dengan nada bangga bercampur haru, menjelaskan kepada para pembeli yang mengangguk-angguk kagum.

"Wah, Miki pinter banget cari temen. Cantik gini!" goda seorang bapak-bapak yang ikut mengantre, disambut kekehan dari pembeli lainnya. Ara hanya tersenyum tipis, rona merah tipis menjalar di pipinya.

Ibu Wati menunjuk ke arah pintu rumah, "Masuk aja, Ra. Miki di dalam. Bangunin sekalian, ya. Ibu masih banyak yang harus dilayani ini."

Ara mengangguk, lalu melangkahkan kakinya ke dalam rumah yang terasa asing namun hangat itu. Begitu masuk, ia langsung disuguhi pemandangan yang sukses menahan tawanya. Miki tergeletak di kasur tanpa ranjang di lantai, dengan posisi melintang, bantal dan guling sudah entah di mana. Selimutnya sudah melorot tak beraturan. Dari dua biji speaker kecil yang terhubung dengan ponselnya, terdengar suara musik beraliran rock yang menghentak, cukup keras hingga menggetarkan udara di ruangan kecil itu.

Tanpa melepas sepatunya, Ara mengangkat kaki kanannya dan menendang pelan bokong Miki. "Bangun, kebo!"

Miki menggeram, bergerak gelisah, lalu perlahan terbangun. Ia mengusap matanya yang masih setengah sadar, mengerjap-ngerjap berusaha mengenali sosok jangkung yang berdiri di depannya. Matanya membelalak kaget saat menyadari itu adalah Ara.

"Anjrit, sama siapa lu?!" celetuk Miki, masih dengan suara serak khas bangun tidur, menunjuk ke arah Ara dengan wajah bingung.

Ara tersenyum lebar, "Sama helm!" jawabnya santai. "Gila, kok bisa tahu rumah gua, Ra?" tanya Miki, yang kini sudah duduk tegap di kasur.

"Ya tanya-tanya lah, Mik. Jauh banget sih lu pindahnya!" Ara menggerutu, pura-pura kesal. Dalam hati ia lega, Miki masih Miki yang sama, dengan celetukan khasnya.

"Sana mandi dulu, Mik," suruh Ara, menunjuk kamar mandi kecil di sudut ruangan.

Miki mengibaskan tangan, "Males ah. Udah mandi tadi, abis makan terus ngantuk. Enak banget tidurnya."

Ara hanya memutar bola mata. Pandangannya kemudian melirik ke dinding dekat kasur, dan matanya menangkap sebuah foto yang tertempel. Di sana, Miki berfoto berdua dengan seorang gadis. Ara tersenyum jahil. "Cieee, itu pacar lu, Mik?" tanyanya sambil menunjuk foto itu, senyumnya makin lebar.

Wajah Miki langsung berubah masam. "Udahan," jawabnya singkat.

"Lah, udah putus?" Ara bertanya, sedikit terkejut. "Kenapa? Sok cakep banget sih lu, kok bisa mutusin cewek secantik itu?" Ara menggodanya, nadanya sengaja dibuat menyebalkan.

Miki mendengus kesal. "Enak aja! Bukan gue yang mutusin, ada juga dia yang mutusin gue!"

Mendengar pengakuan Miki, Ara langsung tertawa terbahak-bahak. Suaranya renyah dan memenuhi ruangan, membuat Miki semakin cemberut. Baginya, melihat Miki kesal seperti ini adalah hiburan tersendiri.


Nostalgia di Tengah Gang Sempit

Musik dari speaker kecil Miki akhirnya dimatikan. Mereka berdua duduk lesehan di lantai, bersisian dengan kasur Miki. Obrolan mengalir begitu saja, seolah dua tahun perpisahan tak pernah terjadi.

"Eh, Ra, lo inget nggak si Dimas yang dulu suka ngumpetin sepatu Bu Guru?" tanya Miki, memulai obrolan tentang masa lalu.

Ara langsung tertawa, "Inget banget! Itu gara-gara dia telat terus dihukum berdiri di depan kelas, kan? Terus kamu yang jadi kompornya biar dia berani?"

Miki nyengir, "Hehe, ketauan deh. Terus si Budi gimana kabarnya? Dia masih di sekolah yang sama atau udah pindah?"

"Budi masih di SMA yang sama kok, Mik. Kayaknya dia makin sibuk sama klub sainsnya. Kemarin sempat lihat dia posting di grup alumni, makin berisi badannya, Mik, kayak bapak-bapak!" Ara menertawakan. "Kalau si Lia? Dia masih sering aktif di OSIS, ya?"

"Lia masih, Ra. Dia kayaknya betah banget jadi panitia acara. Kapan-kapan kita kumpul lagi yuk sama yang lain," usul Miki, matanya berbinar.

Mereka terus bercerita, saling menimpali, dan tertawa lepas mengingat berbagai kenangan konyol masa SD dan SMP. Dari tugas kelompok yang selalu berakhir jadi main, ulangan dadakan yang bikin panik, sampai drama persahabatan yang klise. Ruangan kecil itu dipenuhi gelak tawa dan nostalgia, membuat suasana terasa hangat dan akrab seperti dulu.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, saat tawa mereka mulai mereda, Ibu Wati muncul di ambang pintu dengan senyum lebar. Di tangannya, ada sepiring nasi uduk lengkap dengan lauk-pauknya dan dua gelas teh hangat.

"Dimakan dulu, Ra. Pasti belum sarapan kan?" ujar Ibu Wati ramah, meletakkan hidangan itu di meja lipat kecil. Ara jadi tidak enak.

"Wah, makasih banyak, Bu. Jadi ngerepotin," kata Ara sungkan.

Ibu Wati hanya melambaikan tangan. "Nggak usah sungkan. Oh iya, Ra, Ibu mau tanya nih. Gimana sih kelakuan si Miki waktu SMP? Pasti banyak bandelnya, ya?" tanya Ibu Wati, menatap Miki dengan tatapan penuh selidik, membuat Miki langsung salah tingkah.

Mata Ara langsung berbinar jahil. Ia melirik Miki yang kini merengut. Ini kesempatan emas!

"Oh, bandelnya Miki? Jangan ditanya, Bu! Udah kayak di jalanan," Ara memulai, semangat. "Ingat nggak, Bu, waktu itu Miki pernah bolos pelajaran olahraga cuma gara-gara mau main PS di rental. Ketauan sama guru BK, terus dihukum bersih-bersih lapangan basket seminggu!"

Miki langsung menyikut lengan Ara pelan, "Woy! Jangan dibuka semua dong aib gua!"

Ara mengabaikan Miki, justru tertawa geli. "Terus, yang paling parah, Bu, waktu pelajaran Matematika, kan. Miki itu kan paling nggak suka tuh sama MTK. Jadi, dia nulis contekan rumus di telapak tangan, tapi saking tebelnya dia nulis, tangannya jadi biru semua kayak abis dipukul!" Ara mencontohkan dengan ekspresi dramatis, membuat Ibu Wati tertawa terbahak-bahak. "Gurunya sampai ngakak, terus Miki disuruh cuci tangan di kamar mandi pakai sabun cuci piring biar bersih!"

"Aduh, Miki! Ada-ada aja kamu ini," Ibu Wati menggeleng-gelengkan kepala sambil terkekeh.

Miki cuma bisa pasrah, wajahnya memerah menahan malu. "Udah ah, Bu, udah lewat itu!"

Ara belum puas. "Belum, Bu! Pernah juga dia ngejailin anak baru yang culun banget. Bajunya dimasukin ke dalam celana terus dikasih label 'Property Sekolah' di punggungnya. Anak itu nangis sampai ngadu ke guru. Akhirnya Miki disuruh minta maaf di depan upacara!"

"Hahaha, itu mah becanda doang, Ra!" bela Miki.

Ibu Wati tertawa sampai terbatuk-batuk. "Ya ampun, Miki! Untung nggak sampai bikin Ibu dipanggil ke sekolah terus, ya?"

Miki memanyunkan bibirnya. Ara dan Ibu Wati terus saja tertawa, seolah menemukan hiburan baru dalam membuka aib Miki yang sudah lama tersimpan. Suasana kembali hangat, persis seperti dulu, saat tak ada jarak dan perbedaan yang memisahkan mereka.


Panggilan Tak Terduga dan Janji Minggu Depan

Setelah puas menggoda Miki, Ibu Wati bangkit. "Ya sudah, Ibu mau cuci piring dulu di belakang. Kalian lanjutin saja ngobrolnya, ya," pamitnya, meninggalkan Ara dan Miki berdua.

Obrolan mereka kembali mengalir, lebih santai dan personal. Mereka bertukar cerita tentang pengalaman di sekolah masing-masing, pelajaran yang sulit, guru yang galak, hingga drama pertemanan yang muncul di masa SMA.

Tiba-tiba, ponsel iPhone Ara berdering nyaring. Ara melirik layar, lalu tersenyum tipis sebelum mengangkat panggilan itu. "Halo, iya... udah sampai kok," jawab Ara lembut, suaranya sedikit pelan, sengaja agar Miki tidak terlalu mendengar.

Miki, yang duduk di sebelahnya, bisa menebak siapa yang menelepon. Dari nada bicara Ara yang berubah menjadi lebih manis, jelas itu adalah pacar Ara. Miki hanya diam, pura-pura tidak mendengar sambil mengamati Ara. Beberapa kalimat kemudian, Ara mengakhiri panggilan.

"Bye," ucap Ara sambil tersenyum ke arah layar ponselnya, lalu menatap Miki.

"Masih sama pemain sinetron itu?" tanya Miki, nadanya santai, namun ada sedikit rasa penasaran di sana.

Ara mengangkat alis, "Sama siapa lagi?" jawabnya acuh tak acuh.

"Dia nanyain apa, Ra?" Miki tidak menyerah.

"Ini... nanyain udah nyampe belum," jawab Ara, sedikit tergagap.

Miki tersenyum-senyum jahil. "Ohhh..." katanya, membiarkan kalimatnya menggantung, mengisyaratkan bahwa dia tahu lebih dari itu.

"Apa sih, Mik?" kata Ara, menahan senyum dan sedikit salah tingkah melihat reaksi Miki.

Tak terasa, satu jam berlalu begitu cepat. Waktu yang terasa singkat untuk dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Ara melirik jam di pergelangan tangannya. "Mik, gua harus pamit nih. Udah siang."

Miki mengangguk lesu. "Yah, sebentar banget."

"Makanya! Minggu depan, kamu harus ke rumah gua, ya!" ajak Ara, menatap Miki dengan sorot mata menuntut.

Miki terlihat ragu. "Aduh, Ra... jauh banget itu. Terus, nanti ngerepotin orang tua kamu juga."

"Nggak ada alasan! Ayah sama Ibu kadang juga tanyain Miki, kok. Mereka kangen sama kamu," jelas Ara, berusaha meyakinkan Miki. "Pokoknya nggak boleh nggak! Awas aja kalau nggak datang!"

Miki akhirnya tersenyum. "Oke, deh. Nanti aku usahain."

Ara bangkit, lalu melangkah ke depan kios tempat Ibu Wati masih sibuk. "Bu, Ara pamit dulu ya. Makasih banyak nasi uduknya, enak banget."

Ibu Wati menoleh, raut wajahnya terlihat sedikit sedih. "Yah, kok cepat banget, Ra? Padahal Ibu kangen banget sama kamu." Ia memegang tangan Ara, mengelusnya penuh kasih sayang.

"Iya, Bu. Nanti Ara janji sering-sering ke sini, kok," janji Ara. "Miki juga nanti minggu depan mau main ke rumah."

Ibu Wati tersenyum lebar. "Syukurlah kalau begitu. Hati-hati di jalan, ya, Nak."

Ara mencium tangan Ibu Wati lagi, lalu menuju Vespanya. Miki mengantar sampai depan gang, berdiri di sana sampai Vespa putih Ara melaju menjauh dan menghilang di belokan. Seulas senyum tipis terukir di wajah Miki.


Janji yang Terpenuhi, Kebahagiaan yang Kembali

Minggu pagi berikutnya, Miki mempersiapkan diri dengan campuran perasaan cemas dan senang. Ia sudah lama tidak mengunjungi rumah Ara, apalagi rumah baru mereka yang mewah di perumahan elit. Setelah berpamitan dengan Ibu Wati, Miki menaiki angkutan umum yang memakan waktu cukup lama dan beberapa kali transit. Setibanya di gerbang perumahan elit yang dijaga ketat, Miki merasa sedikit minder. Petugas keamanan menatapnya dengan tatapan curiga melihat sosok anak muda memakai kaos hitam bergambar grup band Gledek, memakai sepatu Vans entah asli atau palsu.

Setelah Miki menyebut namanya dan menyatakan sudah berjanji dengan Clara Emilia, petugas keamanan mempersilakan Miki menunggu. Miki menyusuri pandangannya ke depan rumah Ara yang megah. Taman depan yang luas dan terawat, mobil-mobil mewah terparkir rapi di garasi, dan di paling ujung ada Vespa matic milik Clara. Tak lama, Clara muncul mengenakan pakaian tanktop dan celana pendek berbahan katun, rambut cokelat madunya tergerai indah. Senyum lebarnya langsung menyambut Miki.

"Miki! Akhirnya nyampe juga! Sini, masuk!" seru Ara, antusias.

"Anjrit, jauh banget, sih rumah lu, Ra," gerutu Miki.

"Ahahaha," Clara tertawa dan mempersilakan Miki masuk. Di sana, kedua orang tuanya tersenyum melihat sahabat kecil anak mereka. "Wah, sudah tinggi kamu, ya," kata Ayah Clara dengan logat bulenya yang kental.

Miki melangkah masuk, merasakan karpet tebal di bawah kakinya dan aroma segar pengharum ruangan yang mewah. Interior rumah Ara begitu modern dan luas, jauh berbeda dari rumah lama mereka. Ayah dan Ibu Ara menyambut Miki dengan hangat, mereka memang merindukan sosok Miki yang dulu sering mampir ke rumah mereka.

"Gimana kabarmu, Miki? Ibu Wati sehat?" tanya Ibu Ara, suaranya lembut.

"Alhamdulillah sehat, Tante," jawab Miki sedikit canggung, pandangannya sesekali melirik ke sekeliling ruangan yang serba mewah.

Setelah berbasa-basi sebentar, Ara langsung mengajak Miki melihat-lihat rumah barunya. Mereka menjelajahi setiap sudut: ruang tamu yang elegan dengan jendela besar menghadap taman, dapur modern lengkap dengan peralatan canggih, hingga kolam renang di halaman belakang yang memancarkan air biru jernih. Miki terkagum-kagum, sesekali mengeluarkan celetukan khasnya yang membuat Ara tertawa terbahak-bahak.

"Gila ya, Ra, ini rumah apa hotel bintang lima? Luar biasa!" celetuk Miki, matanya membelalak melihat ruang bioskop mini di lantai bawah.

"Apaan sih! Lebay banget," balas Ara, mencubit lengan Miki pelan.


Ruang Pribadi dan Kenangan Baru

"Sini, Mik, masuk," ajak Ara sambil membuka pintu kamarnya yang berwarna putih. Begitu daun pintu terkuak lebar, semerbak wangi manis khas kamar perempuan langsung menyergap indra penciuman Miki. Wangi vanilla bercampur sedikit aroma bunga yang lembut, jauh berbeda dari bau apek atau keringat di kamarnya sendiri. Kamar Ara begitu luas dan tertata rapi, dengan nuansa pastel yang menenangkan. Sebuah ranjang berukuran besar dengan seprai motif bunga, meja belajar minimalis dengan layar monitor lebar, serta lemari pakaian yang menjulang tinggi, semuanya tampak mewah dan modern. Di salah satu dinding, terpasang rak buku penuh dengan novel-novel berbahasa Inggris dan beberapa buku pelajaran tebal.

"Wah, gila, kamar lo kayak di Instagram, Ra," celetuk Miki, matanya menyusuri setiap sudut dengan takjub. Ia melihat beberapa foto yang terpajang di dinding, termasuk satu foto Ara bersama seorang laki-laki yang ia duga adalah pacar Ara yang disebutnya "pemain sinetron" itu. Miki memilih untuk tidak mengomentarinya.

Ara terkekeh. "Bisa aja lo. Duduk aja, Mik. Jangan sungkan." Ara menunjuk bean bag empuk berwarna mint di sudut ruangan.

Miki duduk di bean bag, merasakan kenyamanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ara duduk di tepi ranjang, menghadap Miki. Obrolan mereka kembali mengalir, lebih santai dan personal, tanpa perlu sungkan seperti di ruang tamu tadi.

"Jadi, gimana, Mik? Ceritain dong detailnya sekolah lo. Kan gua penasaran juga," tanya Ara, antusias.

Miki mulai bercerita tentang teman-temannya di sekolah, guru-guru yang unik, dan bagaimana ia harus membagi waktu antara belajar dan bekerja paruh waktu. Ia menceritakan bagaimana ia belajar untuk ujian di sela-sela shift kerjanya di toko kelontong milik keturunan Tionghoa yang lumayan besar di dekat rumahnya, atau saat pulang malam setelah mengantar pesanan katering ibunya.

"Kadang ya, Ra, gue tuh pengen banget bisa kayak lo. Pulang sekolah langsung belajar atau main, enggak perlu mikirin harus nyari uang buat besok," ucap Miki, nada suaranya sedikit sendu. Ia menunduk, memainkan ujung kausnya. "Di toko itu juga ada anak perempuannya, cantik sih, tapi judesnya minta ampun. Bikin males aja kalau dia yang jaga."

Ara menggeser duduknya, mendekat ke arah Miki. Ia menyentuh bahu Miki dengan lembut. "Gue ngerti, Mik. Tapi lo itu hebat banget, tahu enggak? Lo mandiri, bertanggung jawab, dan kuat. Itu sesuatu yang enggak semua orang punya, Mik. Lo punya hati yang besar."

Miki mendongak, menatap mata Ara yang memancarkan ketulusan. "Makasih, Ra. Lo emang paling bisa bikin gue semangat."

"Pokoknya, kalau lo butuh bantuan apa pun, bilang aja. Mau belajar bareng, atau butuh teman ngobrol, gue selalu ada. Jangan ragu buat ngabarin gue," janji Ara, menggenggam tangan Miki erat. "Gue juga butuh lo, Mik. Kadang gue butuh perspektif lain yang lebih 'membumi' dari lo."

Miki tersenyum, senyum tipis yang jarang namun selalu menenangkan. Ia tahu, meskipun dunia mereka kini sangat berbeda, ada satu hal yang tetap sama dan tak tergoyahkan: persahabatan mereka.


Ruang Pribadi dan Kenangan Baru

"Sini, Mik, masuk," ajak Ara sambil membuka pintu kamarnya yang berwarna putih. Begitu daun pintu terkuak lebar, semerbak wangi manis khas kamar perempuan langsung menyergap indra penciuman Miki. Wangi vanilla bercampur sedikit aroma bunga yang lembut, jauh berbeda dari bau apek atau keringat di kamarnya sendiri. Kamar Ara begitu luas dan tertata rapi, dengan nuansa pastel yang menenangkan. Sebuah ranjang berukuran besar dengan seprai motif bunga, meja belajar minimalis dengan layar monitor lebar, serta lemari pakaian yang menjulang tinggi, semuanya tampak mewah dan modern. Di salah satu dinding, terpasang rak buku penuh dengan novel-novel berbahasa Inggris dan beberapa buku pelajaran tebal.

"Wah, gila, kamar lo kayak di Instagram, Ra," celetuk Miki, matanya menyusuri setiap sudut dengan takjub. Ia melihat beberapa foto yang terpajang di dinding, termasuk satu foto Ara bersama seorang laki-laki yang ia duga adalah pacar Ara yang disebutnya "pemain sinetron" itu. Miki memilih untuk tidak mengomentarinya.

Ara terkekeh. "Bisa aja lo. Duduk aja, Mik. Jangan sungkan." Ara menunjuk bean bag empuk berwarna mint di sudut ruangan.

Miki duduk di bean bag, merasakan kenyamanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ara duduk di tepi ranjang, menghadap Miki. Obrolan mereka kembali mengalir, lebih santai dan personal, tanpa perlu sungkan seperti di ruang tamu tadi.

"Jadi, gimana, Mik? Ceritain dong detailnya sekolah lo. Kan gua penasaran juga," tanya Ara, antusias.

Miki mulai bercerita tentang teman-temannya di sekolah, guru-guru yang unik, dan bagaimana ia harus membagi waktu antara belajar dan bekerja paruh waktu. Ia menceritakan bagaimana ia belajar untuk ujian di sela-sela shift kerjanya di toko kelontong milik keturunan Tionghoa yang lumayan besar di dekat rumahnya, atau saat pulang malam setelah mengantar pesanan katering ibunya.

"Kadang ya, Ra, gue tuh pengen banget bisa kayak lo. Pulang sekolah langsung belajar atau main, enggak perlu mikirin harus nyari uang buat besok," ucap Miki, nada suaranya sedikit sendu. Ia menunduk, memainkan ujung kausnya.

Ara menggeser duduknya, mendekat ke arah Miki. Ia menyentuh bahu Miki dengan lembut. "Gue ngerti, Mik. Tapi lo itu hebat banget, tahu enggak? Lo mandiri, bertanggung jawab, dan kuat. Itu sesuatu yang enggak semua orang punya, Mik. Lo punya hati yang besar."

Miki mendongak, menatap mata Ara yang memancarkan ketulusan. "Makasih, Ra. Lo emang paling bisa bikin gue semangat."

"Pokoknya, kalau lo butuh bantuan apa pun, bilang aja. Mau belajar bareng, atau butuh teman ngobrol, gue selalu ada. Jangan ragu buat ngabarin gue," janji Ara, menggenggam tangan Miki erat. "Gue juga butuh lo, Mik. Kadang gue butuh perspektif lain yang lebih 'membumi' dari lo."

Miki tersenyum, senyum tipis yang jarang namun selalu menenangkan. Ia tahu, meskipun dunia mereka kini sangat berbeda, ada satu hal yang tetap sama dan tak tergoyahkan: persahabatan mereka.



Minuman dan Kisah Cinta Sang Bintang, Serta Luka Lama Miki

"Eh, ya ampun, gua sampai lupa nawarin minum!" seru Ara tiba-tiba, menepuk dahinya. Ia segera bangkit. "Tunggu bentar ya, Mik. Gua ambil minum sama cemilan dulu."

Tak lama kemudian, Ara kembali dengan nampan berisi dua gelas iced lemon tea segar, sepiring kecil macaroon warna-warni, dan cupcake cokelat. Miki melihatnya dengan mata berbinar. "Wah, makasih, Ra. Tahu aja gua lagi haus."

"Dasar! Lo kan emang tukang makan dari dulu," ledek Ara sambil menyodorkan segelas iced lemon tea pada Miki.

Setelah meneguk minumannya, Miki melirik foto yang tadi sempat ia lihat. "Ra, penasaran nih gua. Itu... yang di foto itu Andra ya? Siapa namanya lengkapnya? Kok bisa sih lo sama dia?" tanya Miki, tak bisa menahan rasa penasarannya lagi.

Ara tersenyum tipis, rona merah menjalar di pipinya. "Ih, kepo banget lo!" Ia mengambil sebuah macaroon dan menggigitnya pelan. "Namanya Andra Wijaya. Dia senior gue di sekolah, beda setahun. Dia juga lumayan sering muncul di sinetron remaja yang lagi hits itu."

"Gila, beneran artis ya," Miki menggelengkan kepala, terkesima. "Terus, gimana ceritanya kok bisa jadian sama dia? Kan lo beda banget dunianya sama dia. Dia kan artis, lo... ya lo, Ara."

Ara tertawa renyah. "Awalnya sih biasa aja, Mik. Gue kan ikut klub debat, nah dia itu ketua klub drama. Jadi sering ketemu di acara-acara sekolah atau pas latihan gabungan. Pas gladi resik, ada insiden kecil, properti panggung jatuh dan hampir kena dia. Gue reflek lari dan narik dia, jadi dia cuma kena sedikit. Dari situ deh, dia mulai sering deketin gue, ngajak ngobrol, chat terus-terusan, sampai akhirnya nembak." Ara tersenyum malu-malu. "Gue sih mikir, yaudah lah, coba aja. Dia baik, terus humble juga kok, enggak kayak yang orang bayangin artis itu sombong."

Miki mendengarkan dengan saksama, membayangkan Ara dan Andra di lingkungan sekolah yang serba gemerlap itu. Dulu, Andra Wijaya hanyalah nama yang sering disebut di televisi, namun kini ia adalah pacar sahabatnya sendiri. Rasanya masih aneh dan sulit dipercaya.

"Jadi, gitu ceritanya," kata Ara, menatap Miki. "Nah, kalau lo gimana, Mik? Yang putus itu? Kenapa sih, kok bisa di putusin? Yang di foto itu namanya siapa?"

Miki menghela napas, ekspresinya berubah sedikit masam. "Namanya Melati, Ra. Dia adik kelas gue dulu waktu SMP. Lo kan tahu sendiri gue udah sering cerita pas di rumah gua kemarin."

"Iya, gue inget lo bilang udah putus. Tapi kok bisa sih putus? Lo kan baik, Mik. Kok bisa cewek cantik kayak dia mutusin lo?" tanya Ara, penasaran.

Miki mendengus pelan. "Ya gitu deh. Katanya gua enggak pernah mentingin dia. Selalu telat kalau janjian jalan. Terus, kalau ngobrol juga enggak pernah serius, katanya. Padahal gua udah jelasin, Ra, kalau gua sibuknya kayak apa karena kerja paruh waktu. Tapi dia enggak mau dengerin." Ada sedikit nada kecewa dan lelah dalam suaranya. "Dia enggak ngertiin keadaan gue."

Ara menatap Miki dengan iba. Ia tahu betapa keras Miki berjuang selama ini. "Ya ampun, Mik. Sabar ya. Mungkin dia emang bukan yang terbaik buat lo kalau enggak bisa ngertiin keadaan lo kayak gitu."

Miki hanya mengangguk, mengaduk-aduk iced lemon tea-nya. Pembicaraan tentang Melati selalu meninggalkan rasa pahit di hatinya.


Miki yang Pecicilan dan Tangisan Ara

Ara memandangi Miki yang kini diam, teringat kembali masa-masa SD dan SMP mereka. Miki memang selalu begitu, ada saja tingkahnya yang membuat kesal, tapi juga selalu tahu cara mengembalikan senyum Ara.

"Ngomong-ngomong soal serius enggak serius," Ara memulai, tersenyum jahil. "Gue jadi inget, dulu lo itu bandelnya minta ampun, Mik. Pecicilan, suka iseng banget."

Miki mengangkat alis, ekspresinya kembali ceria. "Hahaha, iya, kan? Tapi lo suka juga kan sama keisengan gua?"

"Suka apanya! Seringnya gue nangis tau!" seru Ara, pura-pura kesal. "Inget enggak sih, waktu kelas 4 SD, lo nyembunyiin kotak pensil gue pas lagi pelajaran Matematika? Terus gua enggak bisa ngerjain soal, dimarahin Bu Guru, sampai nangis kejer."

Miki tergelak. "Oh, yang itu! Kan lo nangisnya lucu, Ra, mukanya merah semua kayak kepiting rebus."

"Ya jelas lah! Gue sampai enggak mau ngomong sama lo dua, tiga hari!" Ara melanjutkan, meskipun nada suaranya sekarang penuh tawa. "Tapi habis itu lo... ya ampun, itu paling konyol sih. Lo pakai sarung, terus kepala lo dibungkus handuk kayak kuntilanak, sambil bawa bunga melati layu, nyanyi-nyanyi di depan rumah gue minta maaf. Ketauan sama tetangga, Mik! Malu banget gue!"

Miki terbahak-bahak, mengingat kenangan itu. "Hahaha, itu jurus pamungkas gue, Ra! Kan lo langsung ketawa terus maafin gue, kan?"

"Iya sih! Mana tahan lihat lo kayak gitu!" Ara menggelengkan kepala, tawa renyah keluar dari bibirnya. "Atau pas SMP, lo ngumpetin bekal gua pas camping sekolah, terus lo pura-pura nawarin roti kering yang udah penyok. Pas gua makan, ternyata itu roti isi kecoa mainan! Langsung gua lempar ke muka lo, terus nangis enggak karuan."

"Itu juga berhasil kan, Ra? Gua langsung beliin lo mie ayam dua mangkok!" Miki membela diri, senyum usil tak lepas dari wajahnya.

Ara menatap Miki, hatinya dipenuhi kehangatan. Ya, Miki memang selalu pecicilan dan suka iseng. Tapi, Miki juga satu-satunya orang yang bisa membuatnya kesal hingga menangis, lalu membuat ia tertawa terbahak-bahak dan memaafkan dengan cara-cara paling konyol. Kenangan-kenangan itu adalah benang merah kuat yang mengikat persahabatan mereka, tak peduli seberapa jauh dunia mereka berbeda sekarang.


Janji yang Terucap Kembali

Pembicaraan mereka berlanjut, beralih ke masa depan yang terasa begitu dekat namun juga penuh ketidakpastian. Ara bercerita tentang impiannya kuliah di luar negeri, mengambil jurusan desain fesyen, sesuai dengan minatnya yang kini semakin kuat. Miki mendengarkan dengan seksama, meskipun dalam hati ia tahu impiannya sendiri terasa jauh lebih berat untuk diwujudkan.

"Kalau lo, Mik? Mau kuliah jurusan apa?" tanya Ara, menatap Miki dengan sorot mata penuh harap.

Miki menghela napas. "Gue sih pengennya ambil teknik informatika, Ra. Tapi ya itu, mikirin biayanya aja udah pusing." Ia menunjuk tumpukan buku pelajaran tebal di meja Ara. "Gue juga harus belajar lebih giat lagi biar bisa dapet beasiswa. Itu satu-satunya jalan."

Ara mengangguk, memahami beban yang dipikul Miki. "Gue doain yang terbaik, Mik. Pasti bisa kok. Lo kan pinter, cuma emang situasinya aja yang beda." Ia memandang Miki dengan senyum meyakinkan. "Pokoknya, kalau ada apa-apa, jangan sungkan minta tolong ke gue atau orang tua gue, ya. Ingat, kita ini kan sahabat sejati."

"Makasih banyak, Ra. Lo emang sahabat terbaik," balas Miki tulus, senyumnya mengembang. Perkataan Ara selalu berhasil menenangkan hatinya.

Tak terasa waktu sudah menjelang sore. Sinar matahari senja menembus jendela kamar Ara, menciptakan bias cahaya yang indah. Miki melirik jam di pergelangan tangannya. "Wah, udah sore nih, Ra. Gua harus pamit. Nanti Ibu nyariin."

"Yah, cepet banget," kata Ara, sedikit lesu. "Padahal masih banyak yang mau gua ceritain."

"Nanti aja dilanjutin di chat," usul Miki. "Atau lo main lagi ke rumah gua. Ibu pasti seneng banget."

"Pasti! Lo juga, jangan lupa janji minggu depan!" seru Ara, menegaskan. "Awas aja kalau enggak datang!"

Miki tersenyum. "Iya, bawel! Pasti datang kok."

Miki bangkit, dan Ara mengantarnya sampai ke gerbang. Mereka berpamitan dengan Ayah dan Ibu Ara, yang sekali lagi berpesan agar Miki tidak sungkan datang lagi. Miki berjalan keluar dari perumahan elit itu dengan perasaan campur aduk. Ada rasa syukur atas persahabatan mereka yang tak lekang waktu, sekaligus beban yang terasa semakin nyata ketika ia kembali ke dunianya. Namun, di dalam hatinya, janji Ara untuk selalu ada memberinya kekuatan.


Lima Tahun Berlalu: Jalan Berbeda, Hati yang Terikat

Lima tahun berlalu begitu saja, mengubah banyak hal dalam hidup Ara dan Miki, namun tidak dengan ikatan persahabatan mereka. Setelah lulus SMA, jalan hidup mereka memang terpisah jauh.

Ara, dengan kecerdasan dan dukungan penuh dari keluarganya, berhasil mewujudkan mimpinya. Ia diterima di salah satu universitas bergengsi di luar negeri, mengambil jurusan desain fesyen seperti yang ia cita-citakan. Selama empat tahun di sana, Ara tak hanya fokus pada studinya, tetapi juga aktif mengikuti berbagai pameran dan kompetisi desain, mengukir namanya di industri fesyen. Setelah lulus dengan predikat cum laude, ia sempat bekerja di sebuah butik ternama di Paris selama setahun, mengumpulkan pengalaman dan memperluas jaringannya. Kini, Ara kembali ke Indonesia dan telah berhenti dari pekerjaannya karena akan segera menikah.

Sementara itu, bagi Miki, melanjutkan pendidikan tinggi adalah impian yang harus ia tunda. Setelah lulus SMA, beban biaya kuliah menjadi kendala utama. Tanpa berpikir panjang, Miki memutuskan untuk tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Ia memilih untuk lebih fokus membantu Ibu Wati menjual nasi uduk mereka. Usaha nasi uduk Ibu Wati memang sudah dikenal di lingkungan sekitar, namun hasilnya hanya cukup untuk makan sehari-hari dan kebutuhan pokok lainnya. Selain itu, di siang hari, Miki juga mencari nafkah sebagai pengemudi ojek online. Panas terik dan hujan seringkali menjadi teman setia perjalanannya. Setiap hari, ia berjuang di jalanan ibu kota, mengantarkan penumpang atau pesanan makanan, demi menambah penghasilan keluarga dan memastikan Ibunya tidak terlalu lelah. Motor matic kesayangannya menjadi saksi bisu setiap tetes keringat dan perjuangannya.

Meski kesibukan dan jarak memisahkan, komunikasi antara Ara dan Miki tidak pernah putus. Sesekali mereka bertukar pesan, berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing. Ara selalu menyempatkan diri menghubungi Miki saat ia liburan ke Indonesia, atau bahkan mengirimkan postcard dari negara yang ia kunjungi. Miki pun selalu antusias mendengarkan cerita-cerita Ara tentang dunia barunya yang penuh gemerlap.


Undangan Bahagia dari Sang Sahabat

Suatu sore yang terik, Miki baru saja pulang mengojek. Keringat masih membasahi kausnya ketika ia melihat sebuah mobil sedan mewah terparkir di depan rumahnya yang sederhana. Jantung Miki berdegup kencang. Ia mengenali mobil itu; itu adalah mobil keluarga Ara.

Benar saja, begitu ia melangkah masuk, Ara sudah duduk di ruang tamu, berbincang akrab dengan Ibu Wati. Ara terlihat jauh lebih dewasa dan anggun. Rambut cokelat madunya kini tergerai lebih panjang, dan ia mengenakan gaun simpel yang tetap memancarkan aura kemewahan. Senyumnya merekah begitu melihat Miki.

"Miki! Akhirnya lo pulang juga!" seru Ara, bangkit dari duduknya dan langsung memeluk Miki erat. Pelukan yang hangat, penuh kerinduan, namun Miki terkesiap, merasa sedikit sungkan. Ia tidak menyangka Ara akan memeluknya seakrab itu setelah sekian lama, apalagi dengan penampilan Ara yang begitu berbeda sekarang. Meski begitu, ia tetap membalas pelukan sahabatnya itu.

"Ara? Kok lo bisa di sini?" Miki terkejut sekaligus senang. "Gue kira lo masih di luar negeri."

"Kan udah bilang mau pulang," jawab Ara, melepas pelukan dan menatap Miki lekat. "Gue ke sini mau kasih kabar bahagia sekaligus undang lo, Mik."

Ibu Wati tersenyum. "Iya, Nak Miki. Neng Ara mau kasih kabar baik."

Rasa penasaran menyelimuti Miki. "Kabar apa, Ra? Jangan bikin penasaran dong."

Ara tersenyum malu-malu, kemudian mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil dari tasnya. Ia membuka kotak itu, dan di dalamnya terdapat sepasang cincin berlian yang berkilauan. "Gue... gue mau nikah, Mik."

Miki terdiam sesaat, mencerna perkataan Ara. Wajahnya menunjukkan campuran terkejut, senang, dan sedikit... entah apa. "Nikah? Sama siapa, Ra? Andra Wijaya?"

Ara mengangguk, rona merah kembali menghiasi pipinya. "Iya, sama Andra. Kami udah lamaran kemarin. Dan ini..." Ara mengeluarkan selembar kartu undangan yang didesain elegan dengan hiasan emas. "...ini undangan buat lo. Gue pengen banget lo datang, Mik."

Miki mengambil undangan itu. Matanya menyusuri nama Ara dan Andra yang tercetak indah. Ada perasaan aneh merayapi hatinya. Bahagia untuk sahabatnya, tentu saja. Namun, di sisi lain, ia merasakan kesenjangan yang semakin lebar antara dunia mereka. Ara, yang kini akan menikah dengan seorang artis terkenal, dan dirinya, yang masih berjuang di jalanan sebagai ojek online.

"Selamat ya, Ra," ucap Miki akhirnya, berusaha keras agar suaranya terdengar tulus. Ia memaksakan seulas senyum. "Gue... gue pasti datang kok."

Ara tersenyum cerah, tidak menyadari gejolak perasaan yang Miki rasakan. "Makasih banyak, Mik! Pasti datang ya! Lo kan sahabat terbaik gue!"


Reuni di Pesta Pernikahan

Dua minggu kemudian, di sebuah ballroom mewah hotel bintang lima, Miki tiba di pesta pernikahan Ara dan Andra Wijaya. Ia mengenakan kemeja batik terbaiknya, yang sudah sedikit lusuh, dan celana bahan yang sudah mulai memudar warnanya. Meskipun begitu, ia sudah berusaha tampil serapi mungkin. Gemerlap lampu kristal, aroma bunga segar yang mahal, dan gaun-gaun indah para tamu yang berlalu-lalang, membuat Miki merasa seperti masuk ke dunia yang berbeda.

Ia melihat Ara berdiri anggun di pelaminan bersama Andra, mengenakan gaun pengantin putih yang berkilauan. Mereka tampak seperti pasangan sempurna dari sebuah film romantis. Miki tersenyum, merasakan kebahagiaan tulus untuk sahabatnya.

Saat mencari tempat duduk, Miki dikejutkan oleh suara-suara familiar. "Miki! Gila, lo datang juga!"

Itu adalah Rio dan Doni, teman sebangkunya sejak SD hingga SMP. Wajah mereka langsung berseri-seri melihat Miki. Mereka segera menghampiri, memeluk Miki erat.

"Sumpah, Mik, udah lama banget kita enggak kumpul!" seru Rio, menepuk bahu Miki. "Gimana kabar lo, bro?"

"Baik, Rio, Don. Kalian sendiri gimana?" tanya Miki, ikut bersemangat.

Mereka pun mulai bercerita tentang kehidupan masing-masing. Rio kini bekerja di sebuah bank, sementara Doni sudah memiliki usaha coffeeshop kecil. Obrolan mereka penuh tawa, mengenang masa-masa sekolah yang penuh kenakalan dan kekonyolan.

Tak lama, beberapa teman lama lainnya ikut bergabung: Fani, si juara kelas yang kini menjadi dokter muda, Dina, yang dulu suka menangis karena diisengi Miki, dan Adit, si pembuat onar yang sekarang jadi seniman tato. Suasana mendadak riuh dengan nostalgia.

"Inget enggak sih, waktu Miki pura-pura kesurupan di kelas pas pelajaran Bu Siti? Sampai Bu Siti pingsan saking takutnya!" celetuk Fani, tawa pecah di antara mereka.

"Gila, itu kejadian paling parah sih, Mik! Lo sampai diskors seminggu kan?" timpal Adit, menunjuk Miki.

Miki hanya tertawa, mengenang tingkahnya sendiri. "Hahaha, kan emang Bu Siti galaknya parah banget waktu itu. Jadi harus dikasih pelajaran."

Mereka juga bercerita tentang Ara yang dulu sering jadi korban keisengan Miki, tapi selalu memaafkan. "Clara dulu kan sering banget nangis gara-gara lo, Mik. Tapi kalau lo yang bikin nangis, pasti langsung baikan lagi," kata Dina, tersenyum.

"Ya, kan ada jurus jitu gue!" sahut Miki bangga.

Namun, di tengah keseruan itu, Miki menyadari ada beberapa teman lain yang dulu dekat dengan mereka, seperti Bima dan Putri, yang hanya melambaikan tangan dari kejauhan. Mereka terlihat canggung untuk mendekat, seolah ada sekat tak terlihat yang memisahkan. Bima kini adalah seorang pengusaha sukses, sementara Putri seorang sosialita yang sering muncul di acara-acara fashion. Mereka berinteraksi dengan teman-teman lain yang latar belakangnya mirip, di sudut ruangan yang lebih sepi.

"Kok Bima sama Putri enggak gabung sih?" bisik Miki pada Rio.

Rio mengangkat bahu. "Udah beda jalur, Mik. Mereka kan sekarang pergaulannya udah beda banget. Susah nyambung lagi."

Miki mengerti. Kesenjangan sosial itu nyata, bahkan di tengah pesta pernikahan sahabat terbaiknya. Namun, ia tidak membiarkan hal itu merusak suasana. Ia tetap larut dalam tawa dan obrolan bersama Rio, Doni, Fani, Dina, dan Adit. Bagi Miki, kehadiran teman-teman lama yang tulus ini jauh lebih berharga daripada status sosial apa pun. Mereka adalah bukti bahwa persahabatan sejati tak lekang oleh waktu dan perbedaan.


Momen di Pelaminan

Setelah beberapa saat, Miki memutuskan untuk menghampiri Ara di pelaminan. Ia menyeruak di antara kerumunan tamu yang ingin bersalaman dan berfoto dengan pasangan pengantin. Ketika gilirannya tiba, Ara melihatnya, matanya langsung berbinar.

"Miki! Akhirnya lo ke sini!" seru Ara, senyumnya begitu cerah. Ia bahkan sedikit melupakan formalitas, dan hampir saja memeluk Miki lagi di depan banyak orang, namun ia menahan diri.

Miki tersenyum. "Selamat ya, Ra. Lo cantik banget hari ini."

"Makasih, Mik," balas Ara, pipinya merona. Ia melirik Andra di sampingnya. "Andra, ini Miki, sahabat terbaik aku dari kecil. Yang selalu aku ceritain itu."

Andra tersenyum ramah dan mengulurkan tangannya. "Hai, Miki. Senang bisa ketemu langsung. Andra Wijaya."

Miki menjabat tangan Andra. "Miki. Senang juga bisa ketemu lo." Ia sedikit gugup berhadapan langsung dengan artis yang sering dilihatnya di televisi itu.

Ara kemudian membisikkan sesuatu pada Miki, "Pokoknya lo harus datang ke acara after party ya! Jangan langsung pulang!"

Miki mengangguk. "Siap, Ra!"

Setelah berfoto sebentar, Miki mundur, memberi kesempatan pada tamu lain. Ia merasakan kehangatan yang sama seperti saat mereka masih kecil dulu, meskipun kini mereka berdiri di dua dunia yang sangat berbeda.


Batal ke After Party dan Reuni Dadakan di Rumah Miki

Setelah berfoto dengan Ara dan Andra, Miki kembali berkumpul dengan Rio, Doni, Fani dan Dina. Obrolan mereka semakin hangat, diselingi candaan dan tawa. Beberapa kali, mereka melirik ke arah panggung tempat DJ mulai memutar musik untuk acara after party.

"Gimana, Mik? Jadi ikut after party?" tanya Rio, sambil meneguk minumannya.

Miki melirik ke sekeliling, melihat beberapa tamu mulai bergerak ke area after party yang lebih ramai. "Ara nyuruh gue datang sih."

"Ah, enggak usah lah, Mik," sahut Doni. "Kita mah mana betah di sana. Musiknya jedag-jedug, orangnya pada high class. Mending kita ngumpul aja."

Fani mengangguk setuju. "Iya, gue juga udah pegel pake heels dari tadi. Mending kita ngobrol santai aja."

"Gimana kalau kita cabut aja dari sini?" usul Adit tiba-tiba. "Nongkrong di tempat biasa aja."

Rio dan Doni langsung memandang Miki dengan mata berbinar. "Gimana, Mik? Ke rumah lo aja? Udah lama juga kita enggak main ke sana."

Miki sedikit terkejut dengan ide mendadak itu. Wajahnya sedikit pucat. "Ke rumah gue? Aduh, gue... gue belum siap apa-apa, teman-teman. Di rumah cuma ada nasi uduk doang." Ia teringat kondisi rumahnya yang sederhana, tidak seperti tempat mewah ini. Ia merasa tidak enak hati.

Namun, teman-temannya justru tertawa. "Santai aja kali, Mik!" kata Dina. "Kita enggak butuh yang mewah-mewah kok. Yang penting bisa ngumpul bareng lo."

"Lagian, kita bisa beli minum sama cemilan di minimarket depan gang rumah lo kan?" tambah Rio, menepuk bahu Miki meyakinkan. "Enggak usah repot-repot, Mik. Kita ke sana cuma mau nostalgia aja bareng lo."

Miki menatap wajah tulus teman-temannya. Rasa sungkan yang sempat menyelimutinya perlahan mencair. Mereka memang sahabat sejati yang tak peduli dengan harta atau status. "Oke deh, kalau gitu. Tapi beneran ya, jangan ada yang protes kalau rumah gua berantakan."

"Beres! Nanti kita bantuin beres-beres juga," timpal Doni sambil tertawa.

Dengan semangat yang membara, Miki, Rio, Doni, Fani, Dina, dan Adit diam-diam menyelinap keluar dari pesta pernikahan mewah tersebut. Mereka meninggalkan gemerlap lampu dan musik keras, menuju sebuah tempat yang jauh lebih sederhana, namun penuh kehangatan dan kenangan: rumah Miki.


Album Kenangan yang Berbicara Hingga Larut Malam

Setibanya di rumah Miki, suasana langsung berubah. Rio dan Doni langsung menyerbu minimarket di ujung gang, kembali dengan tumpukan minuman ringan, keripik, dan beberapa bungkus mie instan. Sementara itu, Fani, Dina, dan Adit dengan sigap membantu Ibu Wati yang terkejut namun senang dengan kedatangan para tamu, merapikan ruang tamu yang memang apa adanya. Tak lama, mereka semua sudah duduk lesehan di karpet ruang tamu Miki, dikelilingi cemilan dan minuman.

"Aduh, jadi nostalgia banget gini ya!" seru Dina, membuka sebotol minuman. "Udah berapa tahun sih kita enggak ngumpul kayak gini?"

"Lima tahun lebih, Din! Sejak lulus SMA, kita pada sibuk sendiri-sendiri," jawab Rio.

"Mik, lo punya album foto lama enggak sih?" tanya Fani tiba-tiba. "Yang waktu kita masih SD atau SMP gitu."

Miki berpikir sebentar. "Ada kayaknya di lemari kamar. Bentar, gua cariin." Ia pun beranjak menuju kamarnya.

Tak lama kemudian, Miki kembali membawa sebuah album foto tebal yang sampulnya sudah sedikit usang. Begitu album itu dibuka, tawa riuh langsung memenuhi ruangan. Foto-foto masa kecil mereka terpampang jelas: wajah-wajah polos dengan seragam SD yang kebesaran, rambut poni berantakan, hingga gaya-gaya konyol saat SMP.

"Lihat ini! Ini si Rio, giginya ompong satu!" Adit menunjuk sebuah foto dengan jari telunjuknya, membuat Rio pura-pura protes.

"Wah, ini si Dina waktu nangis gara-gara Miki nyebarin kecoa mainan di tasnya!" giliran Miki yang menggoda, menunjuk foto Dina dengan pipi sembap.

"Ih, Miki! Jangan diungkit-ungkit lagi!" Dina memukul lengan Miki pelan, tapi ikut tertawa.

Ada foto mereka semua berlima, lengkap dengan Ara, saat merayakan ulang tahun salah satu dari mereka, dengan kue tart sederhana dan topi kerucut warna-warni. Ada juga foto saat mereka melakukan study tour, dengan ekspresi lelah tapi bahagia. Setiap lembar foto membuka memori baru, memicu gelombang tawa, cerita, dan candaan yang tak ada habisnya.

"Gila ya, kita dulu bener-bener enggak peduli penampilan," komentar Fani, menunjuk fotonya sendiri dengan kacamata besar dan rambut kepang dua yang kaku.

"Miki juga, rambutnya jabrik kayak landak," ledek Doni, menunjuk foto Miki dengan gaya rambut khasnya.

Miki hanya tersenyum, hatinya menghangat. Di tengah semua perbedaan yang kini ada, melihat foto-foto ini mengingatkan mereka bahwa ada fondasi kuat yang telah terbentuk sejak lama. Kebersamaan mereka, kenangan pahit manis, dan tawa lepas itu adalah harta tak ternilai. Kesenjangan sosial yang sempat terasa di pesta pernikahan Ara seolah sirna di rumah sederhana Miki, digantikan oleh kehangatan persahabatan yang tulus.


Terlelap dalam Nostalgia

Tak terasa waktu terus berjalan. Malam semakin larut, ditandai dengan suara jangkrik yang mulai bersahutan di luar. Ibu Wati sudah beberapa kali keluar untuk memastikan mereka tidak kelaparan, bahkan sempat menghidangkan sepiring besar nasi uduk sisa jualan sore tadi yang langsung ludes diserbu. Obrolan mereka tak kunjung reda, dari nostalgia masa lalu, berlanjut ke cerita-cerita lucu pekerjaan masing-masing, hingga impian-impian yang belum tercapai.

Satu per satu, teman-teman Miki mulai menyerah pada kantuk. Fani yang awalnya paling bersemangat bercerita, kini sudah bersandar di bahu Adit, terlelap dengan mulut sedikit terbuka. Doni sudah rebahan di karpet dengan bantal seadanya, napasnya teratur. Dan yang paling lucu, Dina yang tertidur pulas, kakinya tanpa sadar mendarat tepat di punggung Rio yang juga sudah terlelap di sebelahnya. Rio bergerak sedikit, tapi tak sampai terbangun.

Miki hanya tersenyum, menatap teman-temannya yang terkapar di lantai ruang tamu. Ia meraih ponselnya, memotret pemandangan lucu itu. Kaki Dina yang menempel di punggung Rio, Doni yang mendengkur pelan, dan Fani yang terlihat damai. Ia hampir saja terbahak, tapi menahan diri agar tidak membangunkan mereka. Perasaannya campur aduk: haru, bahagia, dan sedikit melankolis. Malam ini, mereka semua kembali menjadi anak-anak tanpa beban, tanpa memikirkan status atau pekerjaan. Miki merasa sangat bersyukur memiliki sahabat-sahabat yang tidak pernah berubah, yang selalu bisa membuatnya merasa diterima sepenuhnya.

Ia kemudian bergeser, mencari posisi nyaman di antara mereka, membiarkan kantuk menjemputnya. Malam itu, rumah sederhana Miki menjadi saksi bisu kehangatan persahabatan yang abadi.


Pindah Kamar di Tengah Malam

Pukul tiga dini hari. Miki terbangun. Seluruh badannya terasa pegal karena tidur di lantai, ditambah tawa yang tak berhenti sejak tadi malam. Ia melihat sekeliling. Teman-temannya masih terlelap. Doni meringkuk seperti udang. Adit mendengkur pelan. Dan Rio, masih dengan kaki Dina di punggungnya, terlihat nyenyak tak terganggu.

Miki tersenyum kecil. Ia tak tega membangunkan mereka semua, tapi ia juga tak bisa membiarkan Fani dan Dina tidur di ruang tamu bersama teman-teman cowoknya. Pelan-pelan, Miki menggeser tubuhnya. Ia berjalan menghampiri Fani terlebih dulu.

"Fani... Fani," bisik Miki pelan sambil menepuk bahu Fani. "Bangun, Fan. Pindah ke kamar gue aja, yuk."

Fani menggeliat, matanya mengerjap-ngerjap. "Hmm... udah pagi ya, Mik?" suaranya serak.

"Belum, baru jam tiga. Ayo, bangunin Dina juga. Kalian tidur di kamar gue aja," kata Miki, membantu Fani duduk.

Fani pun mengangguk, masih setengah sadar. Ia kemudian mencoba membangunkan Dina. "Din... Dina, bangun. Pindah kamar."

Dina, yang kakinya masih menempel di punggung Rio, sedikit terganggu. "Aduh, apaan sih," gumamnya. Namun, begitu ia sadar Fani yang membangunkannya, ia ikut terbangun.

Miki membantu Dina melepaskan kakinya dari punggung Rio dengan hati-hati. Rio hanya menggeliat kecil tanpa sadar. Fani dan Dina, dengan mata yang masih berat, mengikuti Miki ke kamarnya. Kamar Miki tidak terlalu besar, hanya ada satu ranjang dan lemari pakaian.

"Maaf ya, cuma ada kasur ini," kata Miki. "Kalian tidur aja di sini. Gue tidur di luar aja."

"Enggak apa-apa, Mik. Daripada kalian enggak nyaman," tambahnya.

Fani dan Dina saling pandang, mereka tahu Miki memang selalu begitu, memikirkan orang lain. Mereka mengangguk pelan, terlalu mengantuk untuk berdebat lebih lanjut. Mereka pun segera merebahkan diri di ranjang, langsung terlelap kembali.

Miki kemudian kembali ke ruang tamu. Ia mengambil bantal dan selimut seadanya, lalu merebahkan dirinya di karpet. Ia memandang langit-langit yang gelap, mendengarkan dengkuran pelan teman-temannya. Sebuah senyum tipis terukir di wajahnya. Meskipun harus tidur di luar, ia merasa puas karena teman-teman perempuannya bisa tidur lebih nyaman. Malam itu, Miki merasa sangat bersyukur. Persahabatan mereka adalah harta tak ternilai yang mampu melewati segala perbedaan.


Telepon dari Sang Pengantin Baru

Belum lama setelah teman-temannya pulang, ponsel Miki berdering. Nama Clara muncul di layar. Miki tersenyum dan mengangkatnya.

"Halo, Ra? Gimana pestanya semalem?" sapa Miki.

Di seberang sana, suara Clara terdengar sedikit lesu, meski ada nada ceria yang berusaha ia pertahankan. "Baik, Mik. Tapi... lo kok enggak jadi datang ke after party sih? Gua cariin lo sama anak-anak tapi enggak ada."

Miki terkekeh pelan. "Maaf banget, Ra. Tadinya mau datang kok, tapi... ya, biasalah anak-anak, enggak biasa di tempat kayak gitu. Mereka ngajak cabut duluan."

"Cabut kemana?" tanya Clara, penasaran.

"Ke rumah gue," jawab Miki jujur. "Mereka pada enggak betah di after party lo. Katanya mending ngumpul santai. Jadi, semalem kita reuni dadakan di sini. Pada nginep juga mereka di ruang tamu."

Terdengar tawa kecil dari Clara. "Hahaha, ya ampun, Miki! Beneran? Aduh, kenapa enggak bilang sih? Kan bisa gua susulin kalian."

"Enggak enak, Ra. Lo kan lagi sibuk sama pesta pernikahan lo," balas Miki. "Tapi seru banget kok, Ra. Kita buka album foto lama, terus pada nostalgia masa SD sama SMP. Bahkan Dina sama Fani sampai nendang-nendang Rio sama Adit pas bangun tidur tadi pagi." Miki tak bisa menahan tawanya saat menceritakan adegan lucu itu.

Clara tertawa lebih keras. "Ya ampun! Masih aja ya mereka kayak gitu! Gue jadi nyesel enggak ikut! Pasti seru banget!" Suara kekecewaan di awal kini berganti dengan nada antusiasme. "Kangen banget sama kalian semua."

"Makanya, Ra, nanti kalau udah enggak sibuk, main lagi ke sini. Ibu juga kangen banget sama lo," ajak Miki.

"Pasti, Mik! Nanti gue kabarin. Ini Andra juga mau pamit ke lo, Mik." Terdengar suara bisik-bisik, lalu suara Andra terdengar.

"Halo, Mik. Selamat pagi," sapa Andra ramah. "Makasih ya udah datang kemarin. Maaf juga kalau acara after party kami enggak sesuai vibe kalian. Nanti kalau ada kesempatan, kita kumpul bareng di tempat yang lebih santai ya."

"Siap, Ndra. Selamat menempuh hidup baru ya. Semoga bahagia selalu," ucap Miki tulus.

Setelah percakapan singkat dengan Andra, Clara kembali di telepon. "Gimana, Mik? Lo beneran enggak apa-apa kan? Jangan ngerasa sungkan ya sama gue. Meskipun gue udah nikah dan punya kehidupan yang beda, lo tetap sahabat terbaik gue."

Miki tersenyum, hatinya menghangat mendengar ketulusan Clara. "Iya, Ra, gue ngerti kok. Santai aja. Lo juga, selamat ya. Semoga bahagia sama Andra."

"Makasih banyak, Mik. Kalau gitu gue tutup dulu ya. Salam buat Ibu. Sampai ketemu lagi!"

Telepon ditutup. Miki menatap ponselnya dengan senyum lebar. Meski di awal ada sedikit kekecewaan dari Ara, kini ia lega Ara memahami situasi. Jarak dan perbedaan status memang ada, tapi persahabatan sejati mereka tetap tak tergantikan.

Senyum di wajah Miki berangsur memudar setelah telepon dari Clara berakhir. Ada beban yang tiba-tiba terasa di dadanya. Ada satu hal besar yang belum ia ceritakan kepada siapa pun, bahkan kepada teman-teman terdekatnya yang baru saja bermalam di rumahnya. Sebuah rahasia yang ia simpan rapat-rapat.


Miki akan berangkat ke Jepang.

Kesempatan itu datang tiba-tiba, dan ia merahasiakannya. Bukan karena tidak percaya pada teman-temannya, tapi karena semua ini terasa begitu besar dan mendadak. Beberapa minggu lalu, kakak iparnya yang bekerja di sebuah perusahaan manufaktur di Jepang menawarkan Miki sebuah peluang. Ada program pelatihan dan magang di sana, dengan kemungkinan bekerja tetap jika performanya bagus. Yang lebih mengejutkan lagi, kakak iparnya bersedia meminjamkan modal awal untuk keberangkatan Miki, termasuk biaya tiket dan akomodasi awal. Itu adalah modal yang sangat besar, lebih dari yang bisa ia kumpulkan seumur hidupnya dari hasil ojek online dan nasi uduk.

Miki sudah berpikir keras. Ini adalah kesempatan emas untuk mengubah hidupnya, membantu Ibu Wati lebih baik, dan mungkin mengejar impian yang selama ini tertunda. Namun, ia juga merasa cemas. Meninggalkan semua yang ia kenal, termasuk sahabat-sahabatnya, ke tempat yang benar-benar asing.

Ia menatap kalender di dinding kamarnya. Tinggal dua minggu lagi. Segala dokumen sudah diurus, tiket sudah di tangan. Hanya Ibu Wati dan kakak iparnya yang tahu. Ia ingin memberitahu teman-temannya, tapi entah mengapa, momennya tidak pernah terasa tepat. Terutama setelah melihat betapa senangnya mereka berkumpul semalam, melepas rindu setelah sekian lama. Miki tidak ingin merusak kebahagiaan itu dengan kabar perpisahan yang mungkin akan membuat mereka sedih. Apalagi Clara, yang baru saja menikah dan sedang berbahagia.

Miki menghela napas. Kapan waktu yang tepat untuk memberitahu mereka? Atau haruskah ia pergi begitu saja, meninggalkan surat perpisahan? Pikirannya berkecamuk. Ia tahu ini adalah keputusan besar, dan konsekuensinya juga besar.


Perpisahan yang Sunyi dan Awal yang Baru di Kanazawa

Waktu berlalu begitu cepat. Dua minggu berlalu tanpa Miki sempat memberitahukan niatnya kepada teman-temannya. Ia terlalu sibuk mempersiapkan keberangkatannya, dan setiap kali ia ingin bicara, rasanya ada sesuatu yang menahan. Mungkin rasa takut akan perpisahan, atau mungkin hanya ingin mereka mengingatnya seperti saat terakhir mereka bersama—penuh tawa dan kenangan lama.

Pada hari keberangkatannya, pagi-pagi sekali, Miki hanya pamit kepada Ibu Wati dengan pelukan erat dan tangis haru. "Miki janji akan balik dengan sukses, Bu," bisiknya, meyakinkan ibunya dan dirinya sendiri. Ibu Wati mengangguk, air mata membasahi pipinya, namun senyum bangga tak lepas dari bibirnya. Ia tahu, putranya sedang mengejar masa depan yang lebih baik.

Dengan koper seadanya dan hati penuh harapan sekaligus kecemasan, Miki terbang melintasi benua. Ia mendarat di Kanazawa, sebuah kota di Prefektur Ishikawa, Jepang, yang terkenal dengan taman-taman indahnya dan kerajinan tangan tradisionalnya. Suasana kota itu jauh berbeda dari Jakarta yang hiruk pikuk. Dinginnya udara musim gugur langsung menyergapnya, tapi rasa penasaran akan kehidupan baru lebih mendominasi.

Di sana, ia disambut oleh beberapa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) lain yang sudah lebih dulu tiba. Mereka adalah sekelompok anak muda dari berbagai daerah di Indonesia, dengan latar belakang dan impian yang berbeda-beda, namun disatukan oleh nasib yang sama: merantau demi mencari penghidupan yang lebih baik. Ada Budi dari Surabaya, yang punya mimpi buka bengkel motor sendiri. Ada Siti dari Bandung, yang ingin mengirim orang tuanya naik haji. Dan ada Dodi dari Medan, yang bercita-cita punya restoran Padang di Indonesia.

Miki segera beradaptasi dengan kehidupan baru bersama mereka. Mereka tinggal di asrama sederhana yang disediakan perusahaan, berbagi kamar, berbagi cerita, dan berbagi rindu akan kampung halaman. Bahasa Jepang masih menjadi kendala utama, tapi mereka saling membantu. Makanan halal, perbedaan budaya, hingga sistem kerja yang disiplin menjadi tantangan yang harus mereka hadapi setiap hari. Namun, kebersamaan dengan sesama TKI membuat semua terasa lebih ringan. Mereka adalah keluarga baru Miki di negeri sakura, tempat ia memulai lembaran baru dalam hidupnya, masih dengan rahasia yang tersimpan rapat dari teman-teman lamanya.


Tahun Pertama di Jepang dan Kejutan di Rumah Miki

Satu tahun berlalu sejak Miki meninggalkan Indonesia. Selama itu, ia jarang sekali menghubungi teman-temannya, hanya sesekali membalas pesan singkat mereka, tidak pernah bercerita detail tentang keberadaannya. Ia ingin mereka tidak khawatir dan fokus pada kehidupan masing-masing.

Minggu itu, Clara, bersama Rio, Doni, Fani, Dina, dan Adit, berencana untuk kumpul lagi di rumah Miki. Mereka sudah kangen dengan suasana rumah Miki dan nasi uduk Ibu Wati. Sesampainya di sana, mereka mendapati pintu rumah terbuka sedikit. Ibu Wati sedang sibuk menata dagangan nasi uduknya.

"Assalamualaikum, Ibu Wati!" sapa Clara dengan senyum cerah.

Ibu Wati terkejut melihat rombongan anak-anak muda itu. "Waalaikumsalam! Ya ampun, Nak Clara, Nak Rio, Nak Doni, Fani, Dina, Adit! Kok pada ke sini? Ada apa?"

"Kita mau ngumpul, Bu! Kangen nasi uduk Ibu sama Miki," jawab Rio, mewakili yang lain.

Wajah Ibu Wati langsung berubah. Senyumnya meredup, digantikan ekspresi sedih. "Miki... Miki udah enggak ada di sini, Nak."

Mereka semua terdiam. "Maksud Ibu? Miki ke mana, Bu?" tanya Doni, mulai cemas.

Dengan suara bergetar, Ibu Wati menceritakan semuanya. "Miki... sudah setahun ini Miki merantau, Nak. Dia kerja di Jepang. Dia dapat kesempatan dari kakak iparnya. Maaf, Miki memang sengaja tidak cerita sama kalian. Dia tidak mau kalian sedih."

Seketika, suasana menjadi hening. Teman-teman Miki saling pandang, raut wajah mereka menunjukkan keterkejutan, campur aduk dengan rasa tidak percaya. Mereka tidak menyangka Miki akan menyimpan rahasia sebesar ini. Clara, yang paling tampak terpukul, hanya terdiam, matanya mulai berkaca-kaca.

"Jepang? Dia beneran ke Jepang, Bu?" tanya Fani, masih syok.

"Iya, Nak. Di Kanazawa," jawab Ibu Wati.

"Boleh... boleh saya minta nomor teleponnya, Bu?" pinta Clara, suaranya tercekat. Ibu Wati mengangguk dan menuliskan nomor Miki di secarik kertas.

Clara kemudian melangkah perlahan menuju kamar Miki. Pintu kamarnya terbuka. Di dalamnya, terlihat kasur Miki tertutup rapi dengan seprai yang tertutup plastik, seolah tidak pernah digunakan. Ruangan itu tampak kosong, tidak ada barang pribadi Miki yang berarti, hanya menyisakan kesan ditinggalkan. Clara memandangi kasur itu, bayangan-bayangan masa kecil mereka berputar di benaknya. Miki yang tidur di kasur itu, mereka yang sering kumpul dan bercanda di kamar ini.

Setelah beberapa saat terdiam, Clara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia mengeluarkan ponselnya dan memasukkan nomor Miki. Dengan tangan sedikit bergetar, ia menekan tombol panggil.

Di ruang tamu, Rio, Doni, Fani, Dina, dan Adit hanya terdiam. Mereka bisa mendengar suara Clara yang bergetar di dalam kamar. Mereka saling pandang, memahami bahwa memang Clara lah yang paling dekat dengan Miki. Kepergian Miki yang dirahasiakan ini pasti sangat membekas di hati Clara.


Panggilan Telepon (Clara & Miki)

Nada tunggu telepon berdering... sekali... dua kali... tiga kali...

Miki: (Suara sedikit kaget, melihat nomor tak dikenal dari Indonesia) "Halo?"

Clara: (Suaranya serak dan bergetar menahan tangis) "Mi... Miki?"

Miki: (Langsung mengenali suara itu, terkejut) "Clara? Ya ampun, Ra! Lo... kok lo bisa tahu nomor gue?"

Clara: (Air mata mulai menetes, namun mencoba tegas) "Kenapa lo pergi, Mik? Kenapa lo enggak bilang sama kita semua? Kita semua nyariin lo, kenapa lo tiba-tiba hilang aja?"

Miki: (Merasa bersalah, suaranya pelan) "Maaf, Ra. Gue... gue enggak bermaksud gitu. Gue cuma enggak mau bikin kalian sedih. Semuanya mendadak banget. Ini kesempatan buat gue, Ra."

Clara: "Kesempatan? Lo tahu kan kita sahabat, Mik! Kita bisa ngerti! Lo kayak hantu, tahu-tahu hilang. Lo di mana sekarang? Lo baik-baik aja kan di sana?"

Miki: (Menghela napas, berusaha menenangkan) "Gue baik-baik aja, Ra. Gue di Kanazawa, Jepang. Udah setahun ini gue di sini. Kerja di pabrik. Gue tinggal sama teman-teman TKI lain. Semua sehat, jangan khawatir."

Clara: (Sedikit lega mendengar Miki baik-baik saja, tapi masih dengan nada kesal bercampur rindu) "Setahun, Mik? Setahun! Lo tega banget enggak ngabarin kita? Lo tahu enggak kita semua kangen banget sama lo? Rio, Doni, Fani, Dina, Adit, kita semua di rumah lo sekarang! Mereka juga kaget pas Ibu cerita!"

Miki: (Terdiam, membayangkan wajah terkejut teman-temannya) "Gue tahu, Ra. Gue salah. Maafin gue ya. Gue cuma... gue takut kalian mikir yang enggak-enggak, atau khawatir berlebihan. Dan... gue enggak mau ngerusak momen bahagia lo kemarin pas nikah."

Clara: (Menyeka air matanya) "Momen bahagia gue? Lo itu sahabat gue, Mik! Lo adalah bagian dari kebahagiaan gue! Gimana bisa lo mikir gitu?"

Miki: "Iya, gue tahu. Gue janji lain kali enggak gitu lagi. Gimana kabar kalian semua? Rio, Doni, Fani, Dina, Adit... mereka baik-baik aja kan? Salam kangen buat mereka ya. Bilang ke mereka, gue kangen banget sama kalian semua."

Clara: (Suaranya sedikit melunak) "Mereka baik-baik aja. Mereka di luar lagi dengerin kita. Lo beneran enggak bisa pulang sebentar aja, Mik? Kapan lo pulang?"

Miki: "Belum tahu, Ra. Kontrak gue masih panjang. Tapi gue janji, kalau ada kesempatan, gue pasti pulang. Nanti kita kumpul lagi kayak dulu. Lo jangan sedih lagi ya, Ra. Gue juga kangen banget sama lo."

Clara tidak bisa menahan tangisnya lagi. Air mata tumpah membasahi pipinya. "Jaga diri lo baik-baik ya, Mik. Jangan sakit. Jangan lupa makan. Jangan lupa sama kita-kita di sini."

Miki merasakan dadanya sesak. "Pasti, Ra. Kalian juga jaga diri. Dan jangan lupa sama gue ya. Nanti gue telepon lagi kalau ada waktu senggang."

Panggilan telepon itu berakhir, meninggalkan Clara dengan air mata dan teman-teman di ruang tamu yang terdiam penuh pengertian. Mereka tahu, jarak dan rahasia yang terkuak ini adalah bagian dari perjalanan hidup, namun ikatan persahabatan mereka tetap utuh, tak peduli sejauh apa Miki merantau.


Perjalanan Pulang dan Kesadaran Clara

Setelah panggilan telepon dengan Miki berakhir, Clara keluar dari kamar Miki dengan mata sembab. Rio, Doni, Fani, Dina, dan Adit langsung menghampirinya dengan raut khawatir.

"Gimana, Ra? Miki beneran di Jepang?" tanya Rio pelan.

Clara mengangguk, menyeka sisa air mata. "Iya, dia di Kanazawa. Kerja di pabrik."

"Kenapa dia enggak bilang sih?" keluh Dina, ada nada kecewa di suaranya.

"Dia takut kita sedih, atau khawatir. Dia juga enggak mau ganggu momen nikahan gue waktu itu," jelas Clara, meskipun ia sendiri masih berusaha mencerna alasan Miki. "Tapi dia baik-baik aja kok. Dia kangen banget sama kita semua."

Mereka semua terdiam. Perasaan kecewa bercampur haru memenuhi hati. Miki, yang selama ini mereka anggap stagnan dalam hidupnya, ternyata diam-diam berjuang begitu keras di negeri orang.

"Ya udah deh, kalau gitu. Kita pulang aja," ajak Adit, suasana jadi sedikit canggung.

"Kalian mau nebeng mobil gue?" tawar Clara. "Suami gue lagi syuting sinetron, udah seminggu ini enggak pulang. Jadi mobil nganggur."

Rio, Doni, Fani, Dina, dan Adit langsung mengangguk setuju. Mereka memang tak membawa kendaraan pribadi yang cukup untuk berlima. Mereka berpamitan dengan Ibu Wati, yang masih terlihat sedih namun juga sedikit lega karena rahasia Miki sudah terungkap.

Di dalam mobil Clara yang mewah dan nyaman, suasana agak hening di awal. Mereka semua masih memikirkan tentang Miki.

"Jadi... Miki kerja di pabrik di Jepang? Gila, enggak nyangka banget," gumam Doni.

"Iya, dia pasti kerja keras banget di sana," sahut Fani. "Selama ini dia kan cuma ojek online sama bantu Ibu jual nasi uduk."

Clara yang menyetir, sesekali melirik teman-temannya dari kaca spion. Ada rasa bersalah yang mengganjal hatinya. Selama ini, ia dan teman-teman lain mungkin terlalu larut dalam kehidupan masing-masing yang tampak lebih "sukses". Clara sadar bahwa Miki selama ini selalu mendukungnya, menjadi pendengar setia, tanpa pernah sekalipun menunjukkan rasa iri atau minder. Kini, Miki justru berjuang sendirian di negeri orang, demi masa depan yang lebih baik, tanpa ingin membebani siapa pun.

Melihat teman-temannya yang masih terlihat terpukul dengan kabar Miki, Clara memutuskan untuk mengubah suasana. "Ya udah, daripada kita pada sedih gini. Mending kita mikirin gimana caranya kita bisa support Miki dari sini. Kita bisa video call dia bareng-bareng nanti malam. Atau kita bisa kirim dia sesuatu, masakan Ibu Wati mungkin?"

Wajah teman-temannya perlahan mulai cerah. Ide itu terdengar bagus. Meskipun jarak memisahkan, mereka bisa tetap menjaga persahabatan mereka. Clara tersenyum tipis. Ternyata, Miki memang selalu punya cara untuk menyatukan mereka, bahkan dari jauh.


Lima Tahun Kemudian: Badai dalam Rumah Tangga Clara

Lima tahun berlalu sejak pernikahan mewah Clara dengan Andra Wijaya, lima tahun juga sejak Miki pergi merantau ke Jepang. Hidup Clara yang dulunya tampak sempurna, kini diselimuti mendung. Senyumnya tidak secerah dulu, dan matanya seringkali menyimpan gurat lelah. Rumah tangga yang dielu-elukan banyak orang itu, ternyata tak seindah dongeng.

Percikan-percikan pertengkaran mulai sering terjadi. Hal-hal kecil bisa memicu perselisihan panjang. Masalah utama yang menjadi sumber keretakan adalah tekanan untuk memiliki keturunan. Keluarga Andra, terutama ibunya, sangat menginginkan cucu. Setiap pertemuan keluarga selalu diwarnai pertanyaan dan desakan mengenai momongan, seolah-olah Clara dan Andra adalah mesin penghasil bayi.

Clara sudah bolak-balik ke dokter, menjalani berbagai pemeriksaan dan pengobatan. Hasilnya selalu sama: tidak ada masalah signifikan pada dirinya ataupun Andra. Namun, bagi keluarga Andra, terutama sang ibu, Clara lah yang dianggap "mandul". Pembicaraan di belakang punggung, tatapan menghakimi, dan sindiran halus menjadi makanan sehari-hari bagi Clara. Andra, yang seharusnya menjadi pelindungnya, justru seringkali bersikap pasif, membiarkan ibunya ikut campur terlalu jauh dalam urusan rumah tangga mereka.

Tekanan itu semakin berat ditambah dengan kesibukan Andra sebagai artis. Ia seringkali jarang pulang, dengan alasan syuting di luar kota atau jadwal yang padat. Namun, Clara mulai merasa ada yang tidak beres. Ia beberapa kali mencoba mengkonfirmasi jadwal syuting Andra kepada managernya, dan jawaban yang ia dapat seringkali mengejutkan. Sang manager mengatakan bahwa syuting Andra sudah selesai sejak beberapa hari yang lalu, atau ia sedang tidak ada jadwal di luar kota. Kebohongan Andra semakin menambah luka di hati Clara, memicu kecurigaan yang tak bisa lagi ia tepis.

Suatu malam, Clara baru saja pulang dari acara amal. Ia mendapati mobil Andra terparkir di garasi, sebuah pemandangan yang langka akhir-akhir ini. Namun, ia juga melihat mobil mertuanya. Saat Clara masuk, ia mendengar suara Andra dan ibunya berbicara di ruang tengah. Pintu sedikit terbuka, dan Clara tak sengaja mendengar percakapan mereka. Ia membeku di tempat, tidak sanggup bergerak.

"Sampai kapan kamu mau begini, Ndra?" suara Ibu Andra terdengar tegas. "Sudah lima tahun! Kamu tidak bisa terus-turusan menunggu Clara. Dia itu... dia itu mandul! Kamu butuh penerus! Nama baik keluarga kita dipertaruhkan!"

Jantung Clara mencelos. Tangannya gemetar. Ia menahan napas, berharap itu hanya salah dengar.

"Ibu, jangan keras-keras. Nanti Clara dengar," jawab Andra, suaranya terdengar lelah, namun tidak ada bantahan atau pembelaan untuk Clara.

"Dengar pun tidak apa-apa! Biar dia sadar diri! Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik, Ndra. Istri yang bisa memberimu anak. Jangan biarkan dia terus-terusan menahanmu," lanjut ibu Andra. "Kalau dia memang tidak bisa punya anak, ya sudah, cari yang lain. Kamu kan artis, banyak wanita di luar sana yang siap menjadi ibunya anak-anakmu."

Clara merasa seluruh dunia runtuh di sekelilingnya. Air mata yang selama ini ia tahan, kini mengalir deras membasahi pipinya. Kata "mandul" terngiang-ngiang, diucapkan oleh ibu mertuanya, dan yang lebih menyakitkan, tidak dibantah oleh Andra. Ini adalah pukulan telak yang membuat Clara sadar, bahwa selama ini, ia berjuang sendirian dalam pernikahan ini. Ia tidak hanya menghadapi mertua yang menekan, tapi juga suami yang tidak membelanya.


Clara dalam Diam

Setelah malam yang menghancurkan itu, Clara merasa jiwanya kosong. Kata-kata "mandul" dan desakan untuk "mencari yang lain" terus terngiang di telinganya. Ia tahu, pernikahannya sudah berada di ujung tanduk. Rasa sakit, kecewa, dan marah bercampur aduk di dalam dirinya.

Beberapa hari kemudian, Rio, Doni, Fani, Dina, dan Adit datang berkumpul di rumah Clara. Ini adalah salah satu jadwal rutin mereka untuk saling melepas penat dan bercerita. Biasanya, Clara adalah yang paling ceria dan banyak bicara di antara mereka. Namun kali ini, ada yang berbeda.

Clara duduk di sofa ruang tamu, matanya seringkali kosong menatap ke depan. Ia lebih banyak diam dan melamun, sesekali menghela napas panjang. Ketika teman-temannya bercanda atau berbagi cerita lucu tentang pekerjaan mereka, Clara hanya tersenyum tipis, terkadang tidak menanggapi sama sekali.

"Ra, lo kenapa sih? Kok dari tadi diem aja?" tanya Dina, khawatir. "Biasanya lo yang paling heboh kalau kita kumpul."

Clara tersenyum lemah. "Enggak apa-apa, Din. Cuma lagi banyak pikiran aja."

"Pikiran apa? Cerita dong sama kita. Kita kan teman lo," timpal Fani, menatapnya penuh perhatian.

Clara menggeleng pelan. "Nanti aja deh. Enggak enak ngomonginnya sekarang." Ia tidak sanggup. Lidahnya kelu untuk menceritakan beban yang ia pikul. Rasa malu, sakit hati, dan perasaan gagal itu terlalu besar untuk dibagi.

Rio dan Doni mencoba mengalihkan perhatian dengan memutar lagu-lagu lama yang sering mereka dengar saat sekolah. Adit mencoba melucu dengan tingkah konyolnya. Namun, Clara tetap tak sepenuhnya larut. Sesekali, ia akan ikut tertawa kecil saat ada lelucon yang benar-benar lucu, atau memberikan komentar singkat saat ditanya langsung. Tapi setelah itu, ia akan kembali pada lamunannya, matanya menerawang.

Teman-temannya menyadari ada yang tidak beres. Ada aura kesedihan dan beban yang begitu kentara pada diri Clara. Mereka tidak mendesak lebih jauh, menghormati privasi Clara. Mereka tahu, Clara akan bercerita ketika dia siap. Mereka hanya bisa menawarkan kehadiran dan dukungan. Obrolan mereka tetap berjalan, tapi dengan nada yang lebih hati-hati, sesekali melirik Clara, mencoba memahami apa yang sedang terjadi pada sahabat mereka.

Malam itu, tawa di rumah Clara tidak sehangat biasanya. Ada kesedihan yang menyelimuti, terutama pada diri Clara yang menyimpan badai dalam hatinya sendirian.


Badai Ganda: Kematian Ayah dan Gugatan Cerai

Beberapa minggu setelah malam yang sunyi itu, cobaan berat kembali menghantam Clara. Ayahnya meninggal dunia. Kesehatan ayahnya memang sudah menurun drastis sejak perusahaan tambangnya mengalami kebangkrutan beberapa tahun lalu. Beban pikiran dan penyakit yang terus menggerogoti akhirnya merenggut nyawa beliau.

Clara terpukul hebat. Di tengah duka yang mendalam, ia harus menghadapi kenyataan pahit lain: Andra tak datang ke pemakaman ayahnya. Melalui telepon, Andra berdalih masih terjebak syuting di luar kota yang tidak bisa ditinggalkan. Namun, Clara tahu, itu hanyalah alasan. Rasa kecewa membuncah di dadanya, bercampur dengan kesedihan yang tak tertahankan. Bagaimana mungkin suaminya tidak ada di sisinya pada saat terberat seperti ini?

Setelah kematian ayahnya, Clara menyaksikan langsung betapa terpuruknya kondisi finansial keluarganya. Untuk menggaji seluruh karyawan yang berbulan-bulan tidak menerima haknya, seluruh harta kekayaan yang tersisa, termasuk rumah mewah mereka, terpaksa dijual. Ibunya, yang kini tak punya tempat tinggal, harus ikut dan tinggal bersama paman Clara di kota lain. Clara merasa semua pilar kehidupannya runtuh dalam waktu singkat. Ia kehilangan ayah, kehilangan rumah masa kecil, dan kini ibunya pun tak lagi bersamanya.

Tepat seminggu setelah pemakaman, saat Andra akhirnya pulang dari "syutingnya", Clara sudah berada di rumahnya. Belum sempat Clara menuntut penjelasan atas ketidakhadirannya, Andra justru melontarkan kalimat yang menghancurkan sisa-sisa harapannya.

"Clara, aku rasa kita... kita harus akhiri ini," kata Andra, suaranya datar. "Aku sudah tidak bisa melanjutkan pernikahan ini."

Clara menatapnya tak percaya. "Apa maksudmu, Ndra?"

"Aku... aku menggugat cerai kamu," ucap Andra tanpa ekspresi, seolah sedang membaca naskah.

Dunia Clara serasa berhenti berputar. Ia tidak bisa lagi menahan air matanya. Pukulan ini jauh lebih telak dari segalanya. Ia tidak hanya kehilangan ayah dan harta, tapi juga pernikahannya. Berita tentang gugatan cerai Andra Wijaya, sang artis terkenal, langsung menyebar seperti api. Wartawan pun memburu Andra Wijaya di mana pun ia berada. Media sosial dan berita di segala media ramai membahas perceraian mereka, dengan spekulasi dan gosip yang tak terkendali. Nama Clara ikut terseret dalam badai pemberitaan, seolah-olah ia adalah pihak yang bersalah.


Berlindung di Rumah Dina dan Hangatnya Persahabatan

Clara merasa terjebak dalam pusaran badai yang tak kunjung reda. Ia tak sanggup menghadapi sorotan publik, tatapan iba, atau bahkan gosip miring. Untuk menghilangkan beban yang makin bertambah itu, teman-teman setianya datang menawarkan perlindungan. Tanpa ragu, Rio, Doni, Fani, Dina, dan Adit secara kolektif memutuskan untuk menyembunyikan Clara di rumah Dina.

Rumah Dina yang sederhana, jauh dari kemewahan dan sorotan media, menjadi tempat persembunyian yang paling aman bagi Clara. Di sana, ia bisa menangis sepuasnya, meluapkan semua rasa sakit dan kekecewaan yang selama ini ia pendam. Dina, Fani, dan para pria secara bergantian menjaga Clara, memastikan ia makan dan beristirahat.

Sesekali, teman-temannya kumpul menghiburnya. Mereka tidak memaksa Clara untuk bicara, hanya duduk di sampingnya, membiarkannya merasa kehadiran mereka. Mereka memutarkan film-film komedi lama, memainkan permainan kartu konyol yang dulu sering mereka lakukan, atau sekadar bercerita tentang hal-hal ringan. Mereka membawakan makanan kesukaan Clara, bahkan Fani yang seorang dokter menyempatkan diri mengecek kondisi fisik dan mental Clara secara berkala.

Di tengah kehancuran hidupnya, Clara menemukan satu-satunya cahaya: persahabatan tulus yang tak pernah padam. Di rumah Dina, dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya tanpa syarat, Clara perlahan mulai merasakan sedikit kedamaian. Mereka adalah bentengnya, tempat ia bisa melarikan diri dari kejamnya dunia luar, dan tempat ia bisa memulai proses penyembuhan diri. Mereka tahu, Clara perlu waktu untuk bangkit kembali, dan mereka siap menemani setiap langkahnya.


Miki Tahu dari YouTube: Panggilan Tak Terduga

Berita perceraian Andra Wijaya, seorang artis terkenal, tentu saja sampai ke Jepang. Suatu sore, setelah pulang kerja di Kanazawa, Miki sedang bersantai di asrama, membuka YouTube di ponselnya. Ia iseng melihat berita-berita terbaru dari Indonesia. Matanya terbelalak ketika melihat judul-judul berita sensasional: "Andra Wijaya Gugat Cerai Istri!", "Pernikahan Impian Hancur dalam Semalam", "Clara dan Andra Pisah Rumah".

Jantung Miki berdebar kencang. Clara! Sahabatnya! Tanpa berpikir panjang, ia langsung mencari tahu lebih detail. Video-video infotainment bermunculan, menunjukkan rekaman Andra yang dikejar wartawan, dan kilasan berita tentang kebangkrutan perusahaan ayah Clara serta meninggalnya beliau. Miki merasa seluruh tubuhnya lemas. Jadi ini alasan kenapa Clara tidak bisa diajak bicara saat ia meneleponnya dulu? Ia merasa sangat bersalah karena tidak ada di sana.

Tanpa menunda, Miki mencari nomor telepon Dina. Ia tahu, Dina pasti bersama Clara. Ia menekan tombol panggil dengan hati yang berdebar kencang.

Di rumah Dina, suara ponsel Dina berdering. Dina melihat nama Miki di layar, ia segera memberi isyarat kepada yang lain untuk diam. Clara, yang sedang duduk lesu di samping Fani, mendongak.

"Halo, Mik?" sapa Dina, mencoba menjaga suaranya tetap tenang.

"Dina! Clara ada di situ?" tanya Miki, suaranya penuh kekhawatiran. "Gue... gue baru tahu beritanya. Ayah Clara meninggal? Dan... dia cerai sama Andra?"

Dina melirik Clara yang menatapnya dengan mata kosong. "Iya, Mik. Clara ada di sini. Dia... dia lagi enggak baik-baik aja."

"Bisa kasih teleponnya ke dia?" pinta Miki, suaranya tercekat.

Dina mengulurkan ponselnya pada Clara. "Ra, ini Miki," bisiknya lembut.

Clara menatap ponsel itu dengan tatapan kosong sejenak. Ia mengambilnya dengan tangan gemetar.


Panggilan Telepon (Clara & Miki)

Clara: (Suara parau dan terisak, tidak bisa mengeluarkan kata-kata) "Mi... Miki..."

Miki: (Suaranya penuh penyesalan dan empati) "Ra... gue minta maaf banget. Gue enggak tahu. Gue baru tahu semuanya. Lo yang sabar ya, Ra. Gue tahu lo kuat. Gue pengen banget ada di sana sekarang, peluk lo."

Clara: (Tidak bisa menahan tangisnya lagi. Ia hanya terisak-isak, suara Miki yang penuh perhatian justru membuat bendungan air matanya pecah)

Miki: "Ra, jangan nangis, Ra. Lo enggak sendiri. Ada teman-teman di sana, ada gue juga di sini, Ra. Gue... gue selalu ada buat lo. Kalau lo butuh apa-apa, bilang aja. Jangan sungkan."

Clara: (Suara isakannya semakin keras, ia tidak sanggup berkata-kata. Terlalu banyak kesedihan yang meledak.)

Dengan tangan gemetar, Clara tiba-tiba menutup teleponnya. Ia tidak sanggup lagi. Mendengar suara Miki, melihat betapa ia peduli, justru membuat semua beban itu terasa semakin berat.

Begitu telepon terputus, Clara langsung menjatuhkan ponselnya ke sofa dan beringsut mendekati Fani yang duduk di sampingnya. Ia memeluk Fani erat, menyembunyikan wajahnya di bahu Fani, dan menangis tersedu-sedu. Fani, tanpa ragu, langsung membalas pelukan Clara, mengusap punggungnya dengan lembut.

Di ruang tamu, Rio, Doni, dan Adit hanya terdiam, menyaksikan pemandangan itu. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain merasakan kepedihan Clara. Mereka saling pandang, lalu satu per satu mengulurkan tangan. Rio mengusap rambut Clara perlahan, Doni menepuk pundaknya, dan Adit membelai punggungnya. Mereka semua memahami, bahwa memang Clara lah yang paling dekat dengan Miki, dan Miki adalah salah satu pondasi emosional Clara. Suara isak tangis Clara memenuhi ruangan, menjadi pengingat betapa dalamnya luka yang ia alami.


Malam di Kamar Dina: Refleksi dan Pujian untuk Clara

Malam itu, Fani, Rio, Doni, dan Adit tidak langsung pulang dari rumah Dina. Mereka berkumpul di kamar Dina yang berada di tingkat atas. Sementara itu, di lantai bawah, Clara tertidur pulas di samping Fani di ranjang, terlelap karena kelelahan setelah seharian menangis dan meluapkan emosi.

Di kamar Dina, suasana menjadi lebih tenang, namun hati mereka tetap diselimuti keprihatinan. Mereka duduk lesehan di lantai, dengan beberapa camilan yang sudah hampir habis.

Fani, yang duduk di sisi ranjang Clara, sesekali membelai lembut rambut Clara. Rambut coklat madu yang dulu selalu berkilau indah, kini tampak sedikit kusam, tak terurus, seolah kehilangan cahayanya. Ia menatap wajah Clara yang damai dalam tidurnya, namun masih menyisakan jejak air mata.

"Gak nyangka ya," kata Fani, suaranya pelan, memecah keheningan. "Temen kita yang paling cantik, kulitnya beda dari yang lain, dari kecil gak pernah ngerasain pahitnya hidup... Sekarang jadi begini."

Rio mengangguk, menatap Clara dari kejauhan. "Iya, Ra. Dulu lo itu kayak putri di negeri dongeng. Kita semua cuma remahan rengginang di samping lo." Ia mencoba melucu, tapi nadanya penuh empati.

"Bener, gue inget banget pas SD. Clara selalu jadi pusat perhatian. Mau pelajaran olahraga yang keringetan aja, dia tetep aja kelihatan paling bersih sama wangi," timpal Doni, mengenang.

"Bahkan pas kita main kotor-kotoran di lumpur, dia cuma ngelihatin dari jauh sambil ketawa cantik," sambung Adit, tersenyum pahit. "Sekarang, semua yang dia punya kayaknya diuji habis-habisan."

Fani kembali membelai rambut coklat madu Clara. "Tapi lihat deh. Meskipun dia lagi rapuh gini, dia tetep cantik. Kecantikannya itu bukan cuma dari luar, tapi dari hatinya. Dia itu tulus, enggak pernah sombong, dan selalu baik sama kita."

"Betul!" Rio mengiyakan. "Meskipun dia udah jadi artis, nikah sama artis, dia enggak pernah lupa sama kita. Selalu nyempetin waktu kalau kita ngajak ngumpul."

"Itu yang bikin gue salut sama Clara," kata Doni. "Banyak orang kalau udah di atas, lupa sama yang di bawah. Tapi Clara beda. Dia tetap Clara yang kita kenal."

"Dia itu kuat banget, loh," tambah Adit. "Meskipun dia kelihatan rapuh sekarang, gue yakin dia bakal bangkit. Dia punya kita, dan dia punya Miki."

Mendengar nama Miki, mereka kembali terdiam. Panggilan telepon tadi masih terngiang. Ada kesedihan dan penyesalan karena Miki tidak ada di sini, tapi juga ada harapan bahwa Miki akan menjadi salah satu pilar kekuatan Clara. Mereka tahu, ikatan mereka sebagai sahabat akan menjadi jaring pengaman bagi Clara di masa terberatnya ini.

Malam semakin larut. Mereka semua tetap terjaga, berbagi cerita, dan membiarkan Clara beristirahat, berharap esok pagi akan membawa sedikit kekuatan baru untuk sahabat yang sangat mereka sayangi itu.


Tiga Bulan Kemudian: Clara Bangkit Kembali

Tiga bulan berlalu sejak malam yang menghancurkan itu. Tiga bulan yang dihabiskan Clara dalam lindungan sahabat-sahabatnya di rumah Dina. Perlahan, dengan dukungan tak henti dari Fani, Rio, Doni, Dina, dan Adit, Clara mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Tangisnya tak lagi setiap saat pecah, senyum tipis mulai kembali terukir di wajahnya, meskipun matanya masih menyimpan jejak kesedihan yang mendalam.

Kini, Clara merasa harus bangkit. Ia tidak bisa terus-menerus membebani teman-temannya. Ia perlu kembali menata hidupnya, mencari kemandirian yang dulu pernah ia miliki. Keputusan itu datang setelah perbincangan panjang dengan Fani dan Dina.

"Lo enggak bisa terus-terusan di sini, Ra. Lo harus punya hidup lo sendiri lagi," kata Fani lembut.

"Kita bakal selalu ada buat lo, kok. Tapi lo juga butuh ruang, butuh start baru," timpal Dina.

Clara mengangguk. Ia tahu mereka benar. Mengingat kondisi ibunya yang kini tinggal bersama pamannya dan semua harta keluarga yang sudah habis, Clara harus mencari pekerjaan. Ia mulai melamar ke beberapa tempat, dan tak lama kemudian, sebuah kesempatan datang.

Clara diterima bekerja di sebuah perusahaan jasa travel yang cukup besar di Jakarta. Pekerjaan itu tidak berhubungan langsung dengan latar belakang pendidikannya, tapi ia bersedia belajar dari nol. Ia butuh rutinitas, butuh kesibukan yang bisa mengalihkan pikirannya dari badai masa lalu.


Hari-hari Pertama di Kantor dan Status Mantan Istri Artis

Hari pertama Clara bekerja di perusahaan jasa travel itu terasa canggung. Ia berusaha tampil biasa saja, mengenakan pakaian kerja yang rapi dan minim riasan. Ia ingin dikenal sebagai Clara, pegawai baru, bukan sebagai "mantan istri Andra Wijaya". Namun, kenyataan berkata lain.

Meskipun berita perceraiannya dengan Andra Wijaya sudah berlalu beberapa bulan, dampak popularitas Andra masih terasa. Begitu Clara memperkenalkan diri di departemennya, bisik-bisik langsung terdengar. Satu per satu, rekan kerjanya mulai menyadari siapa dia.

"Itu bukannya Clara, yang dulu istrinya Andra Wijaya, ya?"

"Iya, kok dia kerja di sini sekarang? Bukannya dulu hidupnya mewah banget?"

Reaksi terkejut dan rasa penasaran terlihat jelas di wajah banyak karyawan. Beberapa bahkan secara terang-terangan menatapnya dengan tatapan ingin tahu atau iba. Clara berusaha mengabaikan, fokus pada pekerjaannya.

Pada jam istirahat, beberapa rekan kerja yang lebih berani mendekatinya.

"Mbak Clara, maaf, ini Mbak Clara yang dulu istrinya Mas Andra Wijaya?" tanya seorang karyawan perempuan muda, dengan mata berbinar penasaran.

Clara tersenyum tipis, mencoba menjaga ketenangannya. "Iya, saya Clara."

"Wah, saya enggak nyangka Mbak Clara mau kerja di sini. Biasanya kan... selebgram gitu," lanjutnya.

Clara menarik napas. "Saya di sini sebagai karyawan biasa. Saya mohon, tolong jangan hubungkan saya dengan masa lalu saya. Saya ingin fokus bekerja, belajar, dan memulai hidup baru. Tolong anggap saya biasa saja, jangan dibesar-besarkan."

Beberapa rekan kerja yang lain ikut mendengar. Wajah mereka menunjukkan pengertian, namun rasa terkejut mereka masih sulit disembunyikan. Clara tahu, ini akan menjadi tantangan tersendiri. Namun, ia bertekad untuk membuktikan bahwa ia lebih dari sekadar "mantan istri artis".


Hidup Mandiri di Kost Sederhana

Clara tidak lagi menginap di rumah Dina. Setelah mendapatkan pekerjaan, ia memutuskan untuk mencari tempat tinggal sendiri. Ia tahu Dina dan keluarganya tidak akan keberatan, tapi ia tidak ingin terus-menerus merepotkan. Ia ingin mandiri sepenuhnya. Dengan sisa uang yang tak seberapa dan gaji pertamanya nanti, Clara memilih untuk kost di sebuah kamar sederhana yang tidak terlalu jauh dari kantornya.

Kamar kost itu jauh dari kemewahan rumah yang dulu ia tinggali. Hanya ada satu kasur, lemari kecil, dan meja belajar. Jendela kecilnya langsung menghadap ke gang sempit. Namun, di sanalah Clara menemukan ruang pribadinya, tempat ia bisa bernapas lega dari ingar-bingar masa lalu dan sorotan publik.

Teman-temannya tetap menjadi penopang utamanya. Meskipun Clara sudah tidak menginap di rumah Dina, mereka seringkali menjenguknya, membawakan makanan, atau sekadar menemaninya bercerita.

"Gimana kerjaannya, Ra?" tanya Fani saat berkunjung ke kost Clara suatu sore.

"Lumayan. Banyak yang harus dipelajari. Tapi aku suka, bikin otakku sibuk," jawab Clara, ada sedikit semangat di matanya. "Dan, ya, seperti yang kalian duga. Banyak yang kaget pas tahu aku mantan istri Andra. Tapi aku udah bilang ke mereka, jangan dihubung-hubungkan."

Rio, Doni, Dina, dan Adit yang ikut berkumpul di kamar kost itu, mengangguk paham. "Yang penting lo nyaman dan bisa fokus, Ra," kata Rio.

Sesekali, teman-temannya kumpul menghiburnya di kamar kost yang sempit itu. Mereka tertawa, bercanda, dan kadang Fani membujuk Clara untuk makan lebih banyak. Mereka tahu, Clara masih dalam proses penyembuhan, tetapi melihatnya bangkit dan berusaha menata hidupnya kembali, membuat mereka merasa bangga. Clara, yang dulunya seorang putri, kini belajar menjadi seorang pejuang, dan persahabatan mereka adalah bekal terkuatnya.


Momen-momen di Kantor: Dari Penasaran Menjadi Hormat

Kehidupan Clara di perusahaan travel tak selalu mulus. Selain harus belajar dari nol tentang industri pariwisata, ia juga harus menghadapi pandangan dan bisik-bisik dari rekan-rekan kerjanya yang penasaran. Namun, Clara memilih untuk menghadapinya dengan kepala tegak.

Awalnya, banyak yang mengira ia hanya akan bertahan sebentar, atau sekadar main-main. Beberapa bahkan secara terang-terangan mencoba memancing cerita tentang kehidupan lamanya. "Mbak Clara, beda banget ya suasana kerja di kantoran sama di dunia entertainment?" atau "Mbak Clara enggak kangen kemewahan dulu?" Pertanyaan-pertanyaan itu sering dilontarkan dengan nada basa-basi, namun tersirat rasa ingin tahu yang besar.

Clara selalu menjawabnya dengan senyum tipis dan profesional. "Saya di sini untuk bekerja, bukan untuk membicarakan masa lalu. Saya ingin belajar dan berkontribusi."

Ketulusan dan kerja keras Clara perlahan mulai membuahkan hasil. Ia adalah seorang pembelajar yang cepat. Meskipun belum punya pengalaman di bidang travel, ia selalu aktif bertanya, mencatat, dan mengerjakan tugas dengan teliti. Ia sering pulang paling akhir, memastikan semua pekerjaannya beres. Ia tidak pernah mengeluh, bahkan ketika mendapatkan tugas yang rumit atau menghadapi klien yang sulit.

Suatu hari, Clara mendapatkan tugas untuk menangani complain dari seorang klien penting yang sangat rewel. Rekan-rekan kerjanya, bahkan atasannya, sudah kewalahan menghadapinya. Clara, dengan tenang dan sabar, mendengarkan semua keluhan klien, mengajukan solusi yang cerdas, dan berhasil meredakan amarah klien tersebut. Klien itu bahkan mengirimkan email pujian khusus untuk Clara kepada manajemen.

Sejak saat itu, pandangan rekan-rekan kerjanya mulai berubah. Bisik-bisik tentang mantan istri artis perlahan sirna, digantikan oleh decak kagum. Mereka mulai melihat Clara bukan lagi sebagai "mantan istri Andra Wijaya", melainkan sebagai Clara, seorang karyawan yang kompeten, pekerja keras, dan memiliki integritas.

Managernya, Pak Arman, suatu hari memanggil Clara ke ruangannya. "Clara, saya terkesan dengan etos kerja kamu. Kamu punya potensi besar. Saya tahu masa lalu kamu tidak mudah, tapi kamu membuktikan diri di sini. Terus pertahankan."

Pujian itu membuat hati Clara menghangat. Ini adalah pengakuan yang ia butuhkan. Ia merasa harga dirinya, yang sempat runtuh, perlahan mulai terbangun kembali. Ia tidak lagi hanya bergantung pada kecantikan atau nama besar mantan suaminya. Ia membangun identitas baru, dengan keringat dan usahanya sendiri. Kehidupan di kantor, meskipun penuh tantangan, menjadi salah satu bagian terpenting dalam proses penyembuhannya.


Benih Asmara di Kantor: Jebakan Makan Malam

Seiring berjalannya waktu, kinerja Clara yang semakin menonjol dan kepribadiannya yang ramah, meskipun sedikit tertutup, mulai menarik perhatian. Bukan hanya dari segi profesional, tapi juga personal. Salah satu yang paling intens adalah Ardi Pramana.

Ardi adalah Supervisor Divisi Marketing di perusahaan tersebut. Ia seorang pria berpostur tinggi dengan kulit putih bersih. Wajahnya tampan, dengan garis rahang tegas, hidung mancung, dan senyum yang selalu tersungging, menampakkan lesung pipi samar. Tatapan matanya yang tajam namun ramah, seringkali membuat Clara salah tingkah. Ardi dikenal sebagai sosok yang cerdas, karismatis, dan sangat ambisius dalam pekerjaannya. Banyak karyawan wanita yang mengaguminya, namun Ardi tampak hanya memiliki mata untuk Clara.

Ardi mulai sering mencari kesempatan untuk berinteraksi dengan Clara. Mulai dari bertanya tentang pekerjaan, memberikan saran, hingga sesekali mengajaknya mengobrol ringan di pantry. Clara menyadari ketertarikan Ardi, namun ia masih enggan membuka diri untuk urusan asmara. Luka masa lalu masih terlalu dalam.

Suatu sore, setelah jam pulang kantor, Ardi menghampiri meja Clara. "Clara, nanti malam ada acara makan-makan bareng tim kita. Merayakan proyek klien yang baru berhasil. Ikut ya?" ajak Ardi dengan senyum menawan.

Clara sempat ragu, namun ia juga merasa perlu bersosialisasi dengan rekan kerja. "Oh, iya? Boleh deh."

Malamnya, Clara tiba di sebuah restoran Jepang yang cukup populer. Di sana, sudah ada Ardi dan beberapa rekan kerja lainnya. Mereka tampak asyik mengobrol. Clara duduk di bangku kosong di samping Ardi. Obrolan mengalir santai, diselingi tawa. Clara merasa cukup nyaman.

Namun, setelah sekitar satu jam, satu per satu rekan kerja mulai pamit. "Duh, udah malem nih, gue duluan ya," kata salah satu teman. "Iya, gue juga ada janji lain," timpal yang lain. Clara mulai merasa aneh, ada yang tidak beres.

Akhirnya, tinggalah Clara berdua dengan Ardi. Clara menatap Ardi, sedikit terkejut namun juga tersenyum simpul menyadari apa yang baru saja terjadi. Ini jelas sebuah jebakan makan malam.

"Mereka... mereka sengaja ya?" tanya Clara, suaranya sedikit terkekeh.

Ardi tersenyum lebar, menunjukkan lesung pipinya. "Sepertinya begitu. Mereka tahu saya ingin punya kesempatan bicara lebih banyak dengan kamu." Ia menatap Clara dalam-dalam. "Saya tahu ini mungkin agak tiba-tiba, tapi saya memang ingin lebih mengenal kamu, Clara."

Clara merasa pipinya sedikit merona. Meskipun agak syok dengan "jebakan" ini, ada perasaan hangat yang menjalar di dadanya. Sudah lama sekali ia tidak merasakan perhatian tulus seperti ini dari seorang pria. Setelah semua badai yang ia alami, momen sederhana ini terasa seperti secercah harapan. Ia tidak menolak. Ia justru membiarkan dirinya menikmati malam itu, mendengarkan Ardi bercerita, dan sesekali ia pun berbagi kisah-kisah ringan yang tidak menyentuh luka lamanya. Malam itu, di tengah bisu rasa terkejut, Clara merasakan sebuah awal yang baru.


Malam Curhat dan Godaan Sahabat

Beberapa hari setelah makan malam "jebakan" itu, Clara berkumpul dengan teman-temannya di kamar kostnya yang sempit. Seperti biasa, mereka membawa camilan dan minuman, menciptakan suasana akrab yang selalu Clara rindukan. Setelah berbasa-basi tentang pekerjaan dan gosip ringan, Clara memberanikan diri untuk menceritakan kejadian makan malamnya dengan Ardi.

"Gue mau cerita sesuatu deh," kata Clara, pipinya sedikit merona. "Kemarin, gue makan malam sama cowok di kantor."

"Terus?" Dina langsung menyahut, matanya berbinar penasaran. Fani, Rio, Doni, dan Adit juga langsung fokus.

"Awalnya sih rame, ada beberapa orang," Clara melanjutkan, "tapi lama-lama satu per satu pada pamit. Dan akhirnya... tinggal gue sama dia berdua."

Sontak, tawa dan godaan langsung pecah di kamar itu.

"Cieeeee! Siapa tuh namanya, Ra?" seru Dina, mencolek lengan Clara. "Anak kantor lo? Ganteng enggak?"

Clara mengangguk malu-malu. "Namanya Ardi. Dia supervisor di divisi marketing. Lumayan lah..."

"Wah, gila! Ini mah sengaja banget! Pasti anak-anak pada komplotan sama si Ardi!" Rio menyeringai. "Makanya, lo itu jangan betah-betah jomblo, Ra. Rezeki cantik mah banyak yang ngantri!"

"Terus, terus? Kalian ngobrol apa aja?" tanya Fani tak sabar. "Dia nembak lo?"

Clara menggeleng, tersipu. "Enggak lah! Ya ngobrol biasa aja. Tapi dia bilang pengen lebih kenal gue."

"Eh, tapi serius nih, Ra. Dia gimana orangnya?" Doni bertanya serius. "Baik? Sopan? Enggak kayak Andra?"

"Dia baik kok. Sopan. Terus... dia cerdas juga, ngomongnya nyambung," Clara memuji, menyadari ada sedikit kebahagiaan dalam nadanya. "Gue sempet agak syok sih pas sadar cuma tinggal berdua. Tapi... ya, gue lumayan menikmati malam itu. Udah lama banget enggak kayak gitu."

Teman-temannya tersenyum puas. Ada kelegaan melihat Clara bisa kembali merasakan sedikit kebahagiaan, bahkan dari hal sekecil ini.

"Syukurlah kalau gitu, Ra. Jangan nutup diri terus," kata Fani lembut. "Lo berhak bahagia. Pelan-pelan aja, yang penting lo nyaman."

Malam itu, obrolan mereka berlanjut dengan membahas prospek hubungan Clara dan Ardi, diselingi candaan dan godaan khas persahabatan mereka. Clara merasa ringan. Berbagi cerita ini dengan orang-orang yang ia percaya adalah salah satu bentuk proses penyembuhan dirinya. Ia tahu, perjalanan masih panjang, tapi setidaknya, kini ia tidak berjalan sendirian. Ada cahaya kecil yang mulai tampak di ujung terowongan.


Panggilan Tak Terduga dari Jauh

Sejak beberapa minggu yang lalu, Miki belum pernah berinteraksi langsung dengan teman-temannya di Indonesia. Kesibukan di Jepang, perbedaan waktu, dan mungkin juga perasaan sungkan setelah panggilan terakhir Clara yang penuh tangis, membuat ia menunda untuk menghubungi lagi. Ia hanya memantau kabar dari jauh, membaca berita-berita daring yang sesekali muncul tentang kabar teman-temannya. Ia memang punya akun Instagram, tapi jarang sekali mengunggah apa pun.

Malam itu, setelah Clara dan yang lain pulang dari kantor Dina, dan Dina sudah selesai dengan kegiatan hariannya, ia rebahan di kamarnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar, menunjukkan panggilan masuk dari nomor Jepang. Dina terkejut, namun langsung tersenyum bahagia melihat nama "Miki" tertera di layar.

Ia langsung menerima panggilan itu.

Dialog Video Call: Dina & Miki

Dina: (Wajahnya langsung berbinar di layar ponsel) "Halo, Mik! Ya ampun, akhirnya lo nelpon juga! Gue kaget campur bahagia nih!"

Miki: (Wajah Miki muncul di layar, terlihat jelas tanpa filter, memperlihatkan ketampanannya yang berbeda. Ada sedikit senyum tipis di bibirnya, tapi matanya memancarkan kelegaan.) "Halo, Din. Maaf banget gue baru bisa nelpon sekarang. Gue udah coba telepon Clara, Rio, Fani, sama Adit beberapa kali, tapi nomornya selalu jaringan sibuk terus. Lo gimana kabarnya, Din? Kalian semua gimana?"

Dina: (Terdiam sejenak, mengamati perubahan pada Miki) "Alhamdulillah, kita semua baik-baik aja, Mik. Lo sendiri gimana? Kok belum pulang juga? Udah lima tahun lho!"

Miki: (Menghela napas) "Iya, Din. Ada beberapa urusan yang belum bisa ditinggal. Tapi gue kepikiran terus sama kalian."

Dina: "Mik, lo itu bikin kita khawatir. Kenapa enggak ngabarin?"

Miki: "Maaf, Din. Ada banyak hal yang terjadi di sini. Tapi gue janji bakal cerita kalau udah ketemu kalian langsung. Sekarang, ceritain ke gue, gimana kabar kalian semua? Terutama Clara. Dia baik-baik aja kan?"

Dina: (Nada suaranya berubah serius, meskipun dengan sentuhan kelegaan) "Dia... dia kuat, Mik. Beneran. Lo tahu sendiri kan gimana Clara, dia enggak pernah nunjukkin kalau dia rapuh. Setelah kejadian itu, dia memang sempat hancur banget. Kita semua sampai harus menyembunyikan Clara di rumah gue selama beberapa minggu, Mik. Dia enggak sanggup lagi ngadepin semuanya."

Miki: (Suaranya terdengar tercekat) "Ya ampun... gue bisa bayangin gimana hancurnya Clara. Gue ngerasa bersalah banget enggak ada di sana."

Dina: "Enggak, Mik. Jangan gitu. Yang penting sekarang Clara udah sedikit lebih baik. Dia udah mulai kerja di perusahaan travel. Lo tahu, Mik? Dia kerja keras banget. Meskipun banyak yang kaget pas tahu dia mantan istri artis, tapi dia udah bisa minta orang-orang buat enggak mengungkit masa lalunya. Dia pengen mandiri."

Miki: "Syukurlah kalau dia udah mulai kerja. Gimana dia di sana, Din? Apa dia... dia baik-baik aja sekarang?"

Dina: "Dia jauh lebih baik. Dia belajar dari nol. Kinerjanya bagus banget. Bahkan ada yang naksir dia di kantornya. Namanya Ardi, supervisor marketing. Ganteng, kulitnya putih, kelihatan baik banget orangnya. Baru-baru ini malah ada kejadian lucu, Ardi ini kayak sengaja ngejebak Clara makan malam berdua. Mereka ngobrol sampe larut, Mik. Clara juga cerita ke kita, meskipun agak syok, dia lumayan menikmati momen itu."

Terdengar keheningan sejenak dari ujung video call Miki. Dina bisa merasakan Miki sedang mencerna semua informasi yang ia berikan, terutama tentang Ardi. Wajah Miki yang tanpa filter itu, meski terlihat tenang, seolah menyembunyikan sesuatu.

Dina: "Gimana, Mik? Lo masih di sana?"

Miki: (Suaranya kembali terdengar, ada sedikit perubahan nada) "Iya, Din. Gue di sini. Gue... gue senang denger Clara udah mulai bangkit lagi. Dan... soal Ardi itu, gue harap dia orang baik buat Clara. Clara berhak bahagia, Din."

Dina: "Tentu, Mik. Dia memang berhak bahagia. Lo sendiri kapan nih pulang? Kita kangen banget sama lo."

Miki: (Menghela napas panjang) "Secepatnya, Din. Gue janji bakal secepatnya pulang. Ada sesuatu yang harus gue urus di sini. Tapi denger kabar Clara udah mulai membaik, gue jadi sedikit lega."

Dina terus bercerita, memberikan Miki gambaran lengkap tentang kondisi teman-teman lainnya, kesibukan Rio, Fani, dan Adit. Miki mendengarkan dengan seksama, hatinya campur aduk antara lega dan juga gejolak yang tak bisa ia definisikan.


Malam Minggu: Miki Dipuji Teman-teman Lewat Video Call

Beberapa minggu kemudian, suasana hati Clara berangsur membaik. Hubungannya dengan Ardi di kantor berjalan perlahan tapi pasti. Mereka sering makan siang bersama, atau kadang Ardi menemaninya lembur. Clara mulai membuka sedikit hatinya, membiarkan kehangatan kecil itu menyentuh hatinya yang lama membeku.

Malam Minggu yang cerah itu, sudah menjadi kebiasaan teman-teman lama untuk berkumpul. Kali ini, mereka berencana bertemu di kafe favorit mereka dulu. Namun, ada yang berbeda.

"Teman-teman, maaf ya, gue enggak bisa ikutan kumpul malam ini," ujar Clara di grup chat mereka. "Gue ada janji..."

"Janji sama siapa nih?" Dina langsung membalas, disusul stiker emoji mata berbinar.

Clara membalas dengan emoji senyum malu. "Jalan sama Ardi."

Reaksi teman-temannya di grup chat langsung heboh. Rio, Doni, dan Adit tak henti menggoda, sementara Fani mengirimkan banyak stiker hati. Mereka semua senang melihat Clara mulai kembali merasakan kebahagiaan.

Di kafe, Rio, Doni, Fani, dan Adit sudah berkumpul. Mereka memesan minuman dan makanan kecil. Tiba-tiba, ponsel Dina berdering lagi. Sebuah panggilan video dari Miki.

"Eh, Miki video call lagi!" seru Dina. Ia langsung mengangkatnya dan mengarahkan layar ke teman-temannya.

Wajah Miki muncul di layar, terlihat jelas tanpa filter. Ia mengenakan pakaian yang sangat stylish ala Jepang: outer longgar berwarna earthy tone, celana cutbray yang modis, dan sneakers putih bersih. Rambutnya ditata rapi. Perubahan penampilannya sangat drastis.

"Miki!" seru Fani, matanya langsung berbinar. Ia mendekat ke layar ponsel Dina. "Ya ampun, Mik! Lo kok jadi... jadi ganteng banget gini sih, Mik? Putih banget lagi kulit lo!"

Miki terkekeh di seberang sana. "Bisa aja lo, Fan. Biasa aja kali. Itu cuma efek cahaya di sini."

"Biasa aja apaan!" Rio mencondongkan wajahnya ke layar. "Gila, ini mah beda banget sama Miki yang dulu sering pake kaos lusuh! Gaya lo sekarang keren banget, Mik!"

"Pantes aja lo betah lima tahun di sana, Mik. Ternyata bikin makin cakep!" timpal Doni, geleng-geleng kepala.

"Duh, pokoknya Clara kalau lihat lo sekarang, pasti pangling deh," celetuk Adit, menggoda.

Miki hanya tersenyum tipis mendengar pujian teman-temannya. Ada sesuatu dalam senyum itu yang tak bisa dibaca. Ia senang dipuji, namun kabar Clara yang sedang jalan dengan Ardi itu terasa seperti sengatan kecil di hatinya.

"Bener-bener pengaruh fashion Jepang nih," kata Fani lagi, masih terpukau. "Dulu lo paling anti sama yang namanya fashion!"

Miki tertawa, suasana menjadi hangat dengan kehebohan teman-temannya. Ia tahu, ada banyak hal yang harus ia ceritakan. Namun, satu hal yang pasti, kepulangannya nanti akan membawa perubahan besar bagi semua.


Clara yang Berubah dan Kekhawatiran Para Sahabat

Minggu-minggu berikutnya, intensitas pertemuan Clara dengan teman-temannya mulai berkurang. Di setiap ajakan untuk kumpul, Clara selalu punya alasan.

"Guys, maaf ya, gue kayaknya enggak bisa ikut brunch besok," ketik Clara di grup chat. "Ada janji sama Ardi, mau bantu dia survey lokasi buat proyek baru."

Atau di lain waktu, "Maaf, aku lagi overtime nih. Banyak kerjaan banget."

Awalnya, teman-teman Clara mengerti. Mereka senang Clara mulai bangkit dan punya kesibukan baru. Apalagi ada Ardi yang tampaknya bisa membuat Clara tersenyum lagi. Namun, lama-kelamaan, frekuensi absen Clara semakin sering. Bahkan ketika mereka berhasil berkumpul, ada perubahan yang jelas terlihat pada Clara.

Clara terlihat lebih sering fokus ke ponselnya. Saat teman-temannya bercerita atau tertawa, ia hanya sesekali mengangkat kepala, memberikan senyum tipis, lalu kembali menunduk pada layar ponselnya. Ada percakapan chat yang terus-menerus terjadi, yang mereka duga keras adalah dengan Ardi.

"Clara, lo kok sibuk banget sih sama HP? Kita di sini lho," tegur Rio suatu kali, setengah bercanda.

Clara hanya tersenyum simpul, tanpa mengangkat pandangannya. "Maaf, lagi balas chat penting."

Fani, Dina, Doni, dan Adit saling pandang. Mereka melihat perubahan itu. Clara yang dulu selalu menjadi pusat perhatian dan sangat antusias dalam setiap obrolan, kini terasa lebih jauh, seolah ada dinding tak kasat mata yang terbentuk.

Pada pertemuan-pertemuan berikutnya, Clara semakin jarang hadir. Jika tidak ada janji dengan Ardi, ia beralasan lelah dari pekerjaan atau ingin istirahat di kost. Teman-temannya mulai bertanya-tanya.

"Menurut kalian Clara kenapa ya?" tanya Dina suatu malam, saat mereka hanya berkumpul berempat tanpa Clara. "Dia kok jadi jarang banget sama kita?"

"Dia pasti sibuk sama Ardi. Biasalah, orang lagi kasmaran," ujar Doni, mencoba berpikir positif.

Tapi Fani menggeleng. "Bukan cuma itu. Gue ngerasa dia agak beda. Lebih... fokus ke dunianya sendiri."

Adit menimpali, "Iya, gue juga ngerasa. Dulu kalau kita godain dia soal cowok, dia pasti heboh. Sekarang cuma senyum tipis."

Rio terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Gue ngerti sih. Dia kan baru aja ngelewatin banyak hal berat. Mungkin dia masih butuh waktu buat rebuild dirinya. Dan sekarang, dia lagi nyaman sama Ardi, jadi wajar kalau dia fokus ke sana."

Teman-temannya menyadari keadaan Clara. Mereka tahu, Clara sedang berada di fase di mana ia mencoba menata ulang hidupnya, menemukan kebahagiaannya sendiri. Meskipun ada sedikit rasa rindu dan kadang khawatir karena jarak yang tercipta, mereka memilih untuk tidak terlalu mendesak Clara. Mereka memahami bahwa proses penyembuhan setiap orang berbeda, dan jika Ardi bisa memberikan Clara kebahagiaan dan semangat untuk bangkit, mereka akan mendukung.


Kejutan di Balik Pintu Kamar Dina

Malam itu, Rio, Fani, Dina, dan Doni sedang berkumpul di kamar Dina. Mereka baru saja selesai membahas Clara yang makin jarang bergabung, diselingi sedikit curhat dan tawa kecil. Suasana hangat persahabatan begitu kental, meskipun ada sedikit rasa hampa karena absennya Clara.

Tiba-tiba, di tengah obrolan mereka, terdengar ketukan pelan di pintu kamar Dina.

"Assalamu'alaikum," terdengar suara dari luar.

Semua mata langsung tertuju ke pintu. Fani, Dina, Rio, dan Doni kaget. Siapa yang datang malam-malam begini? Mereka tidak ada janji dengan siapa pun.

"Biar gue buka," kata Fani, melangkah menuju pintu dengan dahi berkerut.

Saat Fani membuka pintu, ia mematung. Matanya membulat sempurna. Di hadapannya, berdiri seorang pria yang tampak akrab namun juga berbeda. Postur tinggi tegap, gaya berpakaian stylish yang tak biasa mereka lihat di Indonesia, dan wajah yang jauh lebih matang.

Itu Miki.

"Miki?!" Fani berbisik, suaranya tercekat. Ia tak bisa berkata-kata lagi. Wajahnya menunjukkan keterkejutan luar biasa, diikuti senyum lebar yang perlahan merekah.

Tanpa pikir panjang, Fani langsung menerjang Miki, memeluknya erat. "Miki! Lo pulang! Ya ampun!" Air mata haru mulai menetes di pipinya.

Dina, Rio, dan Doni yang melihat dari belakang juga tak kalah kaget. Mereka segera menyusul, berhamburan mendekati Miki.

"Miki! Lo beneran pulang?!" seru Rio, menepuk bahu Miki.

Doni hanya bisa tersenyum lebar, matanya berkaca-kaca. "Gila, ini beneran lo, Mik?"

Dina mendekat, mengamati Miki dari dekat. Ia mengangkat tangannya, mengusap-ngusap pipi Miki dengan lembut, seolah ingin memastikan Miki di hadapannya itu nyata. "Ya ampun, Miki... lo kok bisa sih tiba-tiba banget?"

Semuanya memuji Miki. "Lo jadi ganteng banget, Mik!" "Kulit lo putih bersih!" "Gaya lo keren parah!" Pujian itu mengalir tanpa henti, diselingi tawa bahagia dan sedikit isak tangis haru.

Miki tersenyum, hatinya menghangat melihat sambutan teman-temannya. Ia tahu mereka terkejut, namun kehangatan persahabatan itu tak pernah berubah. Ia menatap satu per satu wajah sahabatnya yang kini berlinang air mata kebahagiaan. Semuanya menitikkan air mata, entah itu air mata karena kerinduan yang akhirnya terbayar, atau karena rasa syukur atas kehadiran kembali sahabat mereka yang lama menghilang.

Miki memeluk mereka semua, bergantian. Lima tahun di negeri orang, jauh dari mereka, terasa sangat panjang. Kini, ia kembali. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan, dan ada banyak hal pula yang harus ia hadapi.


Kisah Miki di Jepang: Dari Perjuangan hingga Menjadi Anak Angkat

Setelah puas berpelukan dan saling melepas rindu, Miki dan teman-temannya duduk melingkar di kamar Dina. Rio mengeluarkan beberapa kaleng minuman dingin, dan Doni menyalakan musik pelan. Fani dan Dina sudah tidak sabar mendengar cerita Miki.

"Sekarang, ceritain, Mik! Kenapa lo bisa balik tiba-tiba gini? Terus lo ngapain aja selama lima tahun di Jepang? Jangan cuma video call doang!" desak Fani, antusias.

Miki menarik napas panjang, tersenyum. "Banyak banget ceritanya, guys. Dari mana gue harus mulai ya?"

"Dari awal lo berangkat lah!" seru Rio.

Miki mulai bercerita. Ia mengisahkan bagaimana beratnya tahun-tahun awal di Jepang. Bekerja sebagai pekerja kasar di pabrik, tinggal di apartemen sempit bersama teman-teman TKI lainnya, berjuang menghadapi musim dingin yang menusuk, dan keterbatasan bahasa.

"Empat tahun pertama itu bener-bener perjuangan. Setiap hari cuma mikirin gimana caranya bisa bertahan hidup dan kirim uang buat keluarga," jelas Miki. "Gue tinggal bareng lima orang TKI lain di satu apartemen kecil. Makan seadanya, tidur seadanya. Tapi ya itu, solidaritas kita kuat banget di sana."

Namun, di tahun terakhir, hidup Miki mengalami perubahan drastis.

"Satu tahun terakhir, ada hal yang enggak pernah gue duga terjadi," Miki melanjutkan, suaranya sedikit pelan. "Gue... gue diangkat anak sama sepasang suami istri Jepang."

Keempat temannya langsung terdiam, terkejut mendengar pengakuan Miki.

"Hah? Diangkat anak?" Dina membelalakkan mata. "Kok bisa?"

"Iya," Miki mengangguk. "Namanya Tuan Kenji dan Nyonya Akiko. Mereka sudah menikah 17 tahun, tapi belum dikaruniai anak. Jadi mereka kayak... menganggap gue sebagai anak mereka."

"Terus gimana ceritanya lo bisa ketemu mereka?" tanya Doni penasaran.

Miki tersenyum kecil. "Awalnya itu waktu gue lagi jalan pulang dari kerja. Nyonya Akiko ini baru aja belanja, bawa banyak buah. Tiba-tiba, kantong belanjaannya robek, dan semua buahnya berjatuhan. Gue refleks aja, langsung bantuin dia mungutin buah-buah itu."

"Dari situ, dia sering banget nanyain gue kerja di mana, tinggal di mana," Miki melanjutkan. "Awalnya gue cuma jawab seadanya. Tapi dia baik banget, sering nawarin gue makan, atau sekadar teh hangat kalau lagi di jalan."

"Dan ternyata," Miki menegaskan, "suaminya, Tuan Kenji, adalah salah satu manajer di perusahaan tempat gue kerja."

"Wah, gila! Kebetulan apa takdir nih?" seru Fani, takjub.

"Entahlah," Miki mengangkat bahu. "Tuan Kenji itu tahu gue pekerja keras, tapi dia juga tahu gue sering lembur, sering capek. Mungkin terdorong rasa kasihan, atau mungkin dia lihat sesuatu di gue. Jadi, dia sama Nyonya Akiko sering ngajak gue main ke rumah mereka. Lama-lama, tiap hari libur kerja, gue disuruh menginap di rumahnya hanya untuk sekadar ngobrol."

"Mereka baik banget, Mik?" tanya Dina.

"Baik banget, Din. Mereka memperlakukan gue kayak anak kandung. Gue sempat tanya, kenapa enggak ngangkat anak kecil aja, kan mereka belum punya anak. Jawaban Nyonya Akiko itu bikin gue makin salut," kata Miki.

"Apa kata dia?" tanya Adit.

Miki menirukan perkataan Nyonya Akiko dengan nada pelan, "Dia bilang, 'Kami sibuk, Miki. Suami saya selalu bekerja, saya juga punya toko bunga. Kalau punya anak kecil, kami takut tidak bisa memberikan perhatian penuh. Kami ingin anak yang sudah dewasa, yang bisa kami ajak bicara, berbagi cerita, dan yang sudah mandiri.'"

"Mendengar itu, gue jadi makin merasa dihargai. Mereka bukan cuma butuh 'anak' untuk meneruskan nama, tapi mereka butuh teman hidup," jelas Miki. "Sejak saat itu, gue pindah ke rumah mereka. Mereka yang support gue buat ambil kursus bahasa Jepang lagi, support penampilan gue biar enggak kayak TKI lusuh lagi, dan banyak hal lainnya. Gue belajar banyak tentang budaya Jepang dari mereka."

Miki diam sejenak, menghela napas. "Sebenarnya, gue harusnya sudah pulang lima bulan yang lalu."

Rio mengernyit. "Lho, kok bisa?"

"Iya. Waktu itu gue udah siap-siap mau pulang, tiket juga udah di tangan," lanjut Miki. "Tapi Tuan Kenji sama Nyonya Akiko mencegah gue. Mereka bilang, 'Miki, nanti saja lima bulan lagi. Kami ada proyek besar yang harus kamu bantu. Kami ingin kamu melihat prosesnya sampai selesai. Setelah itu, kamu bebas mau kembali ke Indonesia kapan pun.'"

"Jadi selama lima bulan itu lo bantu mereka di proyek itu?" tanya Doni.

Miki mengangguk. "Kurang lebih begitu. Itu proyek terakhir yang gue kerjain sama mereka. Dan gue juga janji sama mereka, setelah proyek itu selesai, gue akan pulang."

"Jadi karena itu lo bisa tiba-tiba muncul di sini tanpa ngabarin?" Dina menyimpulkan.

"Iya, gue mau kasih kejutan," Miki tersenyum lebar. "Dan sekarang gue di sini. Gue... gue kangen banget sama kalian semua."

Malam itu, tawa dan cerita terus mengalir. Teman-teman Miki tidak henti-hentinya mengagumi perubahan pada Miki, baik dari penampilan maupun kedewasaan sikapnya. Ada rasa haru dan bangga yang membuncah di hati mereka.


Panggilan Misterius dan Sikap Clara

Setelah Miki selesai bercerita, Dina menatapnya penuh arti. "Mik, sekarang lo udah di sini. Coba deh lo telepon Clara. Pasti dia kaget banget."

"Iya, Mik! Gue juga penasaran reaksinya!" Fani menimpali, bersemangat.

Miki mengangguk. Ia meraih ponselnya, mencari nama Clara di kontaknya. Ia menarik napas, lalu memencet tombol panggil.

Panggilan pertama, tidak diangkat. Miki mengerutkan dahi. "Mungkin lagi sibuk," gumam Doni.

Miki mencoba lagi. Dua kali panggilan, dan akhirnya diangkat.

Clara: (Suara di seberang terdengar sedikit terburu-buru, dan nada suaranya agak asing, seolah sedang menebak-nebak) "Siapa ini?"

Teman-teman Miki saling pandang. Clara yang dulu mereka kenal pasti akan langsung mengenali suara Miki.

Miki: (Senyum tipis tersungging di bibirnya, namun suaranya tetap tenang) "Ini Miki, Ra."

Keheningan sejenak dari ujung telepon. Lalu, terdengar suara Clara, yang kini sedikit lebih lembut namun masih terkesan buru-buru.

Clara: "Oh, Miki. Ntar, telpon lagi. Aku lagi di luar."

Klik. Sambungan telepon terputus.

Miki menurunkan ponselnya, menatap layar dengan tatapan kosong sejenak. Lalu, ia mengangkat pandangannya ke arah teman-temannya dan hanya tersenyum. Senyum yang sulit diartikan, bukan senyum bahagia, bukan juga senyum sedih. Lebih seperti senyum yang mencoba menutupi sesuatu.

Teman-temannya saling pandang. Mereka bisa merasakan sedikit kekecewaan dari sikap Clara.

"Dia... dia beda banget ya sekarang," kata Fani pelan.

Miki menghela napas. "Dia sibuk. Mungkin dia lagi sama... Ardi."

Mendengar Miki menyebut nama Ardi, teman-temannya kembali teringat percakapan video call mereka beberapa minggu lalu. Dina kemudian menceritakan lebih detail tentang perubahan sikap Clara.

"Iya, Mik. Clara sekarang memang berubah," Dina memulai. "Sejak dia dekat sama Ardi dan kerjaannya juga lagi banyak, dia jadi jarang banget kumpul sama kita. Kalaupun kumpul, dia itu lebih sering fokus ke ponselnya. Kadang kita godain dia, dia cuma tersenyum tipis aja, terus balik lagi ke HP-nya. Pertemuan-pertemuan berikutnya, dia bahkan jarang hadir sama sekali. Dia bilang lagi sibuk, atau ada janji sama Ardi."

Rio menambahkan, "Kita juga sebenarnya agak khawatir sih, Mik. Dia kayak... jadi terlalu sibuk sama dunianya sendiri."

"Tapi ya kita sadar sih, Mik. Dia kan habis ngalamin masa sulit banget. Mungkin dia butuh fokus ke dirinya sendiri dan apa yang bikin dia nyaman sekarang," Doni mencoba menjelaskan.

Fani mengangguk. "Kita pengen dia bahagia, Mik. Jadi ya kita biarin aja dulu. Nggak mau maksa dia."

Miki mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk. Wajahnya tetap tenang, seperti tidak ada masalah sama sekali. Ia hanya tersenyum tipis, seolah semua yang mereka ceritakan sudah ia duga.

Setelah teman-temannya selesai bercerita, Miki menatap mereka satu per satu dengan tatapan yang dalam. Lalu, ia berkata, "Nggak apa-apa. Ini kan baru awal. Kita lihat saja nanti."

Ada aura misterius dalam perkataan Miki, seolah ia menyimpan rencana atau pemikiran yang jauh lebih besar dari yang bisa teman-temannya bayangkan. Senyumnya itu, yang tenang dan penuh makna, membuat teman-temannya bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya ada di pikiran Miki setelah lima tahun pergi, dan kembali dengan penampilan yang berbeda, serta mendengar kabar Clara yang kini telah menemukan kebahagiaan baru?


Kejutan di Malam Minggu yang Tak Terduga

Beberapa hari setelah kepulangan Miki yang mengejutkan, Miki berjanji akan mentraktir teman-temannya makan-makan. Malam Minggu tiba, dan Miki mengajak Dina, Fani, Rio, dan Doni ke sebuah restoran baru yang cukup fancy di pusat kota. Mereka tiba lebih awal, mencari tempat duduk yang nyaman sambil menunggu Miki.

Fani, Dina, Rio, dan Doni sudah duduk di meja yang mereka pilih. Mereka asyik mengobrol, diselingi candaan ringan. Mereka sesekali melirik ke pintu masuk, menunggu Miki yang masih belum terlihat.

"Duh, Miki ini mana sih? Udah laper banget nih!" keluh Rio, mengusap perutnya.

"Sabar kali, Yo. Mungkin dia lagi siap-siap biar makin cakep pas ketemu kita," goda Fani.

Namun, di tengah obrolan mereka, Fani, Dina, Rio, dan Doni mulai merasa ada yang memperhatikan mereka dari salah satu sudut restoran yang lampunya agak temaram. Beberapa kali mereka melirik ke arah sana, merasa tidak nyaman dengan tatapan yang tak bisa mereka identifikasi.

Tiba-tiba, seseorang bergerak dari sudut tersebut dan berjalan mendekat ke arah meja mereka. Wanita itu terlihat familiar.

"Hai, kalian lagi kumpul ya?" sapa suara yang tak asing.

Sontak, mereka berempat menoleh. Mata mereka membulat. Itu Clara. Di sampingnya, berdiri seorang pria tampan dengan senyum ramah. Clara terlihat lebih berisi, wajahnya berseri-seri, dan penampilannya sangat rapi.

Clara tersenyum hangat. "Maaf ya, gue enggak bisa ikut kumpul kemarin. Ini Ardi, pacar aku."

Ardi tersenyum sopan, mengulurkan tangan. "Ardi. Senang bertemu kalian."

Rio, Dina, Fani, dan Doni saling pandang, mencoba menutupi keterkejutan mereka. Mereka segera berdiri dan menyalami Ardi.

"Oh, ini Ardi yang sering Clara ceritain itu ya," kata Dina, berusaha terdengar natural.

"Iya," Clara mengangguk, bangga. "Kita kebetulan lagi makan malam juga di sini. Enggak nyangka bisa ketemu kalian."

Pada saat itu, mereka berempat tahu Miki akan segera datang. Mereka langsung saling berisyarat dengan tatapan mata, memutuskan untuk merahasiakan bahwa mereka janjian dengan Miki. Mereka tidak ingin suasana menjadi canggung atau Clara merasa tidak enak hati, apalagi Clara juga tak menyinggung kejadian kemarin waktu Miki menelepon. Ia hanya tersenyum cerah, seolah percakapan itu tak pernah terjadi.

Clara dan Ardi sempat mengobrol sebentar, menanyakan kabar singkat dan basa-basi.

"Oke deh, kalian lanjutin makannya ya," kata Clara akhirnya. "Kita duluan. Senang ketemu kalian!"

Clara dan Ardi kemudian berlalu, kembali ke meja mereka di sudut yang temaram. Rio, Fani, Dina, dan Doni baru bisa bernapas lega setelah Clara dan Ardi duduk di meja mereka. Mereka kembali duduk, dan saling melempar pandang.

"Gila, timing-nya pas banget," bisik Fani.

"Syukurlah kita enggak keceplosan soal Miki," tambah Dina.


Miki Hadir dengan Penampilan Terselubung dan Telepon dari Jepang

Tak lama kemudian, pintu restoran kembali terbuka. Kali ini, masuk seorang pria yang mengenakan sweater bertopi yang menutupi sebagian wajahnya, dan masker medis yang menutupi hidung dan mulutnya. Langkahnya tegap dan langsung menuju meja Fani, Dina, Rio, dan Doni.

"Maaf banget, guys! Gue telat!" Miki berkata, suaranya sedikit teredam masker. Ia masih tak melepas masker dan tak melepas topinya, membuat sebagian wajahnya tetap tersembunyi. "Gue lagi kurang sehat dari tadi sore, mungkin karena penyesuaian cuaca."

Fani, Dina, Rio, dan Doni sontak merasa tidak enak hati. Mereka baru saja ingin menikmati malam traktir Miki, tapi ternyata Miki sedang tidak enak badan.

"Eh, Mik, kalau gitu enggak usah dipaksain," kata Dina, khawatir. "Kita enggak jadi pun enggak apa-apa, kok."

Miki tersenyum di balik maskernya. "Enggak lah! Kan udah janji. Kalian udah laper banget ini pasti." Ia menatap wajah teman-temannya satu per satu. "Udah, santai aja. Gue fine-fine aja. Ayo pesen makanan sekarang!"

Miki mempersilakan teman-temannya untuk memesan apa saja. Tapi anehnya, Miki tidak ikut makan. Ia hanya memesan Pocari Sweat.

"Lo kok enggak makan, Mik?" tanya Fani, masih merasa tidak enak.

"Gue udah makan tadi sore, tapi kayaknya butuh istirahat aja," jawab Miki singkat. "Lagian, gue cuma pengen liat kalian makan puas aja. Jangan sungkan."

Sambil makan, teman-temannya sesekali melirik ke arah meja Clara dan Ardi. Posisi meja Clara memang tidak terlalu jauh, namun tertutup pilar dan lampu yang agak temaram, membuat mereka tidak terlalu terlihat jelas. Clara dan Ardi rupanya tidak sadar akan keberadaan Miki. Begitupun Miki enggak tahu ada Clara di situ karena posisi meja mereka dan penampilannya saat datang yang menutupi wajahnya.

Beberapa menit berlalu. Tiba-tiba, ponsel Miki berdering. Ia melihat layar dan langsung tersenyum lebar di balik maskernya. Itu panggilan video dari Jepang. Rupanya orang tua angkatnya yang menelepon. Senyum Miki menular ke teman-temannya. Mereka semua tahu betapa Miki menghargai Tuan Kenji dan Nyonya Akiko.

Miki segera mengangkat panggilan itu, masih dengan topi dan maskernya.

Dialog Video Call: Miki dan Orang Tua Angkatnya (Tuan Kenji & Nyonya Akiko)

Miki: (Dengan senyum lebar dan nada riang) "もしもし!お父さん、お母さん、お元気ですか?" (Mosimoshi! Otōsan, Okāsan, ogenki desu ka?) Artinya: "Halo! Ayah, Ibu, apa kabar?"

Nyonya Akiko: (Terdengar suara hangat dari seberang) "あら、ミキ!元気よ、元気!あなたは?ちゃんと着いたの?" (Ara, Miki! Genki yo, genki! Anata wa? Chanto tsuita no?) Artinya: "Oh, Miki! Sehat kok, sehat! Kamu? Sudah sampai dengan selamat?"

Miki: "はい、無事に着きました!友達と夕食を食べています。皆さん元気です。" (Hai, buji ni tsukimashita! Tomodachi to yūshoku o tabete imasu. Minasan genki desu.) Artinya: "Iya, sudah sampai dengan selamat! Saya sedang makan malam dengan teman-teman. Mereka semua sehat."

Tuan Kenji: (Suara Tuan Kenji terdengar, sedikit lebih berat) "おお、ミキ!良かったな。日本でのプロジェクトは疲れただろう。ゆっくり休めよ。" (Ō, Miki! Yokatta na. Nihon de no purojekuto wa tsukareta darō. Yukkuri yasume yo.) Artinya: "Oh, Miki! Baguslah. Pasti lelah dengan proyek di Jepang. Istirahatlah yang cukup."

Miki: "はい、お父さん。ありがとうございます。でも、このプロジェクトのおかげで、本当にたくさんのことを学びました。" (Hai, Otōsan. Arigatō gozaimasu. Demo, kono purojekuto no okage de, hontō ni takusan no koto o manabimashita.) Artinya: "Iya, Ayah. Terima kasih. Tapi berkat proyek ini, saya benar-benar belajar banyak hal."

Nyonya Akiko: "そうでしょうね。あなたは本当に頑張り屋さんだから。インドネシアの友達は喜んでいるでしょう?" (Sō desho ne. Anata wa hontō ni ganbariya-san dakara. Indoneshia no tomodachi wa yorokonde iru desho?) Artinya: "Pasti begitu. Kamu memang pekerja keras. Teman-temanmu di Indonesia pasti senang, kan?"

Miki: "はい!みんなすごく喜んでくれました。再会できて本当に嬉しいです。" (Hai! Minna sugoku yorokonde kuremashita. Saikai dekite hontō ni ureshii desu.) Artinya: "Iya! Mereka semua sangat senang. Saya benar-benar bahagia bisa bertemu lagi."

Tuan Kenji: "分かった。また連絡する。元気でな、ミキ。" (Wakatta. Mata renraku suru. Genki de na, Miki.) Artinya: "Baiklah. Nanti kami hubungi lagi. Jaga diri baik-baik ya, Miki."

Nyonya Akiko: "いつでも日本の家はあなたの家よ。またね、ミキ!" (Itsu demo Nihon no ie wa anata no ie yo. Mata ne, Miki!) Artinya: "Kapan pun rumah di Jepang adalah rumahmu. Sampai jumpa, Miki!"

Miki: "はい、お父さん、お母さん。ありがとうございます!またね!" (Hai, Otōsan, Okāsan. Arigatō gozaimasu! Mata ne!) Artinya: "Iya, Ayah, Ibu. Terima kasih! Sampai jumpa!"

Miki menutup panggilan video itu, senyumnya masih merekah di balik maskernya. Raut wajahnya menunjukkan kebahagiaan dan kelegaan yang luar biasa. Teman-temannya tersenyum melihat Miki yang begitu akrab dengan orang tua angkatnya. Ini adalah sisi Miki yang baru, sisi yang terbentuk dari pengalaman lima tahun jauh dari rumah.

Setelah meletakkan ponselnya, Miki kembali menatap teman-temannya yang sedang menikmati makanan.

"Eh, Clara bener-bener sibuk ya," Miki membuka obrolan lagi, seolah teringat kejadian kemarin. "Udah tiga kali aku telepon enggak diangkat."

Sementara teman-temannya cuma saling pandang dan mengiyakan dengan anggukan atau gumaman. Wajah mereka menunjukkan kegugupan. Mereka tidak tahu harus menjawab apa. Mereka tidak bisa mengatakan bahwa Clara ada di sini, di restoran yang sama. Mereka juga tidak bisa menjelaskan secara gamblang perubahan Clara karena takut Miki akan merasa lebih kecewa.

Sebenarnya, dari dulu teman-teman Miki pengen sekali Miki dan Clara jadian. Mereka melihat ada chemistry yang kuat antara keduanya, bahkan sebelum Miki berangkat ke Jepang. Rasa peduli Miki pada Clara, dan bagaimana Clara dulu selalu mencari Miki saat ada masalah, membuat mereka yakin kalau Miki dan Clara adalah pasangan yang serasi. Namun, takdir berkata lain, dan kini Clara sudah bersama Ardi. Mereka pun tidak ingin merusak kebahagiaan Clara saat ini.

Miki seolah memahami kebisuan teman-temannya. Ia hanya tersenyum tipis di balik maskernya, seperti tidak ada masalah besar yang sedang ia hadapi. Entah apa yang ada di pikiran Miki. Apakah ia memang tidak peduli, atau ia menyembunyikan sesuatu di balik senyum tenangnya itu?


Tamu Tak Terduga di Meja Clara

Tepat ketika Miki baru saja selesai berbicara dengan orang tua angkatnya, dan teman-temannya masih sibuk dengan pikiran masing-masing, pintu restoran kembali terbuka. Kali ini, dua orang pasangan modis memasuki ruangan. Mereka terlihat sangat percaya diri dengan pakaian yang stylish. Mereka tidak lama-lama melihat-lihat, langsung berjalan menuju sudut yang temaram, ke arah meja Clara dan Ardi.

Fani, Dina, Doni, dan Rio saling pandang lagi. Mereka jelas mengenali dua orang ini. Mereka adalah rekan kerja Clara dan Ardi. Bahkan, mereka sering melihat foto-foto mereka di unggahan Clara di media sosial.

Dua pasangan itu langsung mendekat ke meja Clara dan Ardi. Mereka saling menyapa dengan akrab, bahkan tak sungkan cipika-cipiki (cium pipi kanan-cium pipi kiri) yang terkesan sangat modern dan profesional. Suara tawa dan obrolan mereka terdengar samar-samar, menunjukkan betapa akrabnya mereka.

Melihat interaksi itu, Fani, Dina, Doni, dan Rio semakin yakin bahwa mereka harus menjaga jarak antara Miki dan Clara malam ini. Mereka khawatir jika Miki tahu, suasana akan menjadi sangat canggung dan mungkin menyakitkan bagi Miki.

Di sisi lain, Miki masih gak sadar dengan kedatangan dua pasangan baru itu. Ia baru saja selesai telepon dan kini sibuk main handphonenya, mungkin membalas pesan atau melihat-lihat media sosial. Topi dan maskernya masih setia menutupi sebagian besar wajahnya, membuatnya tidak menarik perhatian dan juga tidak bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di sekitarnya.


Pagi yang Mengejutkan di Car Free Day

Minggu pagi, suasana Car Free Day begitu ramai. Jalanan dipenuhi orang-orang yang berolahraga, bersepeda, atau sekadar jalan santai menikmati udara pagi. Di antara keramaian itu, Doni berjalan santai. Ia datang ke sana bukan untuk berolahraga, melainkan hanya untuk cuci mata, menikmati pemandangan dan suasana. Bibirnya sesekali tersenyum melihat berbagai tingkah laku orang-orang di sekitarnya.

Matanya kemudian menangkap sesuatu yang membuatnya mengernyit. Di kejauhan, ia melihat sosok yang sangat familiar: Ardi. Tapi, Ardi tidak sendiri. Ia bersama seorang wanita yang Doni kenali sebagai salah satu rekan kerja Clara dan Ardi yang mereka temui di restoran semalam. Mereka terlihat sangat dekat, melangkah beriringan.

Yang membuat Doni curiga adalah arah tujuan mereka. Ardi dan wanita itu menuju ke belakang GOR, sebuah area yang biasanya sepi dan jarang dilalui orang saat Car Free Day. Penasaran, Doni memutuskan untuk mengikuti dari belakang, menjaga jarak agar tidak ketahuan.

Begitu sampai di belakang GOR yang cukup sunyi, pemandangan di depan Doni membuat matanya membulat. Ardi dan wanita itu sedang berciuman, dalam keadaan tubuh yang berkeringat setelah berolahraga. Pemandangan itu sangat mengejutkan Doni. Ardi adalah pacar Clara, dan wanita itu adalah rekan kerja mereka.

Doni tidak bisa menahan diri. Ia melangkah maju, mendekat ke arah mereka.

Ardi yang mendengar langkah kaki Doni langsung kaget, menarik diri dari wanita itu. Ia menoleh dan melihat Doni berdiri di sana. Wajahnya langsung berubah tegang. "Ngapain lu ngikutin gue?!" tanya Ardi dengan nada marah.

Doni menatapnya tajam. "Lu yang ngapain?! Bagus lu ya, malam sama teman gue, paginya bawa cewek lain?!"

Mendengar itu, Ardi langsung berlari bermaksud memukul Doni, wajahnya merah padam karena marah dan ketahuan. "Mau jadi mata-mata lu?!" teriak Ardi.

Tapi Doni, yang dulunya juga sering terlibat adu fisik ringan di komplek, dengan sigap menghindar. Ia melangkah ke samping, lalu sedikit menarik dan mendorong Ardi ke belakang. Ardi yang kehilangan keseimbangan langsung tersungkur. Rahangnya membentur sesuatu, dan Doni bisa melihat sedikit darah muncul di sana.

Teman cewek Ardi yang tadi berciuman dengannya langsung panik. Ia segera merangkul Ardi. "Enggak apa-apa, Di?" tanyanya, suaranya cemas.

Ardi mengusap rahangnya yang berdarah, mencoba terlihat santai meskipun jelas ia kesakitan. "Santai-santai, enggak apa-apa," jawabnya. Wanita itu hanya diam, tidak berani menatap Doni, wajahnya pucat pasi.

Doni menatap Ardi dan wanita itu sekilas. Tanpa banyak bicara, ia bergegas melangkah meninggalkan keduanya. Pikirannya kalut. Ia tidak menyangka akan menemukan pemandangan ini. Bagaimana cara memberitahu Clara? Dan bagaimana reaksi Miki jika tahu semua ini?


Senin Sore: Wajah Terluka Ardi dan Kekhawatiran Clara

Hari Senin tiba. Suasana kantor seperti biasa, sibuk dengan aktivitas dan suara ketikan keyboard. Clara menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, berharap bisa segera pulang. Ia memutuskan untuk menemui Ardi di ruangannya, berencana untuk pulang bersama.

Sesampainya di depan kubikel Ardi, Clara melihat kekasihnya sedang merapikan meja. Ardi membelakangi Clara, jadi Clara belum melihat wajahnya dengan jelas.

"Ardi, udah mau pulang?" sapa Clara ceria.

Ardi menoleh, dan senyum Clara langsung memudar. Matanya membulat melihat wajah Ardi. Di sudut rahang Ardi, terlihat luka goresan yang cukup jelas, dihiasi sedikit bercak darah kering yang sudah mengering. Wajah Ardi juga tampak sedikit lebam.

"Ya ampun, Ardi! Kamu kenapa?!" Clara langsung mendekat, memegang rahang Ardi dengan hati-hati. Kekhawatiran terpancar jelas di wajahnya.

Ardi meringis pelan saat Clara menyentuh lukanya. Ia berusaha menunjukkan ekspresi tenang, namun rona merah tipis di pipinya tak bisa menyembunyikan rasa malunya.

"Oh, ini," Ardi mengusap rahangnya. "Enggak apa-apa, kok, Ra. Cuma kecelakaan kecil."

Clara menatapnya, bukan dengan curiga, melainkan dengan sorot mata yang penuh perhatian dan keprihatinan. "Kecelakaan kecil gimana? Kok bisa begini? Kayak habis berantem!"

Ardi terkekeh pelan, berusaha mengalihkan perhatian. "Enggak kok, Ra. Masa aku berantem. Ini tadi pagi, waktu lari pagi di Car Free Day."

"Lari pagi? Kamu kan jarang banget lari pagi, Di," ucap Clara lembut, sedikit heran namun lebih diliputi rasa khawatir.

"Iya, tadi pagi iseng aja pengen coba," Ardi mencoba meyakinkan, meskipun suaranya terdengar sedikit kaku. "Lagi asyik-asyiknya lari, terus ada batu kecil. Nggak sengaja kesandung, deh. Jatuhnya pas di rahang. Kan lumayan sepi juga di belakang GOR." Ardi menambahkan detail itu, seolah-olah untuk memperkuat alibinya.

Clara menghela napas. Dia tidak curiga sama sekali. Baginya, alasan Ardi cukup masuk akal, apalagi Ardi memang tak pernah mengeluh soal apapun. Ia hanya khawatir dengan kondisi kekasihnya. "Lain kali hati-hati, dong. Sakit banget pasti, kan?" Clara mengusap luka Ardi dengan lembut. "Udah diobatin belum?"

"Udah, udah. Tadi di kantor udah dikasih P3K kok," jawab Ardi, berusaha menghindari kontak mata terlalu lama. Ia segera mengambil tasnya dan berdiri. "Udah yuk, pulang."

Clara mengangguk, masih merasa tidak enak melihat luka di wajah Ardi. Ia memegang lengan Ardi dan mereka berjalan keluar kantor bersama.

Di sisi lain, Doni yang berada di tempat kejadian Car Free Day pagi itu, kini sedang memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk memberitahukan apa yang ia lihat kepada teman-temannya yang lain, terutama Clara. Ia tahu ini akan menjadi berita yang mengejutkan, dan ia harus berhati-hati agar tidak memperkeruh suasana, terutama mengingat betapa khawatirnya Clara tadi.


Doni Berbagi Rahasia dan Kemarahan Teman-teman

Sore itu, Doni tidak bisa menyimpan apa yang ia lihat sendiri. Ia merasa bertanggung jawab, apalagi melihat bagaimana Clara begitu khawatirnya tadi siang. Doni segera menghubungi Dina, Fani, dan Rio untuk bertemu. Mereka memutuskan untuk berkumpul di kafe langganan mereka.

Begitu bertemu, tanpa basa-basi, Doni langsung menceritakan semua yang terjadi di Car Free Day. Ia menjelaskan bagaimana ia melihat Ardi berduaan dengan rekan kerja Clara, dan puncaknya, bagaimana ia memergoki mereka berciuman. Doni juga menjelaskan pertengkaran yang terjadi dan bagaimana Ardi sampai tersungkur.

Fani, Dina, dan Rio mendengarkan dengan saksama. Raut wajah mereka berubah drastis dari penasaran menjadi terkejut, lalu marah.

"Apa?! Ardi selingkuh?!" Fani berseru tak percaya, suaranya sedikit meninggi.

Dina menghela napas panjang, sorot matanya menunjukkan kekecewaan. "Ya ampun, kok bisa Ardi begitu, ya?"

Rio mengepalkan tangannya di bawah meja. "Brengsek banget itu Ardi! Ardi itu selingkuh sama teman Clara, dan pacar teman Clara juga!"

Doni mengangguk, wajahnya masih kesal. "Gue juga enggak nyangka. Awalnya cuma pengen cuci mata, malah nemu begituan."

Mereka semua larut dalam kemarahan dan kekecewaan. Mereka langsung sepakat ingin melaporkan ini ke Clara. Bagaimana mungkin Clara tidak tahu apa-apa tentang kelakuan kekasihnya? Mereka merasa harus melindungi Clara dari pria seperti Ardi.

"Kita harus kasih tahu Clara secepatnya!" seru Fani. "Dia harus tahu!"

"Tapi, gimana caranya ngasih tahunya? Pasti Clara sakit hati banget," Dina mengingatkan, meskipun ia juga sangat ingin Clara tahu kebenarannya.

"Lebih baik sakit hati sekarang daripada dibohongi terus-menerus," tegas Rio.

Dalam obrolan serius itu, Miki tidak ada bersama mereka. Miki sedang sibuk. Pagi itu ia pergi ke beberapa toko untuk mencari peralatan dan perabotan kecil untuk kebutuhan rumahnya di Jakarta. Ia ingin mengatur tempat tinggalnya agar nyaman, mengingat ia sudah lama tidak tinggal di sana. Karena itu, ia tidak ikut bergabung dengan teman-temannya yang sedang meluapkan emosi. Ia tidak tahu sama sekali tentang kejadian di Car Free Day dan rencana teman-temannya untuk Clara.


Pertemuan di Kafe Outdoor dan Kepercayaan yang Retak

Keesokan harinya, Selasa siang, Dina menghubungi Clara dan mengajaknya bertemu. Fani dan Rio ikut serta, ditemani Doni. Mereka memilih kafe outdoor yang cukup sepi, agar pembicaraan mereka tidak menarik perhatian.

Clara datang dengan senyum cerah. Ia duduk dan memesan minuman. Melihat ketiga sahabatnya duduk serius bersama Doni, ia merasa sedikit heran. "Kalian kok udah di sini aja? Ada apa, nih?" tanya Clara, menyadari suasana yang tidak biasa.

Doni mengambil napas dalam-dalam. "Clara, ada yang perlu kamu tahu." Ia kemudian menceritakan kembali kejadian di Car Free Day, kali ini dengan nada yang lebih serius dan hati-hati. Doni menjelaskan detail bagaimana ia melihat Ardi berciuman dengan rekan kerjanya, dan pertengkaran yang terjadi.

Wajah Clara berubah. Senyumnya memudar, digantikan oleh ekspresi terkejut, lalu kebingungan. Namun, seiring Doni bercerita, sorot kecurigaan mulai muncul di mata Clara. Bukan kecurigaan pada Ardi, melainkan pada Doni. Sejak Doni pertama kali meneleponnya dan Ardi di restoran itu, Clara memang sudah merasa ada yang aneh. Doni jarang sekali menghubungi Clara secara pribadi, apalagi sampai menyusul ke restoran. Kecurigaan itu semakin menguat seiring Doni menceritakan detail yang terasa terlalu personal.

"Doni, kamu ngomong apa sih?" Clara tertawa hambar, mencoba menepis. "Ardi itu orangnya jujur. Dia bilang dia jatuh pas lari pagi. Nggak mungkin dia selingkuh." Clara menggeleng, namun matanya tak lepas dari Doni, seolah mencari-cari kebohongan. "Jangan-jangan, Doni... kamu yang suka sama aku, ya? Makanya kamu ngarang cerita kayak gini buat misahin aku sama Ardi?" tuduh Clara, suaranya mulai meninggi.

Doni, yang awalnya merasa bersalah karena harus menceritakan ini, kini merasa diserang. Wajahnya langsung memerah. "Clara! Apa-apaan sih kamu ngomong gitu?!"

Fani enggak terima Clara bicara begitu. Ia menegakkan tubuhnya, menatap Clara tajam. "Clara! Jaga omongan kamu! Kita di sini berusaha ngasih tahu kamu kebenaran, kok malah nuduh Doni yang enggak-enggak?!" Fani menatap Clara tajam, matanya penuh kekecewaan.

Clara berdiri, napasnya memburu. Amarahnya sudah di ubun-ubun. Dia pikir teman-temannya ingin merusak kebahagiaannya. "Kalian semua memang jahat! Kalian enggak senang kalau aku bahagia sama Ardi, kan?!" teriak Clara, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Aku enggak mau berteman lagi sama kalian!"

Tanpa menunggu balasan, Clara langsung berbalik dan langsung pergi meninggalkan kafe, langkahnya cepat dan marah.

Fani, Dina, Doni, dan Rio terdiam, membeku di tempat duduk mereka. Mereka semuanya saling pandang, tak percaya dengan reaksi Clara. Suasana menjadi hening, hanya ada suara keramaian kafe yang samar.

Akhirnya, Fani menghela napas panjang. "Biarin aja," katanya pelan, suaranya penuh kepasrahan. "Nanti juga dia tahu sendiri kebenarannya."


Pelukan Ardi dan Kebutaan Cinta Clara

Ternyata, sejak awal pertemuan di kafe, Ardi sudah menunggu di mobilnya yang diparkir tak jauh dari sana. Ia sengaja mengamati dari kejauhan, mengantisipasi reaksi Clara. Begitu melihat Clara berdiri dan berteriak, Ardi langsung keluar dari mobil.

Ia berjalan cepat mendekati Clara yang kini sudah berada di tepi jalan, terisak-isak. Ardi segera menggandeng Clara, menariknya ke dalam pelukan. Clara yang menangis tersedu-sedu langsung bersandar di dada Ardi, mencari kenyamanan.

"Sayang, kenapa? Ada apa?" tanya Ardi lembut, sambil mengusap punggung Clara.

Clara mendongak, wajahnya sembab dan merah. Clara ceritakan semuanya, dari awal Doni berbicara hingga tuduhan teman-temannya yang ingin menghancurkan hubungannya.

"Mereka jahat, Di! Mereka mau kita putus! Mereka nuduh kamu selingkuh! Masa Doni bilang dia lihat kamu sama..." Clara tidak sanggup melanjutkan, isakannya semakin keras. "Aku enggak percaya sama mereka, Di! Aku tahu kamu jujur! Mereka cuma iri sama kebahagiaan kita!"

Ardi memeluk Clara erat. Ia hanya mendengarkan setiap keluhan Clara dengan tenang. Wajahnya menunjukkan ekspresi iba, namun ada kilatan licik di matanya yang tidak terlihat oleh Clara.

"Iya, iya sayang. Udah-udah ya," hanya itu yang Ardi katakan, berulang kali, sambil terus menenangkan Clara. Ia tidak membantah, tidak menjelaskan, hanya menenangkan. Bagi Ardi, ini adalah kemenangan mutlak. Clara sudah sepenuhnya berada di genggamannya, dan teman-temannya kini telah disingkirkan.

Clara, yang dibutakan oleh cinta dan kepercayaan pada Ardi, semakin yakin bahwa teman-temannya lah yang salah. Ia merasa sangat terluka dan dikhianati oleh sahabat-sahabatnya sendiri.

Sementara itu, di kafe outdoor yang kini terasa kosong, Fani, Dina, Doni, dan Rio hanya bisa saling pandang. Mereka melihat Clara pergi bersama Ardi, dan menyadari betapa sulitnya membuka mata Clara.


Semakin Lengket di Kantor dan Janji Palsu

Sejak kejadian di kafe itu, Clara tak mau lagi mengangkat telepon dari teman-temannya. Pesan-pesan dari Dina, Fani, maupun Rio hanya dibaca tanpa balasan. Ia sengaja menjauh, merasa dikhianati dan tidak ingin lagi berurusan dengan orang-orang yang menurutnya ingin merusak hubungannya dengan Ardi.

Di kantor, Clara justru terlihat makin lengket dengan Ardi. Seolah ingin menunjukkan kepada dunia bahwa hubungan mereka baik-baik saja, bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Suatu sore, ketika jam kantor hampir usai, Ardi menghampiri Clara di kubikelnya.

Ardi mendekat dari belakang, memeluk pinggang Clara. Ia kemudian menunduk dan mencium belakang telinga Clara, membuat Clara sedikit tersentak.

"Di, udah ah, sana kerja," Clara mendorong pelan tangan Ardi sambil tersenyum. Ia agak risih, takut ketahuan karyawan lain yang masih berlalu lalang. Clara tidak ingin ada gosip tidak enak di kantor, apalagi setelah kejadian Doni memergoki Ardi.

Ardi tidak peduli, ia justru merengek manja. "Sayang, kan aku belum dapat semuanya..." ia berbisik dengan nada menggoda.

Clara tertawa kecil, memutar tubuhnya menghadap Ardi. Ia menangkup wajah Ardi. "Ya nanti kalau kita udah nikah, ku kasih semuanya buat kamu, yah." Clara mencoba bernegosiasi, berharap Ardi mengerti batas-batas privasi di kantor.

Ardi menggaruk kepalanya, pura-pura berpikir. "Iya deeeh..." Ia menyahut dengan nada sedikit kecewa tapi tetap memaksakan senyum. Ardi kemudian berjalan santai kembali ke ruangannya yang berbeda, meninggalkan Clara yang kembali fokus pada pekerjaannya, tanpa menyadari betapa dalam Ardi telah mempermainkannya.

Clara merasa hubungannya dengan Ardi semakin kuat. Ia tidak tahu bahwa Ardi hanya mempermainkannya, menunggu saat yang tepat untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Sementara itu, teman-temannya hanya bisa menyaksikan dari jauh, berharap Clara akan membuka mata dan melihat kebenaran.


Pemandangan Pahit di Ruangan Sebelah

Seperti biasa, ketika jam kantor habis, Clara menyempatkan diri mampir ke ruangan Ardi untuk pulang bareng. Namun, ketika ia tiba, Ardi tidak ada di mejanya. Ruangan itu tampak kosong.

Clara mengernyitkan dahi. Mungkin Ardi sedang ke toilet atau ke ruangan lain. Ia memutuskan untuk menunggu sebentar. Setelah beberapa menit, Ardi tak kunjung muncul. Clara pun berinisiatif mencarinya. Ia ingat Ardi sering berinteraksi dengan rekan kerja di ruangan sebelah, terutama dengan Siska.

Dengan langkah ringan, Clara berjalan ke ruangan sebelah. Ia mengetuk pintu yang sedikit terbuka, namun tidak ada jawaban. Karena pintu memang tidak tertutup rapat, Clara akhirnya mendorongnya perlahan.

Apa yang terjadi ketika dia membuka pintu sungguh di luar dugaan. Pemandangan di hadapannya begitu kontras, membekas tajam di retina matanya.

Di dalam ruangan itu, terlihat Ardi dan Siska sedang berdua. Keadaan Siska sangat berantakan. Hanya rok yang terangkat hingga pinggang, dan ia hanya mengenakan bra putih. Ia duduk mengangkang di atas meja kerja, sementara Ardi berdiri di antara kedua pahanya, melakukan sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Melihat kejadian itu, dunia Clara runtuh seketika. Semua yang dikatakan Doni dan teman-temannya mendadak menjadi kenyataan pahit. Kebohongan Ardi terpampang jelas di depan matanya.

"Anjing!" Clara memekik, suaranya pecah dipenuhi amarah dan rasa sakit. "Ternyata benar apa yang dibicarakan teman-temanku!"

Ardi dan Siska yang terkejut setengah mati, langsung membeku di tempat. Mereka segera menarik diri satu sama lain. Wajah Ardi pucat pasi, sementara Siska berusaha merapikan roknya dengan tangan gemetar. Keduanya hanya menunduk, tak berani menatap Clara yang kini berdiri di ambang pintu, air mata bercampur amarah mengalir deras di pipinya.

Napas Clara terengah-engah. Ia menatap mereka berdua dengan sorot penuh kebencian dan pengkhianatan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, Clara berbalik badan dan bergegas pergi dari ruangan itu, meninggalkan Ardi dan Siska dalam kekacauan dan rasa malu yang luar biasa.

Ia berlari menyusuri koridor kantor, tidak peduli dengan tatapan mata karyawan lain yang mungkin melihatnya. Air mata membasahi pipinya, bukan lagi karena kemarahan semata, tetapi karena rasa sakit yang menghantam ulu hatinya. Hancur, semua kepercayaan yang selama ini ia berikan kepada Ardi. Dan di benaknya, hanya ada satu penyesalan: mengapa ia tidak mendengarkan teman-temannya?


Clara Mencari Pengampunan dan Mengingat Miki

Clara terus berlari hingga ia tiba di area parkir. Tangisnya pecah tak tertahankan. Ponselnya bergetar di dalam tas, entah siapa yang menelepon. Ia hanya ingin pulang, ingin melupakan semua yang baru saja ia lihat.

Setelah berhasil menenangkan diri dan tiba di kost-annya, Clara duduk termangu di sofa kecilnya. Matanya bengkak, wajahnya sembab. Pikirannya kosong, namun hati dan kepalanya terasa penuh dengan adegan Ardi dan Siska yang terus berputar. Betapa bodohnya ia. Betapa butanya ia selama ini.

Dengan tangan gemetar, Clara meraih ponselnya. Ia membuka daftar kontak, dan menemukan nama-nama yang selama ini ia abaikan: Dina, Fani, Rio, dan Doni. Ia tahu ini adalah waktu yang tepat untuk meminta maaf.

Clara menghubungi Dina terlebih dahulu. Panggilan pertama tidak diangkat. Panggilan kedua, Dina mengangkatnya dengan suara ragu.

"Dina..." Suara Clara serak, menahan tangis. "Gue... gue minta maaf."

Dina terdiam sesaat, lalu terdengar helaan napas. "Ada apa, Ra?" tanyanya lembut.

Clara pun mulai menceritakan semua yang baru saja terjadi di kantor, setiap detail pahit yang ia saksikan. Ia bicara dengan suara bergetar, wajahnya sayu, tapi anehnya, air mata tak lagi menetes. Mungkin karena saking sakitnya, ia sudah kehabisan air mata.

Setelah Clara selesai bercerita, Dina mengajak teman-teman yang lain untuk berkumpul. Tak lama, Dina, Fani, Rio, dan Doni sudah berada di kost-an Clara. Mereka melihat Clara yang tampak sangat terpukul, namun juga terlihat lebih tenang dan sadar.

"Maaf, teman-teman. Maafin gue yang udah buta, yang udah nuduh kalian yang enggak-enggak," ucap Clara lirih, menatap satu per satu wajah sahabatnya. "Terutama lo, Doni. Gue minta maaf banget udah nuduh lo yang macem-macem."

Doni mengangguk pelan, tanpa dendam di matanya. Hanya ada rasa kasihan dan simpati. "Santai aja, Ra. Yang penting sekarang lo udah tahu kebenarannya."

Fani dan Rio mengangguk setuju, Dina mengusap punggung Clara. "Kita ngerti, Ra. Kita semua ada di sini buat lo."

Clara menghela napas, mencoba mengatur perasaannya. Tiba-tiba, ia teringat sesuatu. "Miki... Andai Miki sudah pulang..." Gumam Clara, ada sedikit penyesalan dalam suaranya. Miki adalah sahabat terdekatnya, dan ia benar-benar merasa bersalah karena tidak tahu menahu tentang kondisi Miki.

Mendengar itu, Dina, Fani, Rio, dan Doni tersenyum dan langsung tertawa pelan.

"Udah satu bulan kali, Ra, dia di rumah," kata Dina sambil terkekeh geli.

Clara langsung kaget. Matanya membulat. "Apa?! Udah sebulan?!" Ia tidak percaya. Rupanya dia telah mengabaikan Miki selama sebulan ini. Pikiran Clara langsung dipenuhi rasa bersalah yang lebih besar. Ia merasa begitu egois, hanya berpusat pada dirinya dan hubungannya dengan Ardi.

"Kok kalian enggak bilang sih?!" Clara bertanya dengan nada frustrasi, namun di ujung kalimatnya ada sedikit senyum getir.

Rio tertawa kecil. "Mau bilang gimana, Ra? Lunya sibuk. Belum ngomong, kamu udah pergi duluan." Ia merujuk pada kejadian di kafe kemarin, saat Clara langsung marah dan pergi tanpa mendengarkan.

Clara terdiam, menunduk. Rasa bersalah semakin menyelimutinya. Mereka benar. Ia terlalu tenggelam dalam dunianya sendiri. Kini, ia harus menghadapi kenyataan pahit ini, dan juga memperbaiki hubungannya dengan teman-temannya. Terutama dengan Miki.


Senyum Miki yang Tulus dan Perubahan Fisik yang Mengejutkan

"Terus Miki tahu enggak, aku pacaran sama Ardi?" tanya Clara, suaranya sedikit lebih pelan, penuh harap.

Rio menjawab dengan senyum tipis, "Tahu lah."

"Terus, reaksinya gimana?" Clara bertanya lagi, penasaran. Ada keraguan di hatinya, apakah Miki akan bereaksi seperti teman-temannya yang lain.

Rio menggelengkan kepala, "Enggak tahu. Dia cuma senyum-senyum aja, kayak orang seneng kalau kamu udah punya pacar." Rio memang mengatakan yang sebenarnya. Miki tidak menunjukkan reaksi lain selain senang. Ia adalah tipe orang yang sangat menjunjung tinggi kebahagiaan sahabatnya, bahkan jika itu berarti ia harus mengesampingkan perasaannya sendiri. Miki tidak mencari tahu lebih jauh tentang Ardi, karena ia sepenuhnya percaya pada pilihan Clara. Baginya, jika Clara bahagia, maka ia pun bahagia. Ia tidak pernah punya niat buruk sedikit pun.

Clara merasakan campuran lega dan penyesalan. Lega karena Miki tidak marah, tapi menyesal karena ia terlalu sibuk dengan Ardi sampai-sampai mengabaikan Miki.

"Terus gimana dia sekarang? Kabarnya, keadaannya?" Clara kembali bertanya, kali ini dengan nada yang lebih cemas. Ada keinginan kuat dalam dirinya untuk segera menemui Miki.

Dina tersenyum lembut. "Miki baik-baik aja kok, Ra. Dia lagi sibuk nata rumahnya di Jakarta. Katanya sih, udah lumayan rapi. Dia juga bilang udah mulai adaptasi lagi sama suasana kota."

"Dia sempat sakit kemarin, makanya pulang ke rumah," sambung Fani. "Tapi udah sehat kok sekarang. Justru dia udah bersemangat banget mau mulai kerja lagi."

Rio menambahkan, "Dia masih sering nanyain kabar kamu, Ra. Walaupun kamu enggak pernah bales chat dia." Rio menatap Clara dengan sorot pengertian, tanpa menyalahkan.

"Pokoknya, Ra, kalau lu ketemu dia, berubah banget!" seru Fani bersemangat. "Kadang ngomongnya masih kayak orang Jepang. Yang enggak berubah itu kelakuannya, masih tetap enggak jelas orangnya."

Clara terdiam, menunduk. Rasa bersalah semakin menyelimutinya. Mereka benar. Ia terlalu tenggelam dalam dunianya sendiri. Kini, ia harus menghadapi kenyataan pahit ini, dan juga memperbaiki hubungannya dengan teman-temannya. Terutama dengan Miki.

"Aku harus nemuin dia," ucap Clara mantap. "Besok pagi aku mau ke rumah Miki, minta maaf langsung."


Hari Baru, Keputusan Baru di Kantor

Rabu pagi, suasana kantor terasa berbeda bagi Clara. Bukan lagi karena euforia cinta, melainkan karena keputusan bulat yang ia ambil. Clara datang ke kantor dengan niat yang jelas: menghindari Ardi dan Siska. Ia tak ingin ada lagi interaksi yang bisa mengusik ketenangan batinnya. Sepanjang hari, Clara fokus penuh pada pekerjaannya, meminimalkan pergerakan di area kantor yang berpotensi mempertemukannya dengan Ardi atau Siska. Tawaran makan siang dari rekan kerja ia tolak halus, memilih makan di meja kerjanya.

Ketika jam kerja usai, Clara tak langsung pulang. Ia pergi ke toilet kantor. Di sana, ia berdiri di depan wastafel, mencuci wajahnya berkali-kali, seolah ingin menghapus semua sisa kepedihan dan pengkhianatan yang ia rasakan. Setelah mengelap wajahnya dengan beberapa lembar tisu dari tasnya, Clara mengeluarkan alat make up-nya. Dengan beberapa polesan tipis foundation, sedikit blush on, dan sentuhan lipstik, aura kecantikan Clara kembali terpancar. Ia ingin terlihat segar, bukan seperti wanita yang baru saja dihancurkan.

Clara menarik napas panjang, memantapkan hati. Ia memesan ojek online menuju rumah Miki. Selama perjalanan, hatinya berdebar. Ada rasa rindu, rasa bersalah, dan sedikit gugup membayangkan pertemuannya dengan Miki setelah sekian lama mengabaikannya.

Ketika ojek memasuki gang sempit menuju rumah Miki, Clara melihat beberapa ibu-ibu sedang berkumpul di depan rumah. Salah satunya adalah Ibu Wati, ibu Miki. Mereka tampak hendak berangkat ke pengajian rutin di rumah Pak RT.

Begitu Clara turun dari ojek, beberapa ibu-ibu langsung berbisik-bisik.

"Loh, itu siapa? Kok cantik banget? Bule nyasar ya?" bisik salah satu ibu.

"Ih, bukan! Itu si Clara!" sahut ibu yang lain dengan suara nyaris berbisik namun penuh intrik. "Itu lho, mantan istrinya Andra Wijaya, pemain sinetron itu!"

Bisik-bisik itu terdengar jelas di telinga Clara, membuatnya sedikit risih. Namun, ia berusaha mengabaikannya.

Ibu Wati, yang menyadari kehadiran Clara, langsung kaget bercampur bahagia. Wajahnya cerah. "Clara! Ya ampun, Nak! Kok baru main ke sini? Miki udah sebulan lebih di rumah lho!" seru Ibu Wati, nadanya penuh kehangatan. Ia langsung mendekat, memeluk Clara erat.

Clara membalas pelukan Ibu Wati. "Maaf ya, Bu. Clara sibuk banget akhir-akhir ini," ia berbohong, merasakan gelombang rasa bersalah karena telah mengabaikan Miki dan ibunya.

Ibu Wati mengangguk mengerti, tanpa curiga sedikitpun. "Iya, Ibu paham. Memang begitu kalau orang kantoran. Miki juga sibuk terus itu sekarang, katanya lagi semangat-semangatnya kerja lagi." Ibu Wati kemudian tersenyum ramah. "Miki ada di dalam kok, Nak. Tadi habis bantu-bantu sedikit di rumah, terus kecapekan. Sekarang lagi tidur kayaknya."

Mendengar bahwa Miki sedang tidur, Clara merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. Ada campuran rasa lega karena Miki tidak akan langsung melihat matanya yang sembab, dan rasa cemas akan bagaimana pertemuannya dengan Miki nanti. Ia mengangguk pada Ibu Wati. "Makasih ya, Bu."

"Ibu mau ke pengajian dulu ya, Nak. Kamu masuk aja, seperti rumah sendiri," kata Ibu Wati, lalu berpamitan dengan Clara dan rombongan ibu-ibu pengajian yang masih sibuk berbisik-bisik.

Clara melangkah masuk ke dalam rumah Miki. Suasana hening. Ia melihat sekeliling, merasakan kehangatan rumah Miki yang selalu familiar.


Pertemuan yang Dinanti di Kamar Miki

Dengan jantung yang makin berdebar, Clara perlahan membuka pintu kamar Miki. Derit pelan pintu tak cukup membangunkan Miki yang pulas tertidur. Terpampang di hadapannya, Miki terlelap damai. Wajahnya kini terlihat begitu bersih dan sedikit lebih putih dari yang Clara ingat dulu. Ada kesan segar dan terawat yang terpancar.

Clara teringat masa-masa SMA dulu. Setiap kali ia berkunjung dan mendapati Miki masih tidur, tanpa ragu ia akan langsung menendang bokong Miki atau menarik selimutnya dengan kasar, membangunkan Miki dengan tawa riang. Tapi kini, semua kenangan itu hanya menjadi ironi. Ia merasa begitu sungkan, ragu, dan malu. Ingin rasanya berbalik pulang, namun kakinya terasa terpaku di ambang pintu. Ia tahu ini adalah kesempatan untuk memperbaiki semuanya.

Clara menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia merapikan rambut sebahu yang berwarna cokelat madu miliknya. Kemudian, ia meletakkan tas kerjanya di lantai dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Perlahan, Clara melangkah mendekat dan duduk di salah satu kursi kayu yang berada tepat di samping kepala Miki. Ia menatap wajah sahabatnya yang sedang tertidur itu, sejenak hanyut dalam penyesalan dan kerinduan yang mendalam.

Perasaan Clara makin tak karuan. Udara di kamar Miki yang terasa hangat seolah ikut memanasi tubuhnya. Keringat mulai membasahi kulitnya. Ia melepas kemeja kerjanya, memperlihatkan kaos lengan pendek putihnya yang sedikit basah oleh keringat. Clara duduk di kursi itu, menatap Miki yang masih terlelap. Tangis yang sedari tadi ia tahan akhirnya tak bisa dibendung lagi. Ia terisak pelan sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangannya, bahunya berguncang menahan isakan.

Tak lama, Miki perlahan membuka mata. Ia mengerjap-ngerjap, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya. Matanya membulat kaget begitu menyadari Clara duduk di hadapannya. Ia langsung terbangun dan tersenyum lebar, sebuah senyum tulus yang selalu Miki berikan.

Clara menurunkan kedua telapak tangannya, menatap Miki dengan mata sembab.

"Ra... kok nangis? Kangen aku ya?" Miki bertanya, suaranya lembut dan penuh kehangatan, sama sekali tak menyadari badai emosi yang tengah melanda Clara.

Clara sedikit tersenyum haru, menahan tangis yang masih ingin pecah.

"Kenapa?" tanya Miki lagi, kini dengan raut wajah sedikit bingung melihat Clara yang tak berhenti terisak.

Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Clara mengangkat tangannya dan menampar keras pipi Miki. "PLAK!" Suara tamparan itu memenuhi ruangan yang hening.

Miki meringis, memegang pipinya yang memerah. Ia membalikkan badan, membelakangi Clara. "Kenapa kamu pulang tak bilang-bilang?" Clara bertanya lagi, suaranya bergetar menahan isakan tangis yang kini makin deras.

Belum sempat Miki menjawab, Clara sudah melampiaskan kemarahannya lagi. Ia memukuli punggung Miki berkali-kali, rentetan pukulan yang tak bertenaga namun penuh emosi. Miki terhuyung mundur hingga tersudut ke tembok. Tadinya, Miki hendak menangkis dan memegang tangan Clara, namun ia sadar. Miki paham, Clara bukan saja kecewa padanya, Clara seperti sedang mengeluarkan unek-unek yang sudah lama terpendam dalam dirinya. Ia membiarkan Clara melampiaskan semuanya.

Perlahan, pukulan Clara melemah. Tangannya tak lagi bertenaga. Ia menjatuhkan kepalanya di punggung Miki, memeluknya dari belakang. Tangisnya pecah, tersedu-sedu.

"Maafin aku, Ra..." kata Miki pelan, suaranya terdengar begitu lembut, penuh pengertian.

Clara masih menangis di punggung Miki. Kadang ia seperti ingin bicara, tapi kata-katanya tersendat, tak jelas, hanya berupa gumaman tak berarti yang bercampur dengan isakan. Ia memeluk Miki semakin erat, mencari kenyamanan yang selama ini ia abaikan.

Kemudian, perlahan Clara melepaskan pelukannya. Ia membalikkan badan, bergeser dari kursi, dan duduk di tepi ranjang Miki sambil menatap ke jendela. Tangisannya perlahan mulai berhenti. Ia sesekali menarik napas dalam, mencoba menenangkan sisa gejolak emosi di dadanya.

Sementara itu, Miki memperhatikan dari belakang. Ia beringsut duduk di lantai, bersandar ke tembok. Pikirannya melayang, mengingat betapa beratnya jalan hidup Clara. Dari perceraiannya dengan pemain sinetron Andra Wijaya, lalu ayahnya meninggal dunia. Dan kini, ia baru saja mendengar dari teman-temannya pagi tadi bahwa Clara memiliki pacar tapi justru diselingkuhi. Miki bisa merasakan betapa hancurnya hati Clara saat ini. Ia ingin memeluk sahabatnya lagi, tapi tahu Clara butuh ruang untuk sendiri, untuk menenangkan diri dan memproses semua rasa sakitnya. Miki hanya akan berada di sana, menemaninya dalam diam.

"Ra, baru pulang kerja ya?" Miki membuka obrolan, mencoba memecah keheningan yang menyesakkan.

Clara tak menghiraukannya. Namun, setelah beberapa saat, ia menjawab dengan nada ketus, "Basi banget pertanyaanya."

Miki merebahkan tubuhnya ke lantai, di atas permadani, bersandar pada kaki ranjang. Miki bergumam, "Nasi kali basi." Clara menunduk, memejamkan mata, menahan senyum yang tipis tersungging.

"Kalau habis nangis, pipi kamu merah, Ra," kata Miki lagi, suaranya pelan.

Kali ini Clara diam lagi, setelah berhasil menahan senyumnya. Miki tak menyerah. "Merah jambu," kata Miki lirih sambil memainkan ponselnya, mencoba mengalihkan perhatian Clara dengan candaannya. Clara tetap terdiam. "Jambunya jatuh," lanjut Miki. Clara kembali menahan senyum sambil menutup mata. Clara sudah tahu dari dulu kelakuan Miki: jika dirinya sedang marah, Miki akan berusaha membuatnya tertawa dengan cara apa pun. Tapi kali ini, Clara bersumpah dalam hati, 'gak akan bisa'.

"Keinjek gajah," lanjut Miki, suaranya makin melirih seolah takut Clara benar-benar marah.

Mendengar itu, Clara benar-benar ingin tertawa. Ia sampai membekap mulutnya sendiri agar suara tawanya tidak pecah. Kemudian, ia menarik napas, matanya masih tetap memandang keluar jendela dan tak menghiraukan Miki.

"Susah kalau ngajak ngomong sama janda," kata Miki, meluncurkan kalimat pamungkasnya dengan nada yang tak terduga.

Mendengar itu, Clara langsung menoleh. Sebuah senyum tipis, namun penuh ancaman, tersungging di bibirnya. "Apa kamu bilang?!"

Sebelum Miki sempat bereaksi, Clara dengan cepat bangkit dan menginjak leher Miki yang lagi tiduran di lantai. Tentu saja Miki gelagapan, napasnya langsung tercekat.

"Hahahahhh... ampun, Ra! Aku gak bisa napas nih!" seru Miki, berusaha melepaskan diri dari injakan Clara. Namun, di tengah kesulitannya bernapas, ada pemandangan yang bisa memanjakan matanya; rok Clara sedikit tersingkap naik, memperlihatkan sedikit pahanya.

"Biarin!" Clara tak melepaskan kakinya.

"Ra... Ra, itu kamu kelihatan, Ra!" Miki mencoba mengingatkan, berharap Clara melepas injakannya.

"Biaaaarrriiiin!" jawab Clara, suaranya sengaja dibuat melengking. Ia masih menahan tawa, tapi kini juga diselimuti rasa lega. Miki selalu berhasil membuatnya melupakan sejenak masalahnya. Clara tahu, meski ia marah, Miki selalu ada di sana, siap menjadi tempatnya melampiaskan segala emosi.

"Lepasin, Ra! CD kamu kelihatan!" sontak Miki berteriak dengan nada panik.

Mendengar itu, Clara langsung tersentak. Seketika ia melepaskan injakannya dan merapikan roknya dengan cepat, wajahnya memerah padam karena malu. Sorot matanya masih menatap Miki yang terbaring kesakitan, namun ada senyum geli yang tak bisa ia sembunyikan di bibirnya. Miki sendiri terbatuk-batuk, memegangi lehernya, tapi tak bisa menahan tawanya melihat reaksi Clara.

"Anjrit, lu punya karate, Ra? Sakit banget!" Miki terengah-engah, mengusap lehernya yang tadi terinjak.

Clara tersenyum puas melihat Miki yang kesakitan tapi juga tertawa. "Rasain!" jawab Clara, bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang penuh kemenangan.


Permintaan Maaf Miki yang Tulus dan Balasan Clara

Miki perlahan mendekati Clara yang masih terduduk di tepi ranjang dengan pandangan keluar jendela. Ia bergerak hati-hati, memastikan tidak membuat Clara terkejut lagi. Telunjuknya dengan lembut menyolek sisi kanan perut Clara yang masih terbuka, seolah ingin menarik perhatiannya.

Sontak Clara terperanjat, "Apaan sih?!" katanya, kaget. Kelakuan seperti ini adalah ciri khas Miki, sama seperti ketika ia masih sekolah dulu, saat Miki sering melakukan hal serupa untuk minta contekan. Kebiasaan kecil itu membuat hati Clara menghangat, meski ia masih berusaha menjaga jarak emosionalnya.

Clara menoleh dan membalikkan badan, kini menghadap Miki. "Ra, maafin gue ya?" kata Miki, suaranya lebih serius, penuh sesal.

Mendengar itu, Clara menatap Miki dengan saksama. Mata Miki yang biasanya penuh canda kini menunjukkan ketulusan yang mendalam.

"Gue pulang dari Jepang nggak bilang-bilang," lanjut Miki, menatap Clara lekat. "Kadang waktu lu nelpon, gue-nya masih sibuk. Kadang di sana, aku inget lu dan teman-teman lainnya. Dengar bapak lu meninggal... dengar kamu cerai... gue sebenarnya pengen... ada buat lu. Maafin aku ya, Ra."

Suasana mendadak hening, hanya ada napas mereka berdua. Miki tidak lagi bercanda, tatapannya begitu lembut, penuh penyesalan. Clara melihat Miki yang tulus di hadapannya, dan semua dinding pertahanan yang ia bangun perlahan runtuh.

Clara menunduk, rasa bersalah kembali menyelimutinya. Air matanya kembali menggenang. "Nggak, Ki... seharusnya aku yang minta maaf." Clara mengangkat wajahnya, menatap Miki dengan mata berkaca-kaca. "Aku... aku minta maaf juga, Ki. Maafin aku yang suka abaikan telepon dari kamu. Aku tahu, harusnya aku ada buat kamu, tapi aku malah sibuk sama si anjing itu." Suara Clara bergetar, dipenuhi kemarahan dan penyesalan. "Maafin aku, ya?"

Miki hanya menatap Clara, senyum tipis terukir di bibirnya. Ia mengerti.

Perjalanan Menuju Senja di Pantai

Keduanya terdiam sejenak. Suasana canggung yang bercampur kelegaan menyelimuti mereka.

"Miki, keluar yuk," Clara memecah keheningan, suaranya lebih tenang, namun ada nada memohon. Ia mengulurkan tangannya, memegang tangan Miki.

Miki mengerutkan kening. "Ke mana, Ra? Ini sudah sore."

"Biarin," jawab Clara. "Ke pantai aja. Aku pengen lihat sunset." Nada suaranya penuh harap, seolah ingin melarikan diri dari segala beban yang baru saja ia alami.

Miki tersenyum tipis, memahami keinginan Clara. "Oke deh, entar aku keluarin motor dulu."

Mereka berdua keluar dari kamar. Miki berjalan ke garasi dan mengeluarkan motor listrik barunya yang baru dibeli dua hari yang lalu. Motor itu tampak ramping dan modern, warnanya putih bersih.

"Wihh, motor baru nih!" Clara tersenyum, matanya berbinar melihat motor Miki. Senyum yang lebih tulus daripada yang ia tunjukkan belakangan ini.

Miki hanya nyengir kuda, "Hehe." Ia merasa senang melihat Clara bisa tersenyum lagi.


Kisah di Jepang dan Cerita Balik Clara

Miki menyalakan motornya, dan suara mesin listrik yang halus memenuhi garasi. Clara naik ke jok belakang, melingkarkan tangannya di pinggang Miki, kebiasaan lama yang kini terasa begitu nyaman. Mereka pun melaju, menembus lalu lintas sore Jakarta yang mulai padat. Angin sore menerpa wajah Clara, terasa menyejukkan.

"Ki, selama di Jepang gimana?" Clara bertanya, suaranya sedikit meninggi agar terdengar oleh Miki di tengah bising jalanan. "Kerjaan kamu di sana gimana? Kamu beneran kerja di perusahaan besar yang itu?"

Miki sedikit memiringkan kepalanya, mencoba mendengar lebih jelas. "Yang mana, Ra?"

"Itu lho, yang katanya perusahaan teknologi raksasa, yang kamu bilang pas awal-awal telepon dari sana," Clara menjelaskan, nada penasarannya kentara.

Miki tertawa kecil. "Oh, itu... iya, gue kerja di sana. Lumayan, Ra. Banyak belajar hal baru. Sempat stres juga awalnya, adaptasi sama budaya kerja mereka yang gila banget." Ia menarik napas. "Tapi ya gitu, namanya juga demi masa depan, kan?"

Clara merapatkan pelukannya. "Terus, gimana ceritanya kamu bisa pulang mendadak gini? Kan katanya kontrakmu masih lama?"

Miki terdiam sejenak, seolah menimbang-nimbang. "Ada beberapa hal, Ra. Nanti deh aku ceritain pas di pantai. Lebih enak ngobrol di sana, kan?"

Clara mengangguk, meski Miki tak bisa melihatnya. Ia tahu Miki pasti punya alasan tersendiri. Yang penting, Miki ada di sini, di sampingnya, dan mereka akan melihat matahari terbenam bersama.

Setibanya di pantai, aroma asin laut langsung menyambut mereka. Langit mulai dihiasi semburat jingga dan ungu. Mereka memilih duduk di pasir, tak jauh dari bibir pantai. Miki menyalakan sebatang rokok, asap tipis meliuk di udara.

"Kamu suka merokok ya sekarang?" tanya Clara, heran namun tersenyum tipis.

"Ya, jarang-jarang. Satu bungkus bisa sampai tiga hari," jawab Miki santai.

Miki menarik napas dalam, lalu mulai bercerita. "Jadi gini, Ra. Waktu itu kan aku lagi jalan pulang kerja, terus aku lihat seorang perempuan sekitar umur 40-an. Dia lagi kerepotan banget, barang belanjaannya, terutama buah-buahan, berjatuhan dari kantongnya. Tanpa mikir panjang, aku langsung bantu dia pungutin semua."

Miki tersenyum tipis, mengingat momen itu. "Sejak saat itu, aku sering banget ketemu dia di jalan, entah pas berangkat atau pulang kerja. Dia ramah banget, selalu nyapa. Sampai akhirnya, dia ajak aku mampir ke rumahnya. Namanya Tuan Kenji dan Nyonya Akiko. Dari situ, dia sering banget nanyain gue kerja di mana, tinggal di mana," Miki melanjutkan. "Awalnya gue cuma jawab seadanya. Tapi dia baik banget, sering nawarin gue makan, atau sekadar teh hangat kalau lagi di jalan."

"Dan ternyata," Miki menegaskan, "suaminya, Tuan Kenji, adalah salah satu manajer di perusahaan tempat gue kerja." Miki menatap Clara. "Mereka sudah menikah 17 tahun, tapi belum dikaruniai anak. Makanya dia angkat aku sebagai anaknya. Setiap libur kerja aku disuruh nginep hanya untuk sekadar ngobrol."

Miki menarik napas lagi. "Sebenarnya, gue harusnya sudah pulang lima bulan yang lalu."

Clara mengernyit. "Lho, kok bisa?"

"Iya. Waktu itu gue udah siap-siap mau pulang, tiket juga udah di tangan," lanjut Miki. "Tapi Tuan Kenji sama Nyonya Akiko mencegah gue. Mereka bilang, 'Miki, nanti saja lima bulan lagi. Kami ada proyek besar yang harus kamu bantu. Kami ingin kamu melihat prosesnya sampai selesai. Setelah itu, kamu bebas mau kembali ke Indonesia kapan pun.'" Miki mengangkat bahu. "Ya, mau gimana lagi, Ra. Proyeknya memang penting banget buat mereka."

Clara mendengarkan dengan saksama. Ada campuran rasa kagum dan penyesalan di matanya. Kagum pada Miki yang berhasil mengubah hidupnya, dan menyesal karena ia tak ada di samping Miki selama ini.

Sekarang giliran Clara. Ia meraih rokok yang sedang dihisap Miki, menariknya pelan dari bibir Miki. "Minta dong," Clara tersenyum, senyum yang kali ini lebih tulus dan tanpa beban.

"Jangan, nanti batuk," kata Miki, khawatir.

"Tenang," balas Clara, mengisap rokok itu dalam-dalam, "Aku juga kadang suka merokok kalau lagi stres." Asap mengepul dari bibirnya, dibawa angin laut. Untuk sesaat, beban di pundaknya terasa sedikit lebih ringan.


Curahan Hati Clara

Clara menoleh ke arah laut, menatap ombak yang berkejaran. Ia menghela napas, bersiap untuk menceritakan sisi gelap kehidupannya. Rokok di tangannya mengepul tipis, seolah ikut menemaninya dalam diam.

"Kamu tahu, Ki..." Clara memulai, suaranya lirih, hampir tenggelam oleh deru ombak. "Setelah bapak meninggal, rasanya dunia hancur. Ditambah lagi si Andra..." Clara menghentikan kalimatnya, teringat kembali luka lama. "Aku nggak nyangka bakal seberat itu, Ki. Selama ini aku selalu berusaha tegar, tapi rasanya capek banget."

Ia mengambil isapan lagi dari rokok Miki. "Terus, soal si anjing itu..." Clara menyebutnya dengan nada jijik. "Aku pikir dia beda, Ki. Aku pikir setelah semua yang aku alami, akhirnya aku bisa nemu orang yang tulus." Clara tertawa hambar. "Ternyata, aku salah lagi. Dia sama aja."

Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun kali ini ia tidak menangis tersedu-sedu. Hanya tetesan yang perlahan jatuh membasahi pipi.  Clara menggigit bibir bawahnya, menahan rasa perih. "Rasanya... aku udah nggak punya siapa-siapa lagi, Ki."

Miki mendengarkan dengan seksama, hatinya teremas mendengar setiap kata yang keluar dari bibir Clara. Ia tahu betapa beratnya Clara menghadapi semua ini sendirian. Perlahan, Miki mengulurkan tangannya, mengusap punggung Clara dengan lembut, mencoba memberikan kekuatan.

Miki mencondongkan tubuhnya, mendekat ke Clara. Ia menarik tangan Clara yang tadi mengusap air mata, lalu menggenggamnya erat. Hangat tangan Miki terasa menenangkan.

"Ra... dengerin aku," kata Miki, suaranya lembut tapi tegas, membuat Clara menoleh. "Kamu nggak sendirian. Ada aku di sini. Ada Rio, Dina, Fani, Doni. Kita semua selalu ada buat kamu. Kamu itu sahabat terbaikku, Ra. Jangan pernah merasa sendiri."

Miki menghela napas. "Mungkin aku nggak selalu ada di sampingmu setiap waktu, tapi kamu tahu kan, aku selalu peduli sama kamu. Aku janji, mulai sekarang, aku akan lebih sering menjengukmu, memastikan kamu baik-baik saja." Ia menatap Clara dalam-dalam, "Aku janji, Ra. Aku nggak akan biarin kamu sendirian lagi."

Clara menatap Miki. Ada genangan air mata yang membasahi matanya, tapi kali ini bukan karena kesedihan. Ada rasa lega dan hangat yang menjalar di dadanya. Ia membalas genggaman tangan Miki, erat.

Langit di barat semakin memerah, memantulkan cahaya keemasan di permukaan laut. Garis cakrawala seolah terbakar, indah sekaligus melankolis. Dua sahabat itu duduk bersisian, saling menguatkan di tengah hiruk pikuk ombak yang perlahan menepi.


Bangkit dari Keterpurukan

Clara menyandarkan kepalanya di bahu Miki. Rasanya sudah lama sekali ia tidak merasakan kedekatan dan rasa aman seperti ini. "Makasih, Ki," bisiknya, suaranya serak. "Makasih karena kamu selalu ada. Aku nggak tahu gimana kalau nggak ada kamu."

Miki hanya tersenyum tipis, merangkul bahu Clara. Mereka berdua terdiam, menikmati keindahan matahari terbenam yang memukau. Cahaya keemasan terakhir menyentuh wajah mereka, seolah memberikan harapan baru.

Setelah beberapa saat, Clara mengangkat kepalanya. Matanya masih sedikit sembab, tapi kini ada secercah kekuatan di sana. "Aku harus bangkit, Ki," katanya dengan tekad. "Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini."

Miki mengangguk, bangga melihat Clara kembali menemukan semangatnya. "Itu baru Clara yang aku kenal," pujinya. "Kita akan hadapi ini sama-sama. Kamu nggak perlu khawatir."

Clara tersenyum tulus, senyum yang lama tidak Miki lihat. "Mungkin... mungkin aku harus mulai dari awal lagi, Ki. Cari pekerjaan baru, coba lingkungan baru."

"Apapun keputusanmu, aku akan dukung," kata Miki. "Dan ingat, kalau kamu butuh teman cerita, butuh bahu untuk bersandar, aku selalu ada. Kapan pun, Ra."

Mereka duduk di sana hingga gelap sepenuhnya menyelimuti pantai, berbicara tentang masa depan, tentang mimpi-mimpi yang sempat terkubur, dan tentang persahabatan yang tak lekang oleh waktu. Malam itu, di bawah langit berbintang, Clara merasa lebih kuat dan tidak sendirian lagi. Ia tahu, dengan Miki di sisinya, ia bisa menghadapi apa pun yang terjadi.

Dua hari kemudian, Miki dan teman-temannya sedang berkumpul di sebuah kafe langganan mereka. Suasana sore itu cukup ramai, dengan obrolan dan tawa yang saling bersahutan. Namun, Miki terlihat sedikit gelisah, sesekali menggaruk tengkuknya.

"Kenapa sih, Ki? Kok celingak-celinguk terus?" tanya Rio, menyadari tingkah aneh sahabatnya.

Miki menghela napas, tampak ragu. "Gue... ada yang mau gue ceritain."

Dina, Fani, dan Doni saling berpandangan, penasaran. "Ceritain aja, Ki. Kayak sama siapa aja," sahut Fani.

Dengan agak malu-malu, Miki mulai bercerita tentang pertemuannya dengan Clara di pantai dua hari yang lalu. Ia menceritakan bagaimana Clara menangis, bagaimana ia mencoba menenangkan Clara, dan bagaimana perasaan aneh itu muncul.

"Gue nggak tahu kenapa, tapi pas dia nyandar di bahu gue, atau pas gue pegang tangannya... ada perasaan lain, Bro, Sis," Miki mengakui, suaranya sedikit tercekat. "Perasaan yang belum pernah gue rasain sebelumnya. Rasanya beda aja kalau sama Clara. Kayaknya... kayaknya gue suka sama dia."

Mendengar pengakuan Miki, teman-temannya terdiam sejenak. Lalu, Rio tersenyum lebar. "Hmm, bagus! Aku dukung!"

Dina mengangguk antusias. "Iya, Ki! Cocok banget kalian. Dari dulu juga udah kelihatan sih, kalian itu kayak ada chemistry-nya."

"Setuju!" Doni menambahkan, "Daripada Clara terus-terusan kena tipu cowok brengsek, mending sama kamu, Ki. Kamu kan udah tahu semua tentang dia."

Fani menimpali, "Iya, Ki. Clara juga butuh seseorang yang bisa diandalkan, yang tulus. Dan itu kamu banget!"

Miki merasakan pipinya memanas mendengar dukungan dari teman-temannya. Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya. Perasaan canggungnya perlahan berganti menjadi kelegaan. Mereka memang sahabat terbaik, selalu bisa mengerti dan mendukungnya.

Telepon Malam dan Permintaan Tak Terduga

Malam harinya, setelah pulang dari kafe, Fani tidak bisa menahan diri untuk tidak menghubungi Clara. Ponselnya berdering, menampilkan nama Fani. Clara mengangkatnya dengan suara sedikit lelah.

"Halo, Fa?"

"Clara! Aku ada berita nih," Fani langsung bercerita dengan semangat, "Tadi Miki cerita banyak ke kita. Dia bilang dia punya perasaan sama kamu, Ra! Katanya dia suka!"

Clara terdiam sejenak. Keheningan di ujung telepon membuat Fani agak heran. "Clara? Kamu masih di sana?"

Clara menarik napas dalam, suaranya terdengar ragu. "Fani... aku nggak tahu harus gimana." Ada jejak trauma dalam suaranya. Setelah apa yang ia alami dengan Andra dan "si anjing itu", hati Clara masih dipenuhi ketidakpercayaan dan ketakutan akan luka baru.

"Kenapa, Ra? Miki itu beda loh, dia tulus banget sama kamu," Fani mencoba meyakinkan.

"Aku tahu, Fa... tapi... aku butuh waktu. Aku butuh bicara langsung sama dia," Clara menjawab pelan. Sebuah ide terlintas di benaknya. "Fani, bisa minta Miki datang ke tempatku sekarang?"

Fani sempat terkejut. "Sekarang? Ini udah malam, Ra."

"Penting, Fa. Aku nggak bisa tidur kalau nggak ngomongin ini," desak Clara, suaranya sedikit mendesak. "Tolong ya, Fa."

Fani menghela napas. "Oke deh, aku coba hubungi dia. Nanti aku kabari lagi."

Setelah Fani menutup telepon, Clara duduk termenung. Hatinya bergejolak antara harapan dan ketakutan. Ia menyadari bahwa Miki memang berbeda, kehadirannya selalu bisa menenangkan badai dalam dirinya. Namun, bayangan masa lalu yang kelam masih membayangi. Apakah ia siap membuka hati lagi?


Pertemuan Penuh Getaran

Beberapa menit kemudian, Fani mengirim pesan singkat pada Miki, memberitahu bahwa Clara ingin ia datang ke kosannya. Jantung Miki langsung berdebar tak karuan. Dengan perasaan bercampur aduk, antara gugup dan antusias, Miki segera meluncur ke kosan Clara.

Sesampainya di sana, dengan tangan sedikit gemetar, Miki mengetuk pintu. "Assalamualaikum," ucapnya pelan.

Perlahan, pintu terbuka. Clara muncul, terlihat cantik dengan riasan tipis. Rupanya, ia baru saja berdandan. Sebuah senyum canggung terukir di bibirnya. "Waalaikumsalam," balas Clara. "Miki, masuk."

Miki melangkah masuk. "Nggak dimarahin Ibu Kos, Ra?" tanyanya, sedikit lega karena ada alasan untuk bicara.

Clara tertawa kecil. "Ibu Kosnya rumahnya jauh, Miki." Ia mengundang Miki duduk di sofa kecil di ruang tamunya.

Miki duduk, tubuhnya terasa agak gemetar. Suasana hening sejenak, hanya terdengar suara pendingin ruangan.

"Mau minum apa?" Clara bertanya, mencoba memecah kekakuan.

"Apa aja," jawab Miki, suaranya sedikit serak.

Tak lama, Clara keluar dari dapur membawa segelas sirup anggur dingin dan meletakkannya di meja. Kemudian, Clara meraih remot TV dan memencet-mencet saluran tanpa tujuan yang jelas. Miki diam, menatap punggung Clara.

Clara akhirnya membalikkan badan, menatap Miki dengan pandangan yang sulit ditebak. "Mau apa ke sini?" tanyanya, ada nada menguji dalam suaranya.

"Lho, kata Fani aku disuruh ke sini," Miki menjawab, sedikit bingung.

"Iya, tapi mau apa?" Clara tersenyum tipis, menatap Smart TV 32 inci di depannya, seolah tak ingin menatap Miki langsung. Padahal, jantungnya juga berdegup tak kalah kencang. Clara tahu betul Miki datang karena apa.

Miki menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Ia mulai menceritakan perasaannya, suaranya terbata-bata. "Ra... aku... aku sebenarnya... udah lama ngerasain ini. Aku... aku suka sama kamu." Ia menatap Clara, mencari reaksi. Clara tetap tenang, pandangannya masih fokus ke TV, padahal di dalam hatinya Clara merasakan hal yang sama.

Clara menoleh, menatap Miki dengan senyum menggoda yang jarang Miki lihat. "Emang kamu mau, sama janda?"


Keraguan Clara dan Ketulusan yang Diuji

"Gini, Ki, ya," Clara menghela napas, senyum godanya menghilang digantikan raut serius. Ia menatap Miki dengan intens, sorot matanya tajam dan penuh keraguan. "Apakah kamu nggak takut kalau... ya kalau ini 'kan, misal terjadi hubungan dan ada yang nggak diinginkan terjadi, apakah kamu nggak takut merusak pertemanan kita?"

Miki terdiam, hatinya terasa tertekan. Pertanyaan Clara menusuk langsung ke inti ketakutannya juga. Clara melihat Miki membisu, dan ia melanjutkan pertanyaannya, nada suaranya kini lebih getir.

"Lagian ya, Ki, misalkan aku mau, aku nggak mau hanya untuk main-main." Clara memalingkan muka, menatap kosong ke dinding di samping TV. "Aku terlahir berkecukupan, sampai kemudian nasibku berubah. Sekarang aku nggak punya apa-apa lagi, janda lagi." Ia menoleh kembali ke Miki, senyumnya kini ketus, penuh luka dan kepahitan. "Dan aku nggak mau yang menginginkanku hanya karena kasihan melihat keadaanku seperti ini."

Wajah Miki memerah, perasaannya mendadak tidak karuan. Kata-kata Clara, terutama senyum ketusnya, membuatnya merasa seperti tertampar. Ia tidak menyangka Clara akan berpikir sejauh itu, dan ia tahu, apa yang dikatakan Clara adalah cerminan dari pengalaman pahitnya. Miki harus bisa meyakinkan Clara bahwa perasaannya tulus, bukan belas kasihan.


Miki Membuktikan Ketulusan Hati

Miki menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan semua keberaniannya. Ia menatap Clara lurus di mata, mencoba menyampaikan ketulusan hatinya tanpa keraguan.

"Ra," suara Miki terdengar lebih mantap, tidak lagi terbata-bata. "Dengar aku baik-baik. Aku ke sini bukan karena disuruh Fani, bukan karena cuma mau main-main. Aku ke sini karena aku beneran punya perasaan sama kamu. Perasaan ini... muncul dari hati aku, Ra."

Ia menggeser posisi duduknya sedikit lebih dekat. "Soal pertemanan kita, aku juga takut itu rusak. Tapi justru karena itu, aku nggak akan pernah main-main sama kamu. Aku mau serius sama kamu, Ra. Aku nggak peduli kamu pernah menikah, atau apa pun keadaan kamu sekarang." Miki menggenggam tangan Clara yang tergeletak di sampingnya. "Justru karena aku tahu semua yang kamu alami, aku jadi lebih yakin. Aku pengen jadi orang yang ada di sampingmu, yang bisa bikin kamu senyum lagi, yang bisa ngejaga kamu."

Miki mengeratkan genggamannya. "Aku nggak kasihan sama kamu, Ra. Aku... aku jatuh cinta sama kamu. Aku jatuh cinta sama Clara yang kuat, Clara yang tegar, Clara yang bisa bangkit lagi meskipun udah berkali-kali jatuh. Aku cuma pengen kamu tahu, aku sayang sama kamu, bukan karena apa-apa, tapi karena kamu ya kamu."

Clara tertegun. Mata Miki memancarkan kejujuran yang begitu kuat, menghapus sedikit demi sedikit keraguan di hatinya. Wajahnya yang tadi tegang perlahan melunak. Ia menatap Miki, mencari kebohongan, namun hanya menemukan ketulusan yang murni. Senyum ketusnya menghilang, digantikan oleh ekspresi haru. Ia merasakan kehangatan yang menjalar dari genggaman tangan Miki, langsung ke hatinya.

Clara di samping ragu, ia juga merasa senang. Perasaan itu menjalar ke seluruh pori-pori kulitnya yang saat itu hanya mengenakan tanktop dan celana pendek. Getaran hangat itu menyelimuti tubuhnya, seolah memeluknya dari dalam. Ia menatap Miki, tersenyum haru. Tanpa sadar, jari-jarinya yang lentik terangkat, lalu mengusap-usap rambut Miki dengan lembut, seolah sedang menenangkan perasaannya sendiri yang mendadak bergejolak. Miki tersenyum. Senyum tulus yang membalas sentuhan Clara.

Perlahan, Clara menarik tangannya dari kepala Miki. Matanya masih berkaca-kaca, namun ada sinar kelegaan yang terpancar. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, memeluk lembut Miki. Aroma tubuh Clara yang segar, bercampur dengan wangi parfum lembut, memenuhi indra Miki. Ia bisa merasakan kelembutan kulit Clara yang putih menempel di dadanya, seolah ia merasa tenggelam di lautan susu, sebuah sensasi yang menenangkan dan melenakan.

"Terima kasih, Mik, terima kasih," bisik Clara, suaranya bergetar menahan tangis haru. Ia membenamkan wajahnya di leher Miki, menghirup aroma sahabatnya yang kini terasa lebih istimewa.

Miki pun perlahan mengalungkan tangannya ke tubuh Clara, membalas pelukan itu dengan erat. Ia merasakan beban berat yang selama ini dipikul Clara sedikit terangkat. Dalam pelukan hangat itu, mereka berdua menemukan ketenangan yang selama ini dicari, sebuah janji tak terucap tentang awal yang baru. Waktu seolah berhenti, dan hanya ada mereka berdua, tenggelam dalam keheningan yang penuh makna.


Obrolan Tengah Malam dan Rencana Masa Depan

Malam semakin larut. Clara dan Miki akhirnya beringsut, melepaskan pelukan yang menenangkan itu, dan saling tersenyum. Ada kehangatan baru yang terasa di antara mereka, menggantikan kecanggungan awal.

"Aku pulang dulu ya, Ra," kata Miki, meskipun dalam hatinya ia ingin sekali berlama-lama di sana.

Saat Miki hendak melangkah keluar, Clara dengan cepat memeluknya lagi dari belakang. "Enggak mau," bisiknya manja, kepalanya menyandar di punggung Miki. "Nginep aja."

Miki menggaruk kepalanya, sebenarnya ia juga ingin sekali menginap. Rasa nyaman bersama Clara begitu kuat. "Nanti dimarahin Ibu, Ra," jawab Miki lembut. "Soalnya aku bilang mau ke kosanmu, nanti dia nyangka yang nggak-nggak. Nanti aja kalau aku sampai rumah, kita video call ya."

Clara perlahan melepas pelukannya, ada senyum tipis di bibirnya. "Oh, ya udah," katanya sambil tersenyum. "Salam ke Ibu ya."

"Oke..." jawab Miki, membalas senyum Clara.

Maka malam itu, setelah Miki sampai di rumah, ia dan Clara pun tenggelam dalam obrolan panjang melalui video call. Kadang mereka ngomong bisik-bisik, berbagi rahasia kecil dan tawa yang hanya mereka yang mengerti. Kadang mereka tertawa lepas saat mengingat momen lucu atau rencana gila yang dulu pernah mereka buat. Sesekali, mereka mulai menyusun rencana selanjutnya tentang hubungannya, membayangkan masa depan yang mungkin akan mereka jalani bersama.

Perasaan Clara, malam itu, bahagianya melebihi pernikahan dengan Andra dan melebihi ketika pacaran sama Ardi. Semua luka lama seolah terobati oleh kehadiran dan ketulusan Miki. Ia merasa kembali menemukan dirinya, kembali bisa merasakan kebahagiaan yang murni. Begitupun Miki. Setelah enam tahun tanpa hubungan dengan perempuan, ia merasa sangat bahagia. Perasaannya melebihi kebahagiaan pertama kali ketika menerima gaji saat kerja di Jepang. Gaji besar itu hanyalah angka, tapi perasaan yang Clara berikan jauh lebih tak ternilai.

Malam itu menjadi saksi bisu, awal dari babak baru yang penuh harapan dalam kisah Miki dan Clara. Mereka tahu, perjalanan ke depan mungkin tidak akan mudah, tapi dengan hati yang saling terhubung dan dukungan tak terbatas, mereka siap menghadapinya bersama.


Sekian


Posting Komentar untuk "The Story Of Miki And Clara ( My Widow )"