Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

antara cinta uang dan kesetiaan

 


Li Wei, 40 tahun, adalah CEO dari Skyline Group, sebuah konglomerat properti terkemuka di Tiongkok. Dengan wajah tampan yang tajam dan karisma yang mematikan, ia adalah sosok yang dihormati dan ditakuti. Namun, di balik kesuksesan bisnisnya, ada sisi arogan yang yakin bahwa uang bisa menyelesaikan segala masalah—termasuk dalam urusan cinta. Ia percaya, setiap orang punya harga, dan ia bisa membeli apa pun yang ia inginkan.

Suatu hari, asisten pribadinya yang setia selama bertahun-tahun mengundurkan diri untuk menikah. Li Wei merasa kesal, karena ia harus mencari pengganti yang bisa mengimbanginya. Setelah beberapa wawancara, ia akhirnya memilih seorang gadis bernama Lin Mei, 23 tahun.

Lin Mei adalah kebalikan dari Li Wei. Dengan rambut sebahu yang sederhana, kulit putih bersih, dan tatapan mata yang sedikit pemalu, ia tampak gugup dan canggung. Pengalamannya bekerja masih minim, dan ia sering kali kebingungan saat Li Wei memberinya tugas yang rumit. Li Wei langsung menganggapnya sebagai staf yang tidak kompeten, bahkan sering kali bersikap dingin dan meremehkan.

Lin Mei mencoba yang terbaik, tetapi ia sering membuat kesalahan kecil, seperti salah menyusun jadwal atau terlambat mengantar dokumen penting. Li Wei hanya bisa menggelengkan kepala, meyakinkan dirinya bahwa ia hanya perlu mempekerjakan gadis itu untuk sementara waktu sambil mencari pengganti yang lebih baik.

Namun, di balik sikap pemalunya, Lin Mei memiliki hati yang tulus dan semangat yang kuat. Ia selalu datang lebih awal dan pulang lebih akhir, mencoba memahami segala seluk beluk pekerjaan yang baru baginya. Perlahan tapi pasti, ia mulai menunjukkan kemampuannya. Ia memiliki ingatan yang luar biasa dan mata yang teliti terhadap detail, sesuatu yang bahkan Li Wei sendiri kadang lewatkan.

Suatu sore, saat Li Wei sedang stres menghadapi masalah besar di perusahaan, ia melihat Lin Mei masih duduk di mejanya, berjuang menyelesaikan laporan yang seharusnya sudah selesai. Li Wei menghampirinya dengan niat untuk memarahinya, tetapi ia terkejut melihat Lin Mei tidak menyerah. Lin Mei menatapnya, tidak dengan rasa takut, melainkan dengan tekad yang tulus.

"Maaf, Tuan Li," kata Lin Mei pelan, "Saya akan menyelesaikannya malam ini juga."

Li Wei hanya mengangguk paham. Ia kembali ke ruangannya, membiarkan Lin Mei fokus pada pekerjaannya. Malam semakin larut, dan jam dinding menunjukkan pukul sembilan ketika Lin Mei akhirnya meletakkan tumpukan laporan yang telah rampung di meja Li Wei.

Li Wei menerima berkas-berkas itu, jemarinya membolak-balik halaman dengan cepat. Ia memeriksa setiap detail, mencari-cari kesalahan, tetapi tak ada satu pun. Ia menatap Lin Mei, yang berdiri dengan kepala sedikit tertunduk, menunggu respons.

"Pekerjaanmu malam ini bagus," ujar Li Wei, nadanya datar. "Tapi jangan karena ini, kau merasa bisa bersantai. Seorang asisten harus selalu satu langkah di depan. Kau harus mengantisipasi apa yang dibutuhkan atasanmu, bukan hanya menunggu perintah. Tugas ini seharusnya sudah selesai tadi sore."

Lin Mei mendengarkan setiap kata Li Wei dengan saksama. Ia tak membantah, hanya mengangguk pelan. "Baik, Tuan Li. Saya akan berusaha lebih baik lagi."

"Satu lagi," tambah Li Wei. "Jam kerjamu sudah selesai. Pulanglah."

Lin Mei membungkuk sopan dan melangkah keluar dari ruangan Li Wei. Ia merasa lelah, tetapi juga lega. Ia tahu, ia masih jauh dari sempurna, namun setidaknya, ia berhasil membuktikan

Tuan Li kembali melanjutkan pekerjaannya, sementara Lin Mei pulang ke rumah. Ia tinggal di sebuah rumah susun kumuh yang terletak di pusat kota yang padat. Sejak kecil, Lin Mei tumbuh dalam kasih sayang sang nenek, Nyonya Liu, setelah kedua orang tuanya bercerai dan meninggalkannya. Nyonya Liu, yang kini sudah renta dan sering sakit-sakitan, adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki.

Setibanya di rumah, Lin Mei disambut hangat oleh neneknya. Meskipun tempat tinggal mereka sempit dan tidak terawat, kehangatan keluarga selalu terasa. Mereka makan malam bersama, hanya dengan lauk pauk sederhana, sambil sesekali Nyonya Liu mengeluh tentang nyeri di kakinya.

Setelah makan, Lin Mei duduk di samping neneknya. Ia mengeluarkan amplop berisi sebagian gajinya yang baru diterima.

"Nek, ini untuk biaya pengobatan Nenek dan kebutuhan kita," kata Lin Mei, menyerahkan amplop itu.

Nyonya Liu menolak dengan lembut, "Mei-Mei, kamu tidak perlu memberikan sebanyak ini. Simpan saja untuk dirimu. Kamu sudah bekerja keras."

"Tidak, Nek. Ini kewajiban Mei-Mei. Nenek sudah merawat Mei-Mei dari kecil," balas Lin Mei dengan nada tulus, menggenggam tangan neneknya yang keriput.

Nyonya Liu tersenyum, bangga dengan cucunya yang berbakti. Ia tahu, alasan Lin Mei bekerja mati-matian adalah untuk memastikan Nyonya Liu bisa hidup dengan nyaman dan sehat. 

Sementara itu, di sebuah apartemen mewah nan megah di puncak gedung pencakar langit, Li Wei duduk sendirian. Ruangan yang luas dan didesain modern itu terasa hampa. Ia memandangi panorama kota dari balik jendela kaca, gemerlap lampu-lampu di bawahnya tidak mampu mengisi kekosongan di hatinya.

Pada usia 40 tahun, Li Wei berada di puncak kariernya. Ia memiliki segalanya—kekuasaan, kekayaan, dan pesona yang tak terbantahkan. Namun, ia juga merasa sangat kesepian. Pertanyaan "Sampai kapan ia akan terus melajang?" sering kali terlintas di benaknya.

Ia sudah bertemu dengan banyak wanita, tetapi setiap hubungan yang ia jalani selalu berakhir dengan kekecewaan. Setiap wanita yang datang mendekat, ia sadar, hanya memandang hartanya. Senyum mereka terasa palsu, perhatian mereka terasa seperti transaksi. Mereka lebih tertarik pada kartu kreditnya daripada pada dirinya. Li Wei merasa lelah. Ia meragukan, apakah cinta sejati itu benar-benar ada, atau hanya sebuah ilusi yang bisa ia beli dengan uang. Ia yakin, kebahagiaan sejati tak bisa didapat dari kekayaan yang ia miliki.

Keesokan harinya, suasana di kantor terasa tegang. Lin Mei tergesa-gesa masuk ke kantor, napasnya tersengal-sengal. Ia melihat Li Wei sudah berdiri di depan mejanya, dengan wajah dingin dan tatapan tajam.

"Lin Mei," panggil Li Wei dengan suara pelan namun menusuk. "Kau terlambat. Klien dari Hong Kong sudah menunggu di ruang rapat sejak lima belas menit yang lalu."

Lin Mei menundukkan kepala, "Maaf, Tuan Li. Aku bangun kesiangan."

"Alasan tidak penting," potong Li Wei cepat. "Seorang asisten harus profesional. Tidak ada toleransi untuk keterlambatan." Li Wei kemudian melangkah pergi, meninggalkan Lin Mei yang masih terdiam di tempatnya, menahan rasa malu dan sedih. Pagi itu terasa jauh lebih berat dari hari-hari sebelumnya.

Beberapa rekan kerja yang menyaksikan insiden itu menghampiri Lin Mei. Salah seorang senior bernama Yang Chen, yang tampak lebih ramah, menepuk pundak Lin Mei pelan.

"Jangan diambil hati, Lin Mei," katanya. "Tuan Li memang seperti itu. Tapi, kamu harus lebih berhati-hati."

Seorang rekan kerja lain menambahkan, "Ya, Tuan Li paling tidak suka keterlambatan. Apalagi kita sedang berhadapan dengan klien penting dari luar negeri."

Yang Chen melanjutkan, "Pokoknya, jangan sampai Tuan Li benar-benar marah. Kamu masih baru di sini, baru sebulan. Kita semua tahu, posisimu sangat rawan. Belajarlah dari kesalahan hari ini dan pastikan tidak terulang lagi."

Lin Mei hanya mengangguk, merasa semakin tertekan. Kata-kata mereka bukannya membuat ia lega, malah semakin menambah beban di pikirannya. Ia menyadari, posisinya di kantor ini sangat rapuh, dan ia harus berjuang lebih keras lagi agar bisa bertahan.

Sore harinya, saat suasana kantor sudah mulai sepi, Li Wei memanggil Lin Mei ke ruangannya. Ia duduk di kursi kebesarannya, menatap Lin Mei yang berdiri kaku di hadapannya.

"Lin Mei," ucap Li Wei, "Tadi pagi kau terlambat. Kau bilang ada insiden kecil, tapi aku tidak percaya. Ada apa sebenarnya? Apa terjadi sesuatu di rumah?"

Lin Mei ragu sejenak, tapi ia memutuskan untuk jujur. "Maaf, Tuan Li. Semalam nenek saya sakit, demam tinggi. Saya menjaganya sampai ia bisa tidur pulas. Jadi, saya tidak sempat tidur dan bangun kesiangan."

Li Wei terdiam sebentar. Ia bisa melihat kantung mata di wajah Lin Mei yang lelah. Namun, ia kembali memasang wajah dinginnya.

"Baiklah, aku mengerti," jawabnya datar. "Tapi itu masalah pribadi. Perusahaan tidak bisa menoleransi hal itu. Apa pun yang terjadi di rumah, urusan pekerjaan harus tetap menjadi prioritas utama. Jangan ulangi lagi."

Lin Mei hanya bisa menunduk, menerima teguran itu. Ia tahu Li Wei benar, tetapi ia juga merasa sedih. Li Wei memang mengerti, tapi ia juga tak peduli. Bagi Li Wei, batasan antara urusan pribadi dan profesional sangat jelas. Kisah pilu Lin Mei hanyalah sebuah gangguan kecil yang tidak seharusnya memengaruhi kinerjanya.

Sepulang dari kantor, Lin Mei langsung bergegas pulang. Ia tak memedulikan rasa lelahnya, karena yang ada di pikirannya hanyalah kondisi neneknya. Sesampainya di rumah susun, ia segera membantu Nyonya Liu mengenakan jaket.

"Nek, kita ke dokter sekarang ya," bujuk Lin Mei lembut. 

Meskipun Nyonya Liu menolak karena khawatir akan biaya, Lin Mei bersikeras. Ia tahu, kesehatan neneknya jauh lebih penting daripada uang atau teguran dari Tuan Li. Ia memapah neneknya perlahan menuruni tangga dan naik taksi menuju klinik terdekat. Di sepanjang jalan, Lin Mei menggenggam erat tangan Nyonya Liu, berharap neneknya segera sembuh dan bisa kembali tersenyum ceria.

Saat tiba di klinik, Lin Mei memapah neneknya dengan hati-hati. Tepat ketika mereka hendak masuk, pintu terbuka dan Li Wei keluar. Pria itu terlihat rapi, baru saja selesai melakukan pemeriksaan kesehatan rutin.

Lin Mei yang terkejut segera menyapa, "Tuan Li."

Li Wei menoleh, matanya menyapu wajah Lin Mei yang khawatir dan Nyonya Liu yang tampak lemah. "lin mei, itu nenek kamu?" tanyanya datar.

"iya tuan li, Saya ingin membawa nenek saya ke dokter," jawab Lin Mei, suaranya sedikit bergetar.

Li Wei hanya mengangguk, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia lalu berjalan menuju meja kasir. Lin Mei mengira Li Wei akan pulang, namun ia terkejut saat melihat Li Wei justru berbicara dengan staf di sana. Setelah beberapa saat, Li Wei mengambil dompetnya dan mengeluarkan sebuah kartu. Tak lama kemudian, ia kembali menghampiri Lin Mei.

"Sudah diurus," kata Li Wei singkat. Ia tak memedulikan Lin Mei yang masih terkejut, lalu berbalik dan pergi begitu saja, meninggalkan Lin Mei dengan seribu pertanyaan di kepalanya.

Nyonya Liu menatap punggung Li Wei yang menjauh, lalu menoleh pada Lin Mei. "Siapa dia, Mei-Mei? Baik sekali."

"Dia bosku, Nek. Namanya Tuan Li Wei," jawab Lin Mei, masih terkejut dengan tindakan Li Wei.

Nyonya Liu mengerutkan dahi, "Kenapa dia tidak datang dengan istrinya? Apa istrinya tidak mau menemaninya?"

Lin Mei tersenyum kecil. "Dia belum menikah, Nek. Dia masih lajang."

Seketika, mata Nyonya Liu berbinar. Ia berbisik, "Kalau begitu, kira-kira... kamu mau tidak jadi istrinya? Dia tampan dan baik."

Pipi Lin Mei langsung merona. Ia hanya bisa tersenyum dan menggeleng pelan, tanpa bisa berkata apa-apa. Pikiran Nyonya Liu yang polos itu membuatnya geli, namun di sisi lain, ia tak bisa menyangkal rasa aneh yang muncul di hatinya. Mengapa Li Wei, yang terkenal dingin dan arogan, tiba-tiba bersikap seperti itu? Dan mengapa Nyonya Liu, yang baru pertama kali melihatnya, sudah langsung menyukainya?

Keesokan harinya di kantor, Li Wei memanggil Lin Mei untuk menyerahkan beberapa berkas. Saat Lin Mei menerima dokumen tersebut, Li Wei menghentikan gerakannya sejenak.

"Apakah nenekmu sudah baikan?" tanyanya, suaranya terdengar datar seperti biasa, tapi ada sedikit nada berbeda yang terselip di sana.

Lin Mei terkejut, namun dengan cepat ia mengangguk. "Sudah, Tuan Li. Terima kasih banyak atas bantuan Tuan Li kemarin."

Li Wei hanya melambaikan tangannya. "Sudahlah," katanya singkat. Ia lalu berbalik dan kembali ke mejanya, meninggalkan Lin Mei yang masih berdiri di sana dengan senyum kecil di wajahnya.

Beberapa bulan berlalu, dan pekerjaan Lin Mei di kantor semakin lancar. Ia sudah terbiasa dengan jadwal Li Wei yang padat dan tuntutan pekerjaan yang tinggi. Sikap Li Wei padanya juga sedikit melunak, meskipun tetap dingin.

Suatu sore, Li Wei memanggil Lin Mei ke ruangannya. Ia memberikan beberapa dokumen dan berkata, "Ini pekerjaan baru untukmu." Lin Mei membaca dokumen itu dan terkejut. Itu adalah tawaran pekerjaan paruh waktu sebagai asisten rumah tangga di apartemen Li Wei.

"Tiap hari libur, kau datang ke apartemenku. Bereskan, bersihkan, dan siapkan makanan. Kau akan dibayar sesuai jam kerjamu," jelas Li Wei tanpa basa-basi.

Lin Mei terdiam sejenak. Ia memikirkan neneknya yang membutuhkan biaya pengobatan lebih, dan tawaran ini bisa menambah penghasilannya. Dengan berat hati, ia akhirnya mengangguk. "Baik, Tuan Li."

"Bagus," jawab Li Wei. "Ini kuncinya." Ia meletakkan kunci cadangan apartemen di meja. "Kau bisa masuk sendiri. Biasanya aku belum bangun saat hari libur."

Lin Mei menerima kunci itu dengan tangan gemetar. Ia tahu, pekerjaan ini akan membuatnya semakin dekat dengan Li Wei, dan ia tak tahu apakah itu hal baik atau buruk.

Saat hari libur tiba, Lin Mei dengan perasaan campur aduk membuka pintu apartemen Li Wei. Kunci itu terasa dingin di tangannya. Saat ia melangkah masuk, ia sedikit terkejut. Apartemen itu sangat mewah, dengan desain minimalis modern dan pemandangan kota yang menakjubkan. Namun, keindahan itu berbanding terbalik dengan kekacauan kecil yang ia lihat; sepasang sepatu Li Wei tergeletak berjauhan di dekat pintu masuk.

Lin Mei menghela napas, mulai merapikan barang-barang yang berserakan. Ia memberanikan diri masuk lebih dalam. Saat melewati kamar tidur utama, ia melihat pintu sedikit terbuka. Lin Mei mengintip, dan terdiam. Li Wei tertidur pulas, hanya mengenakan celana pendek. Tubuhnya yang atletis dan tegap terlihat jelas. Lin Mei langsung menelan ludah, buru-buru memalingkan wajahnya. Pemandangan itu benar-benar tak terduga, jauh berbeda dengan sosok Li Wei yang selalu rapi dan berwibawa di kantor. 

Lin Mei memberanikan diri masuk ke dapur. Di wastafel, ia menemukan beberapa botol minuman keras yang kosong dan gelas-gelas kotor berserakan. Rupanya, Li Wei mabuk semalam. Pemandangan itu semakin menambah sisi lain dari sosok Li Wei yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Pria yang selalu tampak sempurna dan terkendali itu ternyata memiliki sisi yang rapuh dan kesepian. Lin Mei membereskan kekacauan itu perlahan, dengan perasaan campur aduk. Ia mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal yang baru saja ia lihat, dan fokus pada tugasnya.

Di pagi yang beranjak siang, Li Wei terbangun dari tidurnya. Samar-samar, ia mendengar suara mesin cuci berputar dari arah dapur. Penasaran, ia keluar dari kamar. Langkahnya terhenti di ambang pintu. Ia sedikit tercengang melihat Lin Mei.

Lin Mei sedang sibuk membereskan barang, hanya mengenakan kaus tanpa lengan dan celana pendek. Pakaiannya yang sederhana itu memperlihatkan lekuk tubuhnya yang mungil dan ramping. Li Wei terpaku di tempatnya, matanya mengamati siluet gadis itu. Ia tak pernah membayangkan bahwa Lin Mei, asistennya yang pemalu dan sering gugup di kantor, bisa terlihat begitu berbeda. Pemandangan itu seolah membuka sisi lain dari Lin Mei yang belum pernah ia lihat.

Lin Mei segera menghampiri Li Wei yang kini sudah duduk di sofa. Ia menunduk dan berkata, "Tuan Li, semua pekerjaan sudah selesai."

Li Wei tidak langsung menjawab. Ia bangkit dari sofa, berjalan pelan mengamati setiap sudut apartemen. Ia memeriksa dapur yang kini bersih, ruang tamu yang rapi, bahkan kamar mandi yang berkilauan. Ia melihat pakaiannya yang sudah terlipat rapi di keranjang, dan tempat tidur yang sudah dirapikan dengan sempurna. Tak ada sedikit pun debu yang tersisa.

Li Wei kembali menatap Lin Mei. Ia mengangguk pelan, "Bagus." Meskipun hanya satu kata, Lin Mei tahu itu adalah pujian. Ia merasa lega dan puas.

Li Wei kembali menatap Lin Mei, kali ini pandangannya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lin Mei, yang merasa canggung, hanya bisa menyeka keringat di dahinya dengan sapu tangan kecilnya.

"Ini bayaranmu," ucap Li Wei sambil menyerahkan beberapa lembar uang.

Lin Mei tertegun. Jumlahnya jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. "Tuan Li, ini terlalu banyak," katanya, ragu-ragu. "Tugas saya tidak seberat ini."

Li Wei tidak mengindahkan keberatan Lin Mei. "Ambil saja," jawabnya singkat, lalu berbalik dan kembali ke sofanya. Lin Mei hanya bisa menghela napas. Ia menatap uang di tangannya, lalu menatap punggung Li Wei. Rasa bingung dan rasa terima kasih bercampur menjadi satu di hatinya. Di satu sisi, ia sangat membutuhkan uang itu untuk neneknya, tapi di sisi lain, ia tak bisa memahami mengapa Li Wei bersikap begitu.

Di kantor, Lin Mei kembali menjadi asisten yang profesional dan cekatan. Ia menyapa Li Wei seperti biasa, dan Li Wei pun membalasnya dengan sikap dingin yang sudah menjadi ciri khasnya. Tidak ada yang berubah. Lin Mei menyibukkan diri dengan pekerjaan, sementara Li Wei tetap fokus pada bisnisnya. Mereka berinteraksi seolah akhir pekan kemarin tidak pernah terjadi, seolah-olah Lin Mei tidak pernah melihatnya dalam keadaan yang begitu rentan, dan seolah-olah Li Wei tidak pernah menatapnya dengan tatapan yang berbeda.

Di minggu keempat, Lin Mei seperti biasa menyelesaikan tugasnya di apartemen Li Wei. Setelah semuanya rapi, Li Wei memeriksa setiap sudut dan kembali menemukan apartemennya bersih tanpa cela. Ia lalu memberikan upah kepada Lin Mei, namun kali ini jumlahnya jauh lebih besar dari minggu-minggu sebelumnya. Lin Mei tak percaya dengan kemurahan hati Li Wei, ia merasa ada sesuatu yang aneh.

"Terima kasih, Tuan Li. Saya pamit," kata Lin Mei, mencoba bergegas pergi.

Namun, sebelum ia sempat melangkah, Li Wei menyergapnya dari belakang. Ia memeluk Lin Mei erat dan menciumnya dengan paksa. Lin Mei terkejut, ia berusaha berontak sekuat tenaga. Ia menggigit tangan Li Wei, membuat pria itu meringis kesakitan. Li Wei refleks menarik tangannya, tapi gerakan itu tanpa sengaja mengenai bibir Lin Mei.

Lin Mei menyentuh bibirnya yang kini berdarah. Ia menatap Li Wei dengan mata berkaca-kaca, tak menyangka pria yang ia hormati akan berbuat serendah itu. Air matanya mengalir deras, rasa sakit di bibirnya tak sebanding dengan sakit hati yang ia rasakan. Sambil menangis, ia melemparkan uang yang tadi diberikan Li Wei ke arah pria itu. Uang itu berhamburan, berserakan di lantai, seolah-olah semua kebaikan dan kemurahan hati Li Wei selama ini hanyalah topeng. Lin Mei lalu berlari keluar, meninggalkan Li Wei yang terdiam di tengah kekacauan yang ia ciptakan sendiri.

Sementara itu, di rumah susun mereka yang sederhana, Lin Mei langsung bergegas masuk. Nyonya Liu, yang melihat cucunya pulang dengan bibir berdarah dan mata sembab, segera menghampiri dengan panik.

"Mei-Mei, ada apa dengan bibirmu? Kamu kenapa?" tanya Nyonya Liu, membelai wajah Lin Mei.

Lin Mei mencoba tersenyum, "Tidak apa-apa, Nek. Tadi aku jatuh di kamar mandi." Ia tak sanggup menceritakan kejadian yang sebenarnya.

Nyonya Liu menghela napas lega, tapi matanya tetap menunjukkan kekhawatiran. "Hati-hati, Nak. Jangan sampai ceroboh lagi. Nenek tidak mau kamu kenapa-kenapa."

Lin Mei hanya mengangguk, lalu memeluk erat neneknya. Di dalam pelukan itu, ia menumpahkan semua tangis yang ia tahan. Nyonya Liu, yang tidak tahu apa-apa, hanya mengelus rambut cucunya, berpikir bahwa Lin Mei menangis karena terjatuh. Ia tidak pernah menyangka, di balik tangisan itu, ada luka yang jauh lebih dalam.

Keesokan harinya, Lin Mei tidak masuk kerja. Meja kerjanya kosong. Li Wei tahu itu bukan karena Lin Mei sakit. Ia tahu, ia telah menyakiti Lin Mei. Ia merasa bersalah. Selama rapat, ia tak bisa fokus. Ia melamun, memandang ke luar jendela, menatap gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, namun pikirannya kosong. Ia sadar, uang memang bisa membeli segalanya, kecuali harga diri seseorang. Ia menyesal, ia seharusnya tidak berbuat sejauh itu.

Setelah kejadian itu, perasaan Li Wei makin tak karuan. Ada perasaan lain yang tumbuh di hatinya, perasaan yang sama sekali baru baginya. Ia bisa membeli segalanya, termasuk wanita-wanita cantik yang mengantre untuk berada di sisinya. Namun, kenapa ia justru merasa kosong? Kenapa yang ia pikirkan hanya Lin Mei? Matanya terus membayangkan Lin Mei yang menangis, bibirnya yang berdarah, dan uang yang berserakan di lantai.

Li Wei mengambil ponselnya, mencari nama Lin Mei di daftar kontak. Jari-jarinya ragu, tapi ia tetap mencoba menelepon. Panggilan pertama tidak diangkat. Ia mencoba lagi, dan lagi. Sama saja, panggilannya tidak dijawab.

Ia menatap layar ponselnya dengan putus asa. Ia ingin mendengar suaranya, ingin meminta maaf, ingin menjelaskan semuanya. Namun, Lin Mei tidak memberinya kesempatan.

satu bulan berlalu, dan Lin Mei benar-benar menghilang. Li Wei mencoba segala cara untuk menghubunginya. Pesan teksnya tidak terbalas, dan setiap panggilan teleponnya hanya berakhir dengan nada sambung kosong. Lin Mei seolah lenyap ditelan bumi.

Li Wei seperti orang linglung. Ia tidak bisa fokus pada pekerjaannya, dan ia menghabiskan setiap waktu luang untuk mencari Lin Mei.

Di sudut sebuah pasar yang ramai, Lin Mei keluar membawa sebuah tas belanjaan. Ia tampak lebih kurus, tetapi wajahnya terlihat lebih tenang. Saat ia melangkah, sebuah mobil hitam mewah berhenti tepat di depannya. Pintu mobil terbuka, dan Li Wei keluar.

Lin Mei terkejut. Tepat di depannya berdiri sosok yang sudah sebulan ini ia hindari. Li Wei tampak berbeda. Pakaiannya tidak lagi rapi seperti biasa, rambutnya sedikit acak-acakan, dan matanya menunjukkan kelelahan dan penyesalan.

"Lin Mei," panggil Li Wei dengan suara yang pelan dan bergetar.

Lin Mei mematung, pandangannya beralih dari Li Wei ke tas belanjaan di tangannya. Ia tak membalas sapaan Li Wei, hanya terdiam. Li Wei, yang melihat Lin Mei tak merespons, melangkah mendekat.

"Lin Mei, ayo aku antar pulang," ucap Li Wei, suaranya terdengar memohon. "Aku mohon, maafkan aku."

Li Wei tak menunggu jawaban Lin Mei. Dengan cepat, ia merebut tas belanjaan dari tangan Lin Mei dan membukakan pintu mobilnya. Lin Mei hanya bisa pasrah, ia terlalu terkejut untuk menolak. Ia masuk ke dalam mobil, Li Wei pun menyusulnya, dan mobil mewah itu melaju perlahan meninggalkan area pasar.

Mobil Li Wei memasuki pelataran rumah susun yang kumuh. Lin Mei bergegas turun mendahului, sementara Li Wei mengikutinya dari belakang dengan tas belanjaan di tangan. Li Wei merasa miris melihat kondisi tempat tinggal Lin Mei; gang sempit, tangga yang rapuh, dan aroma pengap menyambutnya.

Tanpa dipersilakan, Li Wei ikut masuk. Matanya menyapu sekeliling, melihat dinding dengan cat yang mulai mengelupas, perabotan seadanya, dan ruangan yang sempit. Lin Mei sudah duduk di sofa kecil, memeluk lututnya, dan terisak pelan. Ia tidak bisa menahan perasaannya lagi. Air matanya mengalir, membasahi lututnya, seiring dengan semua rasa sakit dan malu yang ia pendam. Li Wei hanya bisa berdiri mematung, dadanya terasa sesak. Ia tidak pernah membayangkan, Lin Mei, asistennya yang cekatan, tinggal di tempat seperti ini. Ia merasa bodoh, dan penyesalannya semakin dalam.

Li Wei tak berani mendekat. Matanya menyapu sekeliling ruangan dan terhenti di sebuah sudut. Di sana, di atas sebuah meja kecil, terpajang bingkai foto Nyonya Liu, nenek Lin Mei. Di depannya, ada abu dupa yang masih mengepul tipis. Li Wei terdiam, dadanya serasa dihantam palu. Ia akhirnya menyadari, nenek Lin Mei sudah tiada. Ia baru mengerti mengapa Lin Mei tampak begitu rapuh, dan mengapa ia tidak pernah muncul lagi di kantor. Rasa bersalahnya kini berlipat ganda, seakan-akan ia tidak hanya menyakiti hati Lin Mei, tetapi juga telah merenggut satu-satunya orang yang Lin Mei miliki.

Li Wei tidak sanggup lagi. Ia melangkah mendekati Lin Mei, berlutut di depannya. Ia mengambil tangan Lin Mei, merasakan dinginnya kulit gadis itu. "Lin Mei," ucapnya dengan suara serak, "Maafkan aku."

Ia menatap mata Lin Mei yang basah. "Aku tahu, aku sudah membuatmu hancur. Aku bodoh, aku arogan. Aku pikir uang bisa menyelesaikan segalanya." Li Wei mengambil jeda, menenangkan perasaannya. "Selama ini, aku selalu merasa kesepian, tapi aku tidak pernah mengerti kenapa. Sampai kau pergi, aku baru sadar. Aku membutuhkanmu."

Li Wei menelan ludah, "Aku akan bertanggung jawab atas semua ini. Aku akan menjagamu. Aku akan menanggung semuanya. Aku... aku mencintaimu, Lin Mei. Aku siap melakukan apa pun agar kau kembali."

Lin Mei tetap diam, ia tidak bergeming. Air matanya terus mengalir tanpa suara. Tatapannya kosong, seperti ia tidak mendengar sepatah kata pun. Li Wei mengerti, kata-katanya tidak cukup untuk menghapus luka di hati Lin Mei. Setelah beberapa saat, ia perlahan bangkit. Ia melepaskan tangan Lin Mei, menatapnya sekali lagi dengan penuh penyesalan, lalu berbalik dan pergi dengan perasaan hampa. Ia tahu, ia telah kehilangan segalanya.

Keesokan harinya, di apartemen mewah Li Wei, terdengar suara mesin cuci berputar. Li Wei membuka matanya, terkejut. Ia bergegas keluar dari kamar. Senyum merekah di wajahnya saat melihat Lin Mei berdiri di dekat mesin cuci, mengenakan kaus lengan pendek dan celana hotpant.

Lin Mei menoleh, menatap Li Wei, lalu berjalan mendekat dengan langkah angkuh. "Terima aku jadi asistenmu lagi," katanya dengan nada dingin.

Li Wei tidak langsung menjawab. Ia duduk di sofa, memandang Lin Mei dengan tatapan tak terbaca. "Tidak," jawabnya singkat.

Lin Mei mengerutkan dahinya. Ia berkacak pinggang, menantang. "Berani bayar berapa tubuhku?" tanyanya, suaranya dipenuhi amarah.

Li Wei mengusap rambutnya, tersenyum kecil, lalu menggeleng. "Tidak," katanya lagi.

Lin Mei mendekat, matanya berkaca-kaca, lalu menampar Li Wei sekuat tenaga. Li Wei tidak menghindar. Ia hanya terdiam, merasakan perih di pipinya. Lin Mei, yang tidak bisa lagi menahan emosinya, langsung terduduk di lantai, meneteskan air mata.

Li Wei perlahan mengusap pipinya yang terasa perih. Ia menatap Lin Mei yang terduduk di lantai, menangis tanpa suara. Hatinya hancur melihat gadis itu menderita karena ulahnya.

"Yang aku mau," katanya dengan lembut, "kau jadi istriku."

Mendengar itu, tangis Lin Mei mereda. Ia terperangah dan terdiam. Perlahan, ia bangkit dan naik ke pangkuan Li Wei. Lin Mei menatap mata Li Wei yang penuh penyesalan, lalu mendaratkan bibirnya ke mulut pria itu. Li Wei hanya bisa terdiam dan terpejam, menikmati momen itu.

Di pagi yang dingin, dengan hembusan AC yang sejuk, suasana di ruangan itu berubah menjadi panas. Lin Mei memberikan segalanya, sebagai tanda penerimaan atas cinta tulus yang baru ia temukan. Beberapa menit kemudian, terdengar pekikan dan rintihan keduanya, meluapkan semua rasa yang selama ini mereka pendam.

Dua hari kemudian, Li Wei menikahi Lin Mei.

Posting Komentar untuk "antara cinta uang dan kesetiaan"