Sejak kecil, Rayden selalu merasa ada kekosongan dalam hidupnya. Ia dibesarkan oleh Nenek Sumi di sebuah desa kecil, dikelilingi oleh pegunungan dan sawah yang hijau. Neneknya adalah wanita tua yang penuh kasih, namun di matanya selalu tersimpan gurat kesedihan yang dalam. "Ibumu pergi merantau ke Jakarta," begitu selalu jawaban Nenek Sumi setiap kali Rayden bertanya tentang orang tuanya. "Dia sibuk mengejar cita-citanya."
Rayden percaya. Ia membayangkan ibunya adalah seorang pahlawan yang sedang berjuang di kota besar. Namun, ketika teman-teman lain di sekolah membicarakan ayah dan ibu mereka yang datang menjemput, hati kecil Rayden terasa perih. Ia hanya punya Nenek Sumi.
Suatu hari, Rayden tak sengaja mendengar percakapan Nenek Sumi dengan tetangga. "Kasihan Rayden, nasibnya sama seperti ibunya dulu. Ditinggal sendirian," bisik tetangga itu. Kata-kata itu menusuk Rayden. Ia mulai bertanya-tanya, apakah ada rahasia yang disembunyikan darinya?
Tahun-tahun berlalu, Nenek Sumi semakin menua dan kesehatannya menurun. Namun, ia tak pernah berhenti bekerja keras demi Rayden. Ia menjual sayuran hasil kebunnya dan membuat kerajinan tangan. Rayden pun tumbuh menjadi remaja yang tangguh. Ia membantu neneknya di ladang dan menjual hasil panen ke pasar desa.
Namun, takdir berkata lain. Suatu malam yang sunyi, Nenek Sumi mengembuskan napas terakhirnya dalam tidur. Rayden merasa dunianya runtuh. Ia kini sebatang kara. Berkat kebaikan hati warga desa, pemakaman Nenek Sumi berjalan lancar.
Setelah Nenek Sumi tiada, Rayden menemukan sebuah kotak kayu di bawah kasur neneknya. Di dalamnya, ia menemukan beberapa lembar foto, surat-surat lama, dan sebuah kartu identitas. Matanya tertuju pada foto seorang wanita muda yang sangat mirip dengannya. Di belakang foto itu, ada tulisan tangan yang berbunyi, "Maafkan Aku, Kitinggalkan Kau disini" Rayden menyadari, ini adalah ibunya.
Ia juga menemukan kartu identitas milik ibunya dengan nama yang tak asing: Laura Damayanti. Rayden ingat, itu adalah nama artis terkenal yang wajahnya sering terpampang di majalah dan televisi. Ia tak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Ibunya, wanita yang meninggalkannya, kini adalah bintang yang bersinar terang?
Rayden tak lagi ragu. Tekadnya sudah bulat. Ia harus pergi ke Jakarta, mencari kebenaran, dan menanyakan mengapa ibunya meninggalkannya begitu saja. Dengan uang tabungan yang tak seberapa, Rayden mengemas tasnya dan memulai perjalanan untuk menemukan sang ibu, yang kini dikenal sebagai Laura Damayanti, seorang artis yang hidup dalam gemerlap dunia hiburan, jauh dari kenyataan pahit yang ia tinggalkan.
Hampir sebulan Rayden terombang-ambing di Jakarta. Uang di sakunya semakin menipis, sementara alamat ibunya tak kunjung ia temukan. Dengan sisa keberanian, ia memutuskan untuk mencari cara lain. Rayden mulai mengunggah video-video singkat di media sosial, menceritakan kisahnya secara samar, berharap ada keajaiban yang membawanya bertemu dengan sang ibu.
Tak disangka, kisahnya menyentuh hati banyak orang dan video-videonya viral. Rayden tak pernah menyangka bahwa popularitas semu ini justru akan membawanya pada pertemuan yang tak terduga.
Suatu sore, saat Rayden sedang duduk lesu di sebuah taman, sebuah mobil mewah berhenti di depannya. Seorang wanita anggun keluar dari mobil itu. "Kamu Rayden?" tanyanya. "Saya Siska, manajer Mbak Laura Damayanti."
Jantung Rayden berdegup kencang. Ia mengangguk ragu. "Apa benar kamu anak Laura?" Siska menatapnya lekat, matanya penuh selidik. Rayden terdiam, menahan napas. "Ikut saya," ajak Siska. rayden terdiam sesaat, siska menjelaskan." Saya mau antar kamu ke orang yang kamu anggap ibu".
Rayden mengikuti Siska ke sebuah rumah mewah, jauh lebih besar dari apa pun yang pernah ia bayangkan. Di dalam, aura kemewahan begitu terasa. Rayden melihat foto-foto Laura di mana-mana. Bintang yang begitu bersinar, kini hanya beberapa langkah di depannya.
Laura Damayanti keluar dari kamar, tampilannya begitu sempurna. Namun, saat tatapannya jatuh pada Rayden, ekspresi terkejut dan bingung muncul di wajahnya. "Siapa dia, Sis?" tanyanya, suaranya terdengar dingin.
"ini anak dari kampung yang mengaku anak Mbak," bisik Siska, suaranya merendah.
"Kamu siapa? Kok bisa kamu mengaku anak saya?" tanya Laura dengan suara gemetar, berusaha menutupi kegugupannya.
Rayden menelan ludah, dadanya sesak. "Nama saya Rayden. Saya di urus Nenek Sumi dari kampung," jawabnya, suaranya nyaris tak terdengar.
"Dari mana kamu bisa mengatakan itu, apa buktinya?" tanya Laura lagi, kali ini dengan nada yang lebih menekan.
Rayden mengeluarkan kotak kayu dari tasnya. Dengan tangan gemetar, ia membuka kotak itu dan menunjukkan kartu identitas Laura yang lama, lengkap dengan foto-foto masa muda ibunya dan surat-surat dari Nenek Sumi. "Nenek saya meninggal, dan saya menemukan ini," ujar Rayden, suaranya bergetar. "Dia bilang, ini adalah ibu saya."
Mata Laura membelalak, wajahnya memucat. Ia menatap kartu identitas itu, kemudian beralih ke suaminya yang masih berdiri dengan bingung. " Sayang siapa dia?," tanya suaminya, " aku gak tahu mas". suaminya mengajak Laura ke dalam kamar. Pertengkaran hebat pun terjadi. Suara-suara bentakan samar terdengar, "Siapa dia, Laura? Apa maksudnya semua ini?!"
Ketika Laura keluar, wajahnya memerah padam. Ia menatap Rayden dengan tatapan penuh kemarahan dan kebencian. "Siska, bawa dia pergi! Aku tidak mau melihatnya lagi!" teriaknya. Hati Rayden hancur berkeping-keping. Ibunya, orang yang selama ini ia cari, kini mengusirnya seolah-olah ia adalah kotoran.
Rayden hanya bisa terdiam di dalam mobil, menatap jalanan Jakarta yang ramai dengan pandangan kosong. Kata-kata terakhir Laura masih terngiang di telinganya, menusuk hati seperti belati. Di sebelahnya, Siska sesekali meliriknya dengan tatapan prihatin. Ia tahu, ada luka dalam di balik mata anak laki-laki itu.
Mobil Siska berhenti di depan sebuah gedung apartemen modern. "Masuklah," ajak Siska. "Kita bicara di dalam. Kamu butuh istirahat."
Rayden mengikuti Siska. Apartemennya tidak sebesar rumah Laura, tetapi sangat rapi dan nyaman. Siska menyuruh Rayden duduk di sofa dan menyuguhkan segelas teh hangat.
"Aku minta maaf," kata Siska, memulai percakapan. "Aku benar-benar tidak tahu ada rahasia ini. Aku hanya mencoba menemuimu karena video-videomu viral dan aku takut ini akan merusak reputasi Laura."
Rayden menunduk, matanya berkaca-kaca. Ia pun mulai bercerita. "Nenek saya meninggal, dan saya menemukan ini," ujar Rayden, mengeluarkan kotak kayu dari tasnya. Ia menunjukkan kartu identitas Laura yang lama, foto-foto, dan surat dari Nenek Sumi. "Nenek saya bilang, ini adalah ibu saya. Dia meninggalkan saya karena ingin merantau, dan dia titipkan saya pada nenek."
Siska terdiam, menatap dokumen-dokumen itu dengan tak percaya. Rayden melanjutkan ceritanya, menceritakan bagaimana ia dibesarkan di desa, janji ibunya yang tak pernah ditepati, dan rasa sakit yang ia rasakan ketika ibunya mengusirnya.
"Laura tidak pernah cerita apa pun tentang ini," gumam Siska, lebih kepada dirinya sendiri. "Selama ini, aku pikir dia hanya kehilangan orang tuanya dan hidup sebatang kara. Ternyata ada rahasia besar yang ia simpan."
Siska kemudian menghela napas panjang. Ia mengambil amplop dari dompetnya dan menyerahkannya kepada Rayden. "Ini uang dari aku. Aku tahu ini tidak sebanding dengan rasa sakitmu, tapi pakailah untuk pulang ke kampung. Atau kalau kamu mau, kamu bisa tinggal di sini, tapi tolong jangan temui Laura lagi. Semua yang ia bangun akan hancur jika suaminya tahu."
Rayden menolak uang itu dengan sopan. "Saya hanya ingin tahu, kenapa ibu saya begitu tega," katanya, suaranya parau. Siska menatapnya dengan iba. Ia tak bisa menjawab pertanyaan itu, karena ia sendiri tak tahu. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah memberikan Rayden ruang untuk bernapas dan memikirkan langkah selanjutnya.
Di apartemen Siska, keheningan sempat menyelimuti keduanya setelah Rayden menyelesaikan ceritanya. Siska menatap Rayden dengan tatapan iba, seolah rasa sakit anak itu kini menjadi bebannya juga. Ia tak bisa menjawab pertanyaan Rayden, karena ia sendiri pun tak tahu mengapa Laura setega itu.
"Kamu lulusan apa, Rayden?" tanya Siska, mencoba mengalihkan pembicaraan, suaranya lembut.
"SMP, Mbak," jawab Rayden lirih, menunduk.
Siska menarik napas panjang. Mencari pekerjaan di Jakarta dengan ijazah SMP bukanlah hal mudah. Ia menatap Rayden, merasa tidak enak. Di satu sisi, ia ingin membantu, tetapi di sisi lain, ia tak ingin terlalu ikut campur dalam urusan yang bisa merusak kariernya dan Laura.
"Aku... aku ingin kerja, Mbak," ucap Rayden, suaranya bergetar penuh harap. "Kerja apa saja. Bersih-bersih juga tidak apa-apa."
Siska menatapnya lekat. Ia melihat ketulusan dan tekad yang kuat di mata Rayden. Hati kecilnya tergerak. Siska lalu menyunggingkan senyum tipis. "Ya sudah," katanya. "Kamu bisa bersih-bersih di apartemenku. Kamu bisa mulai besok."
"Kamu bisa menggunakan PC-ku jika sedang tidak kupakai," lanjut Siska. "Kamu bisa?"
"Bisa, Mbak. Kalau sekadar menyalakan dan menonton YouTube, bisa," jawab Rayden dengan semangat.
Siska mengangguk, "Ya sudah. Kamu bisa kerja saat luang, kamu bisa tonton YouTube sepuasnya." Sebuah tawaran sederhana, tapi bagi Rayden, itu adalah secercah harapan di tengah kegelapan yang ia hadapi. Ia kini memiliki tempat bernaung dan kesempatan untuk memulai hidup baru, jauh dari bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan.
"Ya sudah," kata Siska, suaranya melembut. "Kamu bisa mandi dulu. Kamar mandinya ada di kamar sebelah."
Siska menunjuk sebuah pintu di ujung lorong. Sambil berjalan menuju kamarnya sendiri, Siska membuka kemeja yang ia pakai, menyisakan atasan tanktop berwarna gelap. Rayden melihatnya sekilas, merasa sedikit canggung. Pakaian seperti itu sangat jarang ia lihat di desanya. Di dalam benaknya, ia berpikir, "Mungkin di kota besar seperti ini hal itu sudah biasa."
Ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya dan segera mengikuti petunjuk Siska. Rasa lelah dan kotor akibat perjalanan panjang membuat keinginan untuk membersihkan diri jauh lebih besar daripada rasa canggung.
Keesokan harinya, Rayden mulai bekerja di apartemen Siska. Ia membersihkan setiap sudut ruangan dengan teliti, mencuci piring, dan membantu Siska merapikan berkas-berkas pekerjaan. Siska adalah manajer yang sibuk. Di sela-sela kesibukannya, ia sering melihat Rayden menonton video di YouTube, sesekali tertawa kecil. Rayden belajar banyak hal baru dari internet, mulai dari cara memperbaiki barang-barang elektronik sederhana hingga bahasa Inggris.
Siska melihat ada bakat tersembunyi dalam diri Rayden. Ia tidak hanya cekatan, tetapi juga cerdas. Saat jam makan malam, mereka sering makan bersama. Siska akan bercerita tentang dunia hiburan, sementara Rayden bercerita tentang kampungnya. Perlahan, hubungan canggung mereka berubah menjadi ikatan yang lebih akrab. Siska tidak hanya menganggap Rayden sebagai asisten rumah tangga, tetapi juga sebagai adik yang harus ia lindungi.
Suatu sore yang cerah, Siska pulang ke apartemennya dengan seorang anak perempuan. Wajahnya terlihat lelah, tetapi ia tersenyum tipis. "Rayden, kenalkan," katanya, suaranya terdengar ceria. "Ini Karina, anaknya Laura. Laura sedang liburan ke luar negeri bersama suaminya untuk pekerjaan endorse."
Karina, anak itu, menatap Rayden dengan mata lebar. Rayden membalas tatapannya, lalu tersenyum hangat. Hatinya berdesir aneh. Ia sadar, jika saja Laura mengakui dirinya, Karina adalah adik tirinya. Ia membayangkan bagaimana rasanya memiliki seorang adik perempuan.
Tanpa diduga, Karina berjalan mendekat dan langsung duduk di samping Rayden. Ia menatap Rayden lekat-lekat, seolah sedang mencari sesuatu di wajahnya. Ada rasa penasaran yang besar terpancar dari matanya. Rayden, yang merasa canggung, hanya bisa tersenyum kaku.
Hari-hari berikutnya, apartemen Siska dipenuhi tawa Karina. Anak itu tampaknya sangat menyukai Rayden. Karina sering mengikutinya ke mana-mana, membantunya membersihkan apartemen, dan menemaninya saat Rayden menonton YouTube.
Rayden dan Karina dengan cepat membangun ikatan yang kuat. Rayden sering menceritakan kisah-kisah lucu dari kampungnya, dan Karina akan mendengarkan dengan penuh perhatian. Rayden juga memutar film kartun untuk Karina, mengajarkannya lagu-lagu anak-anak, dan menemaninya bermain. Karina, di sisi lain, menceritakan tentang sekolahnya, teman-temannya, dan hal-hal baru yang ia pelajari.
Rayden menemukan kebahagiaan yang selama ini ia cari dalam diri Karina. Meski hanya sementara, kehadiran Karina membuatnya merasa lengkap. Ia seperti mendapat kembali bagian dari dirinya yang hilang, bagian dari keluarga yang tak pernah ia miliki. Sementara itu, di luar negeri, Laura tidak tahu bahwa anak yang ia tinggalkan kini justru menjadi sosok yang sangat berarti bagi anak yang ia banggakan.
Posting Komentar untuk " "