Dulu Buku Harian, Sekarang Media Sosial
Dulu, ada sebuah kesakralan dalam menyimpan rahasia. Unek-unek dan gejolak batin adalah urusan personal yang dikunci rapat dalam buku harian. Halaman-halaman itu menjadi sahabat bisu, sebuah ruang aman bagi mereka yang cenderung pendiam, atau bagi jiwa-jiwa yang terlalu berhati-hati untuk tidak melukai perasaan orang lain dengan kebenaran emosi mereka. Curahan hati adalah sebuah ritual reflektif, sebuah dialog dengan diri sendiri yang penjaganya adalah gembok kecil.
Kini, gembok itu telah sirna, digantikan oleh tombol "Bagikan". Kita telah bermigrasi dari kamar yang senyap ke panggung publik yang riuh. Media sosial menjadi etalase baru bagi isi hati, mengubah apa yang dulu privat menjadi tontonan komunal.
Fenomena paling mencengangkan dari pergeseran ini adalah terungkapnya "persona ganda". Kita terkejut menemukan bahwa rekan kerja, teman sekolah bahkan tetangga yang di dunia nyata begitu pendiam dan santun, ternyata adalah sosok yang sangat vokal, kritis, bahkan penuh amarah di linimasa. Frasa "lain di keseharian, lain di media sosial" menjadi pemandangan lumrah.
Layar gawai tampaknya telah berfungsi sebagai perisai, memberikan keberanian yang tidak hadir dalam interaksi tatap muka. Namun, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar perisai; ada pergeseran motivasi. Jika buku harian adalah upaya untuk memahami diri sendiri, maka curhat di media sosial adalah tuntutan untuk dipahami oleh orang lain.
Kita tidak lagi mencari kelegaan melalui refleksi yang sunyi, tetapi mencari validasi melalui "like" dan komentar. Rasa kesepian ditenangkan oleh kesadaran bahwa orang lain "merasa sama". Hasilnya, kita semua kini bisa saling membaca isi hati, bahkan isi hati orang yang paling tertutup sekalipun. Kita telah mengorbankan privasi demi koneksi, menukar keintiman sebuah rahasia dengan keriuhan pengakuan publik.

Posting Komentar untuk " Dulu Buku Harian, Sekarang Media Sosial"